Misbah masih tampak terpukul atas kepergian emaknya lima hari lalu. Kelihatan sekali dia masih belum bisa menerima keadaan. Dari pantauan kawan baiknya, Kang Salim, lima hari terakhir dilalui Misbah dengan tanpa gairah. Sering ngelamun di cangkruk bambu sendirian, kadang juga nangis sesenggukan, jarang makan, tidur pun kurang.
Kang Salim tidak bisa berbuat banyak, sebab dia tahu belaka betapa remuknya hati seorang anak yang dtinggal mati ibunya. Namun, kalau dibiar-biarkan, kondisi Misbah jadi sangat memprihatinkan. Dan Kang Salim tak tega melihat kawan baiknya jadi seperti itu.
“Bersedih boleh, Mis. Tapi mbok ya jangan nemen-nemen.” Ucap Kang Salim sembari merangkul pundak Misbah yang duduk menekuri tanah, di cangkruk bambu, saat matahari tinggal semburat-semburat tipis di langit barat.
“Gimana mau nggak sedih tho, Kang, kalau kenyataan sebegini pahit.”
“Hmmm, berarti tempo hari kamu ingkar atas ucapanmu sendiri dong, Mis?”
“Ucapan yang mana, Kang?” Misbah terperanjat mendengar seloroh Kang Salim.
Kang Salim tergelak sedikit untuk kemudian menjelasakan, “Inget di hari pertama emakmu meninggal? Kamu kan ngucapin inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, tho?”
“Loh, kan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 156, emang anjurannya begitu, Kang,” protes Misbah. “Terus, saya ingkar perihal apa coba?”
“Hehehe kalem, Mis. Begini,” Kang Salim tenang menanggapi. “Kalau diartikan, kalimat itu kan mengandung pengakuan bahawa segala sesuatu adalah milik Allah dan bakal kembali ke Allah juga. Nah, kalau sampai hari ini kamu masih belum bisa rela emakmu meninggal, berarti kamu telah mengingkari pengakuanmu sendiri. Mengaku kalau semua milik Allah, eh giliran diambil Allah kita nggak terima. Ibarat tukang parkir yang tahu kalau motor yang dijaga itu bukan miliknya, eh pas diambil sama yang punya dia malah marah-marah. Jadinya kan lucu, Mis.”
“Ya iya sih, Kang. Tapi rasanya belum siap aja gitu harus kehilangan emak. Ngerasa belum sempet bahagiain beliau.”
“Mis, saya juga pernah ngerasain apa yang kamu rasain sekarang ini. Ngerasa belum siap harus ditinggal manusia paling kita sayangi di muka bumi. Dan kayaknya emang semua orang juga begitu.” Kang Salim sengaja mengehentikan omongannya sejenak. Melihat Misbah masih antusias menunggu kalimat selanjutnya, Kang Salim pun meneruskan.
“Cuma lambat laun saya sadar, kayaknya kita aja yang salah ngambil sikap. Soalnya, Mis, kalau kata al-Ghazali, satu-satunya yang pasti dalam kehidupan ini ya cuma kematian. Mau pejabat, kiai, konglomerat, rakyat jelata, semua-muanya deh pasti mati. Tanpa terkecuali. Nabi pun bisa mati, bahkan malaikat Izrail yang bertugas nyabut nyawa orang, pada gilirannya juga harus mati. Ini ada dalam satu riwayat. Pertanyaannya, bagaimana bisa kita nggak siap sama sesuatu yang udah pasti datengnya?”
“Loh kok bisa dibilang pasti, Kang? Nyatanya kita nggak bisa nebak kapan dan di mana kita bakal mati?”
“Mis, ada tuh pepatah Jawa yang bunyinya, Wong urip mung mampir ngombe (orang hidup cuma mampir minum). Apakah harus ada rincian pakem berapa menit orang mampir minum? Nggak ada. Tapi yang pasti adalah bahwa mampir minum itu cuma sebentar. Kita nggak tahu sampai tanggal, bulan, tahun, dan pukul berapa kita mati. Tapi yang udah jadi kepastian, bahwa ternyata hidup kita nggak lama.”
“Sama seperti pepatah, Urip iku mung ngenteni timbalaning Gusti (hidup itu hanya soal menungu panggilan dari Tuhan). Alias kita hidup ini sebener-benernya ya cuma buat antre mati. Gitu ya, Kang?”
“Nah, sekali lagi saya tanya, bagaimana bisa kita nggak siap sama sesuatu yang udah cetho welo-welo (sangat jelas) kayak gitu? Bagaimana bisa kita nggak siap kalau nomor antrean kita udah dapet panggilan. Lagi pula, emangnya orang mati itu mau ke mana kok harus kita tangisi?”
“Kembali ke Gusti Allah, Kang.”
“Lah iya, orang kembali sama yang punya, kembali ke sumber dari segala kasih sayang, sumber dari segala kebahagiaan, kok malah kita tangisi. Harusnya kita juga patut berbahagia dong, Mis. Karena mati atau kembali ke Allah itu artinya seseorang telah merdeka dari belenggu dunia yang penuh penderitaan, kekacauan, fitnah, korup, dan perkara-perkara yang silang sengkarut. Termasuk emakmu, dengan mati akhirnya beliau bisa terbebas dari tumor yang selama ini beliau derita. Kalau hidup justru membuatnya terus merasa sakit, maka kematian adalah penyembuhnya.”
