Sebagai orang yang sejak lahir dan menghabiskan waktu tinggal di daerah pantura, tepatnya di Pemalang, tentu saya sudah kebal dengan berbagai stigma orang soal pantura. Misalnya saja daerahnya yang panas sampai membakar kulit atau orang pantura dijuluki raja jalanan karena terbiasa berkendara berdampingan dengan truk besar.
Suatu ketika, kelulusan SMA sudah di depan mata, saya pun mencari tempat untuk melanjutkan studi. Singkat cerita saya memilih Magelang sebagai tempat menimba ilmu untuk beberapa tahun ke depan. Pemilihan Magelang ini boleh dikatakan cukup menantang karena saya harus keluar dari zona nyaman selama ini. Jelas, perbedaan kondisi alam antara pantura (dataran rendah) dan Magelang (dataran tinggi) yang berbeda bikin saya harus beradaptasi.
Sebenarnya itu bukan pertama kalinya saya pergi ke dataran tinggi atau pegunungan, sih. Beberapa kali saya sudah pernah pergi ke daerah pegunungan untuk berlibur, tapi biasanya cuma dua atau tiga hari. Sementara tinggal dalam jangka waktu lama untuk melanjutkan studi jadi pengalaman pertama bagi saya.
Saya ingat betul, seminggu pertama tinggal di Magelang sebagai orang pantura bikin saya sering sambat. Kira-kira begini keluh kesah saya sebagai orang pantura saat pertama kali tinggal di Magelang:
Daftar Isi
#1 Kondisi jalan naik turun dan berkelok
Sambatan pertama saya tentu saja kondisi jalan. Jika di pantura yang merupakan dataran rendah jalanannya datar-datar saja, beda halnya dengan daerah dataran tinggi seperti Magelang yang jalannya menanjak menurun dan berkelok-kelok. Bagi saya jalanan di pegunungan menyebalkan, lho.
Saya masih ingat pertama kali berjalan kaki di Magelang, baru 10 menit jalan napas sudah ngos-ngosan. Padahal dulu waktu masih jadi orang pantura, saya suka lho berjalan kaki. Pernah suatu kali saya berangkat kuliah jalan kaki dari kos, tapi karena jalan yang saya lalui naik turun, baju yang saya pakai jadi banjir keringat. Nyebelin nggak, sih? Sudah pakai baju rapi untuk kuliah, makeup yang cantik, pakai parfum yang wangi, eh jadi keringetan dan bau kecut begitu sampai kampus. Salah satu teman saya sampai berkata kalau tiap hari jalan kaki di jalanan yang naik turun, bisa-bisa betis kami jadi mirip talas bogor!
#2 Curah hujan tinggi
Menurut saya, daerah pegunungan itu nggak mengenal musim kemarau. Di sini hanya ada musim hujan. Tentu bukan tanpa alasan saya bicara demikian, walaupun sudah masuk musim kemarau, tetap saja hujan nggak akan ketinggalan. Apalagi kalau musim hujan, beuh, matahari seolah nggak mau memancarkan sinarnya di dataran tinggi kayak Magelang.
Hujan tentu memberikan dampak positif pada kehidupan, tapi kalau hampir tiap hari hujan kan repot juga. Sebagai mahasiswa yang ngekos, hujan yang turun tanpa henti cukup merugikan saya. Salah satu kerugian yang saya alami ya baju-baju saya yang telah dicuci jadi lama keringnya. Memang sih ada pilihan laundry, tapi sebagai kaum mendang-mending, lebih baik uang untuk laundry saya pakai buat jajan cilok.
Waktu tinggal di Magelang di minggu-minggu awal, sebagai orang pantura, saya cukup syok dengan hal ini. Tapi seiring berjalannya waktu, saya jadi punya tips dan trik baju cepat kering tanpa laundry. Eh, sambatan soal hujan belum berakhir sampai sini, lho. Ada satu hal nyebelin lagi dari curah hujan tinggi di daerah dataran tinggi, yakni wajib bawa payung dan jas hujan ke mana-mana. Di Magelang, hujan bisa datang tanpa permisi. Makanya sedia payung sebelