Tawaran jalur damai dari Kejati DKI Jakarta untuk pelaku AG itu tindakan yang dibilang bodoh saja belum
Saya heran betul dengan obsesi damai orang-orang Indonesia. Padahal, rakyat negara ini mudah betul untuk saling baku hantam (langsung maupun dalam bentuk ketikan). Apalagi jika sudah berurusan dengan hukum, tawaran damai jadi suatu hal yang paling diutamakan.
Padahal, tidak semua hal bisa dan boleh diselesaikan secara damai. Makanya ada hukum yang mengurusi hal itu. Permintaan maaf boleh diupayakan, tapi bukan berarti hal tersebut bisa selesai secara damai dan menariknya dari proses hukum. Terlebih jika korban menanggung kerugian yang mungkin dibawa hingga akhir hayat.
Maka ketika Kejati DKI Jakarta menawarkan penyelesaian kasus penganiayaan David Ozora melalui mediasi kepada AG, otak saya langsung mengkerut. Mendengar hal tersebut bikin sel-sel otak bunuh diri massal.
Upaya jalur damai yang aneh
Meski AG tidak melakukan penganiayaan secara langsung, tawaran damai ini benar-benar tidak masuk akal. Andai dia tak memantik pertikaian, David sekarang mungkin sedang main PS atau mengaji, atau sedang bermain bersama kawan-kawannya. Orang tua David mungkin sedang berbahagia. Setidaknya, satu keluarga tidak dirundung duka.
Jadi, menawarkan perdamaian ke keluarga David, saya pikir, adalah tindakan terbodoh yang bisa orang pikirkan.
Coba bayangkan seperti ini. Anakmu tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tak berdaya. Kau harus melihatnya menderita, dan tak bisa melakukan apa-apa, kecuali berharap Tuhan memindahkan rasa sakit yang dirasakan anakmu ke tubuhmu. Dan tiba-tiba, orang yang bikin anakmu tergolek lemah, meminta semuanya diselesaikan dengan cara damai.
Wah, nek kui kedaden nek aku, saat itu juga saya deklarasi perang.
Andai itu terjadi kepada mereka
Coba kita lihat dari sisi lain. Kejati DKI Jakarta harusnya paham bahwa yang keluarga David alami ini mungkin tak akan hilang. Luka ini akan abadi. Kata damai pasti jauh dari pikiran mereka saat ini. Memikirkan tawaran damai harusnya pun tidak.
Maka dari itu, saya heran betul dengan obsesi orang-orang menyelesaikan kasus hukum dengan jalur damai. Kasus pemerkosaan, diupayakan jalur damai. Ketilang, upayakan “jalur damai”. Pokoknya, semuanya harus diselesaikan dengan kedamaian.
Padahal ada korban yang tak berdaya, yang tak bisa membalas, yang tak bisa melakukan apa-apa kecuali meminta Tuhan membalaskan semuanya. Menawarkan jalur damai, sama saja meludahi harga diri mereka.
Saya berharap pelaku penganiayaan dihukum seberat-beratnya. Tak bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi pada anak saya, dan pelakunya meminta diselesaikan secara damai. Kalau saya, jelas deklarasi perang. Tuhan Maha Pemaaf, tapi saya tidak.
Semoga Kejati DKI Jakarta menarik semua tawaran ini dan berpikir lebih jernih lagi. Serta membayangkan seperti ini: jika kepala anakku yang diinjak, apakah ada damai yang terpikir di hati dan kepala?
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kejahatan Mario Dandy Adalah Wajah Budaya Feodal di Indonesia