“Owalah, itukah kenapa ketika anggota keluarganya wafat, Rasulullah justru berucap “Alhamdulillah” terlebih dulu sebelum disambung dengan kalimat istirja ya, Kang?”
“Bisa jadi demikian, Mis. Sebab Rasulullah sadar betul bahwa kematian di satu titik emang adalah sesuatu yang patut disyukuri. Karena lantaran kematian itulah kita bisa bersegera bertemu Gusti Allah dan telepas dari dunia yang hina dina ini.”
“Umar bin Abdul Aziz itu, Mis, pas mau meninggal dan ditangisi oleh orang-orang di sekelilingnya beliau malah marah. “Emangnya aku mati itu mau ke mana kok kalian tangisi? Aku mati itu menghadap Kekasihku, Allah, kok malah kalian tangisi. Aneh kalian, menangis untuk sesuatu yang justru membuatku bahagia,” kata beliau waktu itu.”
“Wah, sama kayak Jalaluddin Rumi yang menjelang kematiannya malah meminta agar murid-muridnya yang bersedih untuk menari dan bersuka ria ya, Kang? Saya baru inget kisah itu.” Wajah Misbah agak sedikit sumringah kali ini, seolah lepas beban batinnya satu per satu.
“Sebelum wafat Rumi juga menulis kidung berbunyi, Ketika aku mati dan peti matiku dibawa, jangan pernah berpikir bahwa aku merindukan dunia ini. Jangan mengucurkan air mata, jangan meratap, dan jangan bersedih karena aku tidak jatuh pada jurang yang menakutkan. Ketika kau melihat jasadku dibawa, jangan menangis untuk kepergianku. Karena aku tidak pergi melainkan datang pada cinta yang abadi. Ketika kau meninggalkanku di kuburan, jangan mengucap selamat tinggal. Karena kuburan hanyalah tabir untuk surga yang akan datang.
“Di mata Rumi, kematian justru jadi perkara yang sangat didambakan. Bukan perkara yang patut ditangisi dan ditakuti. Rumi menyongsongnya dengan penuh kegembiraan dan kerinduan. Karena dia tahu, mati berarti pulang ke haribaan Kekasih. Pulang dalam dekapan Tuhan yang Pengasih. Dan menghadap Zat yang sangat dia cintai. Ya sekarang dipikir aja, Mis, siapa coba yang nggak seneng kalau mau ketemu sama sosok yang amat dicintainya? Lebih-lebih kalau model sosoknya penyayang gitu. Mesti nggak sabar buat ketemuan. Iya, tho?”
“Heem sih, Kang. Saya jadi ngerti kalau bersedih atas kematian seseorang ternyata bisa jadi seaneh ini.”
“Lebih aneh lagi kalau ada orang yang takut sama kematiannya sendiri. Kalau dipikir-pikir, kok ada gitu orang yang nggak mau ketemu sama Kekasihnya (Allah), alias pusat dari segala pusat kebahagiaan. Masa ada orang yang nggak mau sampai pada kebahagiaan sejati.” Celetuk Kang Salim sambil menyulut batang kreteknya.
Karena Misbah nggak merespon, Kang Salim pun meneruskan, “Orang-orang kayak gini bener-bener udah terkecoh sama kebahagiaan dan kenyamanan semu duniawi. Kata al-Ghazali, ada beberapa kemungkinan kenapa orang mengalami fobia sama kematian. Pertama, masih ingin bersenang-senang di dunia lebih lama. Karena dia menganggap bahwa dunia adalah pusat kesenangan. Sementara akhirat adalah pusat kesengsaraan dan penghakiman. Padahal hakikatnya adalah sebaliknya.”
“Kedua, takut kehilangan segala yang dia cintai, termasuk di dalamnya adalah jabatan dan kekayaan yang dia miliki. Karena baginya, itulah sumber kebahagiaannya. Ketiga, takut dengan bayang-bayang siksa. Ini malah pemahaman yang salah kaprah karena mengidentikkan Gusti Allah sebagai Zat yang penyiksa. Akhirnya dia takut jika harus menghadap-Nya.”
“Itu dia, Kang. Kebanyakan orang, termasuk saya, takut mati itu karena alasan yang ke tiga. Takut atas siksa Allah. Karena setelah mati kita kan dituntut bertanggung jawab atas perbuatan kita selama hidup, Kang.” Seloroh Misbah. “Sementara orang-orang dengan iman setipis kulit martabak kayak saya ini udah mustahil banget nggak pernah berbuat dosa. Jaminannya pasti neraka udah.”
“Untuk yang ini, saya jawab nanti atau lusa saja. Sekalian saya ajak kamu mupeng sama konsep kematian yang lebih ekstrem. Konsep mati ala martir Jawa, Syekh Siti Jenar. Sekarang udah azan, kita magrib dulu terus siap-siap tahlilan buat emakmu.”
*Sebagian diolah dari ceramah Gus Baha. Adapun kidung Rumi mengutip dari artikel Ali Jafar berjudul, Menghayati Kidung Kematian Rumi (Alif.id).
BACA JUGA Betapa Sumpeknya Orang yang Hidupnya Cuma Nyari Kesalahan dan Keburukan Orang Lain dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.