Kemiripan #ReformasiDikorupsi dengan Revolusi Mei 1968

1968

1968

Lebih dari sepekan terakhir, kita disuguhkan dengan sederet aksi demo jalanan menentang berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai sedang dan akan menyusahkan rakyat. Tagar macam #ReformasiDikorupsi #GejayanMemanggil jadi mantra yang menyatukan banyak orang untuk sudi turun ke jalan.

Mayoritas pendemo diisi oleh para anak muda. Mulai dari mahasiswa, pelajar dan milenial lainnya. Ya memang, populasi anak muda Indonesia cukup besar. Tahun 2019, jumlah anak muda usia 15 sampai 29 tahun jika digabung mencapai lebih dari 65,7 juta jiwa dari total penduduk Indonesia yang mencapai 267 juta jiwa. Itu artinya, para peserta aksi demo mayoritas dapat digolongkan ke generasi Z (kelahiran 1996 keatas) dan milenial (1981 – 1995).

Yang menarik, massa aksi mahasiswa menyuguhkan poster-poster tuntutan atau sindiran yang kreatif, jenaka dan nakal. Lihat saja berbagai tulisan poster macam “KENTHU DIBUI KORUPSI DICUTI, I DON’T NEED SEX, THE GOVERNMENT IS FUCKING ME RIGHT NOW, AKU INGIN YANG-YANGAN TANPA DITANGKAP POLISI, SELANGKANGANKU BUKAN MILIK NEGARA, MAU NGEUE AJA DIATUR NEGARA” yang seketika menjadi viral.

Ungkapan dalam poster itu sekaligus dapat dibaca ekspresi kekesalan dan perasaan ketidakadilan. Di saat kebebasan individu mereka terancam direpresi lewat sejumlah pasal dalam RUU KUHP, tetapi tingkah laku para penyelenggara negara tidak juga bisa jadi panutan. Boleh jadi, poster-poster ekspresif semacam itu adalah fenomena pertama di Indonesia dalam sejarah aksi massa mahasiswa turun ke jalan. CMIIW. Apalagi fenomena ini muncul di tengah arus konservatisme yang sedang menguat dalam beberapa tahun belakangan.

Pemandangan macam itu mengingatkan pada aksi massa di Prancis pada Mei 1968. Ketika itu kawula muda Prancis tumpah ruah di jalanan melakukan demonstrasi meluapkan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dan tatanan sosial pada saat itu.

Banyak poster-poster yang dibawa massa aksi bertuliskan “Semakin saya bercinta, semakin saya ingin membuat revolusi. Semakin saya membuat revolusi, semakin saya ingin bercinta. SEX: Itu bagus, kata Mao, tetapi jangan terlalu sering. Larilah kawan! Dunia yang kolot mengejarmu. Make love not war” dan lainnya.

Sama halnya dengan di Indonesia, massa aksi di demo Mei 1968 diisi oleh mayoritas kawula muda. Prancis ketika itu sedang mengalami ledakan populasi pemuda pasca Perang Dunia II. Dibanding dekade sebelumnya yang cuma 175 ribu jiwa, jumlahnya melonjak menjadi 500 ribu jiwa saat demo meletus. Mereka masuk generasi baby boomer (kelahiran 1946 – 1965).

Menjadi muda di Prancis sangat menjemukan meski Prancis telah melewati Revolusi 1789 yang melahirkan prinsip Liberté, égalité, fraternité. Muda-mudi Prancis dikenai aturan jam malam, dilarang menginap di asrama lawan jenis, laki-laki dilarang gondrong, wanita harus rambut panjang, pakaian keduanya diatur ketat, sampai istri harus izin suami jika ingin buka rekening bank, dan lainnya. Kondisi tersebut membikin jiwa-jiwa kawula muda memberontak merindukan kebebasan.

Pemerintahan Prancis waktu itu dikuasai oleh Partai Gaullist yang berhaluan kanan. Lewat Presiden Charles de Gaulle yang cukup populer karena memimpin Prancis memerangi Nazi, semua ditertibkan demi tercipta negara stabil. Produksi barang industri digenjot. Tapi di sisi lain tidak berdampak banyak bagi kesejahteraan buruh. Upah tidak naik, jam kerja panjang, buruh kewalahan. Jika protes bakal disikat.

Sementara berharap ada perubahan yang datangnya dari sayap kiri Partai Komunis dan Partai Sosialis Prancis tampak mustahil lantaran masih keok dengan kepopuleran Gaullist. Sehingga mustahil mendambakan perubahan yang datangnya dari dalam.

Selain masalah kebebasan individu, tahun 1960-an adalah eranya baby boomer Eropa dan Amerika gandrung dengan gerakan pembebasan nasional di negara-negara terjajah. Tokoh-tokoh revolusioner macam Che Guevara, Ho Chi Minh, Mao Zedong menjadi idola dan ikon perlawanan. Maka tak heran saat AS melancarkan perang di Vietnam, gerakan anti-perang dari kalangan pemuda merebak di negara-negara Barat.

