Menengok “surat wasiat teroris” pelaku penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret 2021, dan membandingkannya dengan “surat wasiat” dari pelaku bom Gereja Katedral Makassar pada 31 Maret 2021, saya jadi ingat satu perbincangan lama dengan seorang pelaku terorisme.
Hampir satu dekade lalu, saya sempat berbicara lama dengan salah seorang terdakwa (kini terpidana) terorisme di ruang tahanan PN Jakarta Selatan. Kami membincangkan apa rasionalitasnya melakukan apa yang ia lakukan dan coba lakukan saat itu. Menariknya, ia tak menjelaskan soal ideologi. Yang banyak ia ceritakan justru tindakan-tindakan terorisme yang sebelumnya terjadi. Bagaimana ia terjadi, tokoh-tokohnya, dan asumsinya soal mengapa mereka melakukan hal tersebut.
Obrolan itu membuat saya merasa aksi terorisme di Makassar dan Mabes Polri bisa coba dijelaskan. Jika kedua surat wasiat teroris Makassar dan Mabes Polri itu bukan bohong-bohongan, ia barangkali petunjuk penting soal fenomena terorisme di Indonesia.
Pada 2015 lalu, jurnalis kawakan Malcolm Gladwel pernah menulis di The New Yorker soal penembakan massal di Amerika Serikat. Ia menyoroti bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan oleh pelaku dengan latar belakang yang sangat beragam. Tak ada rasionalisasi yang seragam pada pelaku di masing-masing kejadian.
Gladwel kemudian mengutip teori sosiolog Universitas Stanford Mark Granovetter soal kerusuhan massal. Granovetter meyakini, aksi kekerasan dalam kerusuhan kerap bermula dari satu orang dahulu. Aksi itu kemudian dilihat lainnya, yang kemudian ikut melakukan hal serupa meski bertentangan dengan persepsi awal mereka soal mana yang boleh dan mana yang tak boleh dilakukan.
Gladwell membayangkan penembakan massal di AS seperti kerusuhan dalam skala yang lebih luas dan berjalan dalam tempo yang dilambatkan alias slow motion. Satu kejadian menginspirasi pelaku lainnya dan pelaku lainnya dan pelaku lainnya lagi.
Penelitian lebih lanjut kemudian dilakukan oleh Arizona State University dan dilansir dalam makalah yang terbit pada 2015 dengan judul “Contagion in Mass Killings and School Shootings”. Kesimpulannya, penembakan massal tak begitu berbeda dengan penyakit menular yang melompat dari satu pelaku ke pelaku lainnya. Pola serupa juga mereka temukan pada kasus bunuh diri dan terorisme.
Artinya, peniruan adalah salah satu faktor utama dalam aksi-aksi pembunuhan massal. Bukan soal kesehatan mental, bukan soal latar belakang pelaku. Makalah itu juga menyimpulkan, eksposur soal kejadian penembakan massal di media massa jadi faktor pemicu peniruan-peniruan.
Asumsi yang kemudian mengkhawatirkan adalah begini: Bagaimana jika ternyata ekspose berlebihan selama ini pada tindakan-tindakan terorisme ini lebih efektif buat merekrut “pengantin baru” ketimbang upaya cuci otak kelompok-kelompok terorisme? Setidaknya pada kasus penembakan di Mabes Polri, Kapolri sudah menyimpulkan bahwa pelaku adalah lone wolf, yang artinya dia mencuci otaknya sendiri tanpa ikut jaringan apa pun. Bisa jadi itu mengapa surat wasiat teroris Mabes Polri demikian mirip dengan surat wasiat teroris bom gereja Makassar–karena Zakiah Aini sudah membaca “contohnya” lewat televisi atau media daring.
Jika demikian konteksnya, jangan-jangan pendekatan pemberantasan terorisme yang melulu dari segi ekstremisme agama adalah langkah yang tak lengkap? Dan sebaliknya, ia bisa jadi langkah yang kontraintuitif. Mengaitkan terorisme melulu dengan ekstremisme agama, apalagi dengan aliran keagamaan tertentu, bisa jadi bumerang dalam hal ini.
Orang yang antiriba atau anti-Ahok dan kebetulan pendek akal misalnya, dengan membaca surat yang dibocorkan kepolisian bisa jadi menyimpulkan bahwa jalan mereka harus lewat kekerasan seperti yang dicontohkan pelaku-pelaku di Makassar dan Jakarta. Penganut Manhaj Salaf yang mayoritas orang baik-baik itu bisa justru teradikalisasi jika sudah dicap lebih dulu.
Semakin kontradiktif saat Presiden bilang “terorisme tak terkait agama mana pun“, ketika pada yang sama negara menggencarkan “perang” terhadap radikalisme agama (persisnya lagi, Islam).
Menarik benang dari penelitian soal penembakan massal di AS, mungkin kita harus mengembalikan khittah tindakan terorisme selaiknya laku kriminal. Maksudnya, ditelaah kembali dengan teori-teori kriminologi, psikologi, sosiologi, bukan dipandang semata sebagai fenomena ideologis yang komentatornya melulu tokoh agama dan “pakar terorisme”. Maksudnya, ditangani juga dengan langkah-langkah hukum prosedural yang transparan seperti tindakan kriminalitas lainnya. Wallahu ‘a’lam bishawab.
Dimuat ulang dari status Facebook Fitriyan Zamzami atas izin penulis.
BACA JUGA Kenapa Aksi Teror kayak Bom di Gereja Katedral Makassar Terus Ada Lagi dan Lagi? dan tulisan Fitriyan Zamzami lainnya.