Untunglah sebelum diberlakukan larangan untuk mudik lebaran, Misbah sudah terlebih dulu melesat ke kampung halaman. Di kota sudah tidak ada yang bisa dia andalkan lagi untuk bertahan hidup. Kebijakan stay at home membuat gerai kebabnya sepi pelanggan. Maka pulanglah dia sebulan yang lalu, beberapa minggu sebelum tiba bulan Puasa.
Kepulangannya kali ini terbilang istimewa. Pasalnya, tanpa dinyana dia akhirnya dipertemukan kembali dengan Kang Salim—kawan sekaligus seniornya di pesantren—setelah puluhan tahun tak bersua sama sekali. “Mis, aku ikut ke kampungmu saja yooo?,” pinta Kang Salim sewaktu mereka bertemu di terminal kota. Tanpa menimbang alasan apa pun, Misbah dengan senang hati mempersilakan Kang Salim untuk ikut ke desanya. Itung-itung untuk menebus rasa kangen antar dua kawan baik yang sudah lama tak bersua.
***
“Sampeyan ini kenapa tho Mis, baru juga malam kedua puasa, wajahnya kok ya lesu gitu?.” tanya Kang Salim ketika mendapati kawannya itu terduduk layu di cangkruk bambu depan rumah. “Gimana nggak bingung, Kang, gara-gara korona ekonomi jadi anjlok. Hidup jadi serba susah. Gusti Allah kok sebegini tega ngasih cobaan ke kita,” keluhnya di antara alunan orang-orang tadarus yang menggema dari corong musala.
“Hahaha, ya bukan gitu cara mikirnya, Mis.”
“Lah kenyataannya demikian kok, Kang.”
“Begini, Mis, kamu harus tahu. Kata Ibnu Athaillah dalam al-Hikam, sakit, kemiskinan, penderitaan, itu bagian dari wijhan min at-taaruf; cara Gusti Allah menyingkap diri agar bisa kita kenali dan dekati dengan penuh kemesraan.”
“Sik, Kang, lama nggak buka-buka kitab, saya jadi bingung. Coba sampeyan perjelas lagi.”
“Ibnu Athaillah menegaskan kepada kita, jangan bersedih hanya gara-gara harta atau pekerjaanmu berkurang. Jangan susah jikalau kita sedang di fase menderita. Sebab itu adalah cara agar kita mengenali-Nya, mengingat-Nya, lantas kembali berdekatan dengan-Nya. Gusti Allah ngasih cobaan itu biar apa? Ya biar bisa kamu ingat sama Dia, Mis.”
“Tapi ya nggak dengan cobaan juga tho, Kang. Misalnya kita dikasih rejeki yang melimpah, ya kan kita akhirnya bisa banyak-banyak bersyukur. Itu kan sama dengan mengingat-Nya juga. Semakin banyak kita dikasih rejeki, semakin banyak pula kita bersyukur, yang otomatis juga mengingat-Nya. Kalau lewat penderitaan gini kan jatuhnya malah ber-syakwasangka terus sama Allah.”
“Yakin bakal seperti itu?,” tanya Kang Salim setengah menggoda. “Eh, ya iya tho, Kang,” timpal Misbah setengah terbata.
“Mis, ini coba kamu inget-inget. Firaun itu, Mis, dikasih nikmat hidup sampai 400 tahun sama Allah. Hidupnya juga nggak kurang suatu apa. Harta, kekuasaan, dan kesejahteraan dia miliki. Bahkan kabarnya, selama 400 tahun itu pula dia nggak pernah merasakan sakit barang sehari. Terus apa itu semua lantas bikin Firaun selalu bersyukur dan mengingat Allah. Boro-boro, Mis, Firaun malah jumawa mengaku-ngaku sebagai Allah itu sendiri.”
“Tapi itu kan Firaun, Kang..” Sebelum Misbah tuntas dengan ucapannya, Kang Salim langsung menyela, “Sampeyan pikir apa yang beda antara kita dengan Firaun? Sama, Mis, sama-sama manusia yang doyan bikin kerusakan dan pertumpahan darah. Masing-masing diri kita ini sejatinya mengandung Firaun. Lebih banyak kufurnya ketimbang syukurnya.”