Demonstrasi menolak perang pernah dilakukan oleh sejumlah mahasiswa di kampus Nanterre di pinggiran Paris dan berujung penangkapan. Pada 22 Maret 1968, sebanyak 150 mahasiswa menduduki sejumlah ruangan di kampus guna menuntut agar kawannya yang berdemo anti-perang dibebaskan serta menuntut hak untuk bisa mengunjungi asrama putri. Tuntutan pertama terkabul, tapi tidak untuk yang kedua.

Di saat kebebasan terasa mahal, diskusi-diskusi dan kelompok mahasiswa tumbuh. Saat sekelompok mahasiswa Universitas Sorbonne di Paris berdiskusi menyikapi aksi penangkapan di Nanterre sekaligus berdemonstrasi menyerukan sikap anti-imperialisme, kegiatan mereka dibubarkan secara brutal oleh aparat kepolisian pada 2 Mei 1968.

Memakai helm dipersenjatai tameng, gas air mata, pentungan dan meriam air, polisi menyerbu titik-titik kumpul massa untuk dibubarkan. Massa demonstran membalas dengan lemparan bebatuan yang didapat di jalan-jalan. Ratusan orang luka-luka dan diciduk polisi. Keesokan harinya kampus ditutup sementara. Kini masalah bertambah lagi. Berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum dilarang negara.

Tindakan aparat berbuah aksi protes yang lebih besar. Berpusat di kawasan Latin Quarter, dekat Sorbonne, ribuan pelajar, guru dan warga biasa ikut turun ke jalan bersolidaritas dengan mahasiswa. Bentrokan demonstran vs polisi tak terhindarkan.

Di malam hari, bentrok cenderung lebih panas. Mobil-mobil dibakar polisi menggunakan bom molotov berharap massa bubar. Terjadi kerusakan di sana sini. Sedangkan di siang hari lebih santuy. Berdemo dengan berpuisi dan bernyanyi dan tentu saja menaikkan poster-poster kreatif yang menyentil kelakuan penguasa.

Tak mau ketinggalan, elemen buruh bergabung dengan gerakan mahasiswa. Pabrik-pabrik bergengsi macam Renault, Citroën hingga Sud Aviation kosong ditinggal buruh. Aksi mogok massal dilancarkan buruh sekaligus menuntut kenaikan upah. Sampai minggu ketiga bulan Mei, antara 10 sampai 11 juta orang mogok kerja. Prancis lumpuh. Layanan transportasi publik berhenti. SPBU kosong.

De Gaulle tampaknya terlalu meremehkan gerakan mahasiswa yang menuntut kebebasan individu termasuk urusan seksual. Ia sepertinya tak membayangkan bahwa aksi protes mahasiswa bisa membesar dan mendapat dukungan dari banyak elemen masyarakat lainnya.

Belum lagi tuntutan massa aksi mulai melebar ingin menggulingkan De Gaulle yang dianggap tak becus memimpin negeri. Ia sempat kabur ke luar negeri selama beberapa jam. Tetapi bagaimanapun, loyalis de Gaulle masih cukup besar. Sempat pada akhir Mei sekitar 300 ribu loyalis Gaulle turun ke jalan menyatakan dukungan kepada sang presiden.

Tapi toh Gaulle tetap berada di posisi terjepit ditekan massa rakyat. Akhirnya tuntutan massa mulai dipenuhi. Upah buruh naik meski masih di bawah tuntutan. Sorbonne dipecah-pecah menjadi beberapa unit untuk mengatasi kepadatan mahasiswa. Di kelas-kelas, mahasiswa tak sungkan bisa mendebat dosen. Hubungan atasan dan bawahan, politisi dan rakyat menjadi cair. Kebebasan individu terbuka.

Egalité! Liberté! Sexualité! peristiwa Mei 1968 kemudian lebih dikenal sebagai revolusi budaya ketimbang revolusi politik. Jabatan De Gaulle tetap aman. Malahan partai Gaulle menang Pemilu Legislatif pada Juni 1968. Para buruh secara bertahap dikembalikan ke pabrik untuk dipekerjakan. Gerakan mahasiwa digembosi. Sejumlah agenda demo mahasiswa dibatalkan.

Tentu saja demo yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan peristiwa di Prancis itu. Tuntutan mahasiswa bukan cuma soal selangkangan. Lebih dari itu, mahasiswa gelisah atas pengesahan UU KPK beberapa waktu lalu yang dinilai melemahkan semangat pemberangusan korupsi, RUU KUHP yang bermasalah, kebakaran hutan yang terus berulang, kerusuhan di Papua, perlindungan perempuan dari kekerasan seksual dan lainnya yang terangkum dalam tujuh tuntutan mahasiswa dan rakyat.

Pertanyannya, akankah Presiden dan DPR bakal menuruti tuntutan gerakan #ReformasiDikorupsi atau malah tetap bergeming. (*)

BACA JUGA Melihat Bagaimana Industri Buzzer Politik Bekerja atau tulisan Tony Firman lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version