Pedagang kaki lima yang pakai badan jalan
Hal lain yang turut menyumbang kemacetan di Solo adalah banyaknya pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di badan jalan atau trotoar. Ini fenomena yang sudah lama terjadi dan sepertinya tidak ada solusi permanen.
Di beberapa titik seperti sekitar Pasar Gede, Gladak, atau Jalan Slamet Riyadi, banyak PKL yang mangkal di trotoar bahkan sampai ke badan jalan. Akibatnya, pejalan kaki tidak bisa pakai trotoar dan harus jalan di badan jalan. Kendaraan juga harus mengecil karena sebagian jalan dipakai untuk berjualan.
Saya tidak anti PKL, saya paham mereka juga mencari nafkah. Tetapi kalau sampai mengganggu lalu lintas dan bikin macet, seharusnya ada solusi yang lebih baik. Misalnya dengan menyediakan lokasi khusus untuk berjualan yang tidak mengganggu arus lalu lintas.
Pemandangan yang sering saya lihat adalah saat jam pulang kantor di sekitar kawasan Gladak. Jalanan sudah sempit, ditambah PKL yang berjualan, ditambah kendaraan yang parkir sembarangan, ditambah angkot yang ngetem. Lengkap sudah resep kemacetan level dewa. Perjalanan yang harusnya 10 menit bisa jadi 30 menit atau bahkan lebih.
Manajemen lalu lintas yang kurang optimal
Penyebab lain yang tidak kalah penting adalah manajemen lalu lintas yang menurut saya masih kurang optimal. Pengaturan lampu lalu lintas, rekayasa arus, sampai penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas sepertinya belum maksimal.
Saya sering melewati beberapa persimpangan yang lampu lalu lintasnya tidak sinkron. Ada lampu yang terlalu lama hijau padahal arus dari arah itu tidak terlalu ramai, sementara arah lain yang lebih ramai malah harus menunggu lama. Ini bikin antrian makin panjang dan macet makin parah.
Belum lagi soal penindakan terhadap pelanggar. Saya jarang sekali lihat ada razia atau penindakan terhadap kendaraan yang parkir sembarangan, motor yang melawan arus, atau angkot yang ngetem di tengah jalan. Kalau pun ada, itu cuma sesekali dan tidak konsisten. Akibatnya, orang jadi tidak jera dan terus melakukan pelanggaran yang sama.
Sebenarnya kalau manajemen lalu lintas dioptimalkan, kemacetan bisa dikurangi meskipun tidak bisa dihilangkan sama sekali. Misalnya dengan mengatur waktu lampu lalu lintas yang lebih efisien, membuat jalur khusus untuk angkutan umum, atau menindak tegas pelanggar lalu lintas. Tetapi sepertinya ini masih jadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah kota.
Pembangunan yang tidak terkendali
Faktor terakhir yang turut menyumbang kemacetan adalah pembangunan yang tidak terkendali. Dalam beberapa tahun terakhir, Solo berkembang pesat. Mall, apartemen, hotel, kampus, dan pusat perbelanjaan baru bermunculan di mana-mana.
Pembangunan ini tentu bagus untuk ekonomi kota. Tetapi masalahnya, pembangunan ini tidak dibarengi dengan penyiapan infrastruktur yang memadai, terutama akses jalan dan transportasi. Akibatnya, kawasan-kawasan baru ini malah jadi sumber kemacetan baru.
Contohnya kawasan Hartono Mall atau Solo Paragon. Dua mall besar ini setiap akhir pekan selalu penuh pengunjung. Akses jalan menuju ke sana relatif sempit dan tidak memadai untuk menampung volume kendaraan yang banyak. Akibatnya? Macet panjang sampai ke jalan raya.
Begitu juga dengan pembangunan apartemen atau perumahan baru. Banyak developer yang membangun tanpa memikirkan dampaknya terhadap lalu lintas di sekitar. Hasilnya, jalanan di kawasan perumahan yang dulunya lengang, sekarang jadi macet karena volume kendaraan meningkat drastis.
Solo mungkin memang tidak sebesar Jakarta. Tetapi dari segi kemacetan, Solo sudah mulai mengejar. Dan kalau tidak ada tindakan serius dari pemerintah dan kesadaran dari masyarakat, bukan tidak mungkin suatu saat Solo akan jadi Jakarta versi Jawa Tengah. Yang jelas, sebagai warga Solo yang setiap hari harus berurusan dengan macet, saya berharap ada perbaikan yang signifikan. Supaya Solo tetap jadi kota yang nyaman untuk ditinggali, bukan kota yang bikin stres karena macetnya.
Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Solo, Kota yang Hanya Ramah ke Wisatawan, tapi Tidak ke Warga Lokal
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