Kang Salim terdiam sejenak, menyeruput kopinya yang sudah tak hangat lagi.
“Ini saya lanjutin nggak apa-apa tho, Mis?”
“Lanjutin coba, Kang. Biar saya lebih paham lagi.”
“Maulana Jalaluddin Rumi berkata dalam Fihi Ma Fihi-nya, antara hamba dan Allah hanya dipisahkan oleh dua selubung; kesehatan dan kekayaan. Kita ini hanya bisa ingat dan intens berdekatan dengan Gusti Allah kalau dua tabir ini dibuang. Kalau sudah dibuang, yang ada tinggal sakit dan kemiskinan.”
“Sik, Kang, saya nggak setuju. Bukankah kalau jasmani kita sehat, kita justru bisa leluasa buat ibadah. Beda cerita kalau sakit, kita justru nggak punya daya apapun buat melakukan rutinitas itu.”
“Hahaha pendapatmu masuk juga. Tapi faktanya nih, Mis, seperti kata Gus Mus, salat kita loh nyatanya lebih buruk dari senam ibu-ibu, lebih cepat daripada menghirup kopi panas, dan lebih ramai dari lamunan seribu anak muda. Iman kita rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan, dan lebih pipih dari kain rok perempun.”
Karena tidak ada respon dari dari Misbah, Kang Salim pun meneruskan kultumnya;
“Sementara ketika kita sakit, pasti kita akan banyak nelangsanya, dalam keluh kesah selalu mengingat Allah. Ketika kita dalam kemiskinan pun demikian. Maka nggak salah sebenernya kalau ada orang yang baru rajin ibadah justru saat dia sakit-sakitan atau pas sedang dapat ujian. Sebab kalau nggak gitu ya kapan lagi bisa deket sama Allah dalam arti yang sedekat-dekatnya?”
“Selama manusia masih memiliki harta dan hasrat, dia akan terus memotivasi diri untuk meraih semua keinginannya. Dia akan disibukkan dengan pekerjaannya, siang dan malam. Dan karena Allah menghendaki agar manusia kembali dekat dengan-Nya, maka disingkaplah kekayaan dan kejayaan yang sudah dia miliki. Kata Rumi, sungguh patutlah berbahagia orang-orang yang mendapat kesempatan ini; kesempatan untuk menderita, kesempatan untuk bermesraan dengan Sang Pencipta.”
“Terakhir, Mis. Rumi punya anekdot menarik. Bunyinya gini, Sulaiman sudah kenyang dengan kerajaannya, sedangkan Ayyub belum kenyang dengan ujiannya.”
“Maksudnya gimana, tuh, Kang?”
“Maksudnya, karena diberi harta kekayaan yang melimpah, Nabi Sulaiman sampai-sampai kekenyangan. Tahu orang kekenyangan itu gimana? Jadi enek. Iya, tho? Sementara Nabi Ayyub belum puas dengan ujiannya. Karena selama dalam ujian sakitnya, dia merasakan betapa nikmatnya bercinta dengan Kekasihnya, yaitu Allah.”
“Walah, gitu ya, Kang. Kesimpulannya, berarti saya nggak boleh gelisah dengan kemiskinan dan kesusahan finansial yang saya alami sekarang ini ya, Kang?”
“Yap, tepat sekali, Mis. Lagian kata Mullah Shadra, kemiskinan atau kesusahan itu cuma berlangsung empat puluh hari, kok.”
“Selebihnya apa terus jadi kaya dan sejahtera, Kang?”
“Bukan, tapi jadi lebih terbiasa.”
Kang Salim kembali menyeruput kopinya yang sudah benar-benar menjadi dingin, sementara Misbah menatapanya dengan penuh keheranan.
*Sumber rujukan: Menjadi Manusia Rohani (Ulil Abshar Abdalla) dan terjemahan Fihi Ma Fihi (Jalaluddin Rumi).
BACA JUGA Larangan Salat Tarawih Berjamaah itu Justru Ajakan ‘Kembali ke Sunah Nabi’ dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.