Solo adalah kota kecil yang tenang dan santai. Begitu stereotip yang sering melekat pada kota ini. Orang-orang membayangkan Solo sebagai kota budaya yang adem ayem, jalanannya lengang, dan udaranya sejuk. Jauh dari hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.
Tetapi tunggu dulu. Kalau kamu pernah tinggal atau mengunjungi Solo dalam beberapa tahun terakhir, kamu pasti tahu bahwa stereotip itu sudah tidak relevan lagi. Solo sekarang macet. Sangat macet. Bahkan terkadang macetnya bisa bikin kamu bertanya, “Ini beneran Solo atau Jakarta sih?”
Saya sebagai orang yang tinggal di Solo sudah bertahun-tahun merasakan sendiri betapa frustrasinya terjebak macet di kota yang konon katanya kecil ini. Jarak dari rumah ke kampus yang seharusnya cuma 15 menit, bisa membengkak jadi 45 menit kalau jam sibuk. Padahal jaraknya cuma sekitar 5 kilometer! Absurd banget kan?
Yang bikin makin kesal, kalau kita komplain tentang macet Solo di media sosial, pasti ada aja yang komen, “Ah, macet Solo mah belum seberapa. Coba ke Jakarta dulu sono!” Lah, memang harus sekacau Jakarta dulu baru boleh komplain? Logika macam apa itu?
Solo: jalan sempit, kendaraan makin banyak
Salah satu penyebab utama kemacetan di Solo yang paling jelas adalah ketidakseimbangan antara lebar jalan dengan jumlah kendaraan. Solo adalah kota tua dengan infrastruktur jalan yang sebagian besar dibangun puluhan tahun lalu. Jalanannya relatif sempit, tidak seperti kota-kota baru yang didesain dengan jalan lebar dari awal.
Masalahnya, jumlah kendaraan bermotor di Solo terus meningkat drastis setiap tahunnya. Data dari Polres Surakarta menunjukkan bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor di Solo mencapai ribuan unit setiap tahun. Bayangkan, jalan tidak bertambah lebar, tetapi kendaraan terus bertambah banyak. Ya wajar saja kalau macet.
Saya masih ingat sekitar 10 tahun lalu, Jalan Slamet Riyadi masih cukup lengang di siang hari. Sekarang? Hampir sepanjang hari penuh dengan kendaraan. Apalagi di jam-jam sibuk seperti pagi hari sekitar jam 7-9 dan sore hari jam 4-6, dijamin macet total. Bahkan akhir pekan yang seharusnya lebih santai juga ikut macet karena banyak orang yang keluar untuk jalan-jalan atau belanja.
Yang lebih parah, banyak ruas jalan di Solo yang hanya punya dua lajur (satu arah satu lajur). Kalau ada satu kendaraan yang mogok atau parkir sembarangan, langsung deh macet panjang. Tidak ada alternatif jalur untuk mengurai kemacetan. Semua kendaraan harus antri dengan sabar atau malah makin chaos karena saling berebut celah.
Perilaku pengendara yang bikin emosi naik
Kalau bicara soal kemacetan Solo, tidak lengkap rasanya kalau tidak membahas perilaku pengendaranya. Maaf kalau terdengar menyinggung, tetapi banyak pengendara di Solo yang perilakunya bikin macet makin parah. Dan ini bukan asumsi sembarangan, saya mengamati dan mengalami sendiri setiap hari.
Pertama, budaya parkir sembarangan yang sudah jadi hal lumrah. Banyak pengendara yang dengan santainya parkir di badan jalan, terutama di kawasan pertokoan atau pasar. Mereka tidak peduli kalau kendaraan mereka menghalangi lalu lintas. Yang penting mereka bisa parkir dekat dengan tujuan. Akibatnya? Jalan yang seharusnya dua lajur jadi tinggal satu lajur karena satu lajur dipenuhi kendaraan parkir.
Kedua, motor yang suka nyelip sesukanya tanpa mempedulikan kendaraan lain. Ini adalah pemandangan sehari-hari di Solo. Motor masuk dari celah-celah sempit, memotong jalan tiba-tiba, bahkan ada yang nekat melawan arus. Kalau sudah begini, pengendara lain jadi harus rem mendadak dan akhirnya arus lalu lintas jadi terganggu.
Ketiga, angkot yang ngetem atau berhenti sembarangan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Saya paham ini memang modus operandi angkot, tetapi setidaknya berhentilah di tempat yang tidak mengganggu arus lalu lintas. Masalahnya, banyak angkot yang berhenti di tengah jalan, tidak di pinggir. Kendaraan di belakangnya harus menunggu atau menyalip yang akhirnya bikin macet.
Keempat, pengendara yang tidak disiplin saat lampu merah. Banyak yang menerobos lampu merah, atau sudah mulai jalan padahal lampunya masih merah. Ada juga yang malah berhenti melewati garis pembatas, jadi menghalangi kendaraan dari arah lain yang lampunya sudah hijau. Chaos total deh.
Minimnya transportasi publik yang memadai di Solo
Kalau ditanya kenapa orang Solo pada bawa kendaraan pribadi semua, jawabannya simpel karena tidak ada alternatif transportasi publik yang nyaman dan memadai. Solo memang punya angkot dan BST (Batik Solo Trans), tetapi jujur saja, kualitas dan kuantitasnya masih jauh dari ideal.
Angkot di Solo jumlahnya terbatas dan rutenya tidak mencakup semua wilayah. Jadwalnya juga tidak pasti, kadang nunggu lama baru datang. Kondisi angkotnya pun banyak yang sudah tua dan tidak nyaman. Pantas saja orang lebih memilih bawa motor atau mobil sendiri meskipun harus menghadapi macet.
BST atau Batik Solo Trans yang katanya jadi kebanggaan Solo juga tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Memang sih, busnya lebih modern dan nyaman dibandingkan angkot. Tetapi masalahnya, rutenya sangat terbatas. Hanya ada beberapa koridor dan tidak semua wilayah Solo terlayani. Jadwalnya juga kurang fleksibel, terutama di malam hari atau akhir pekan.
Saya punya teman yang tinggal di daerah Mojosongo. Dia bilang kalau mau ke kampus di Kentingan, tidak ada BST yang lewat. Pilihan cuma naik angkot dengan harus ganti dua kali, atau bawa motor sendiri. Ya sudah, pilih bawa motor sendiri lah meskipun harus ngadepin macet. Lebih praktis dan hemat waktu.
Belum lagi soal ojek online yang kadang jadi “penyelamat” di kota-kota besar. Di Solo, ojek online memang ada dan cukup banyak. Tetapi kalau jam-jam sibuk, harganya bisa naik berkali lipat karena sistem tarif dinamis. Jadinya orang tetap lebih milih bawa kendaraan sendiri daripada harus bayar mahal untuk ojek online.
Baca halaman selanjutnya
PKL, manajemen lalu lintas, pembangunan




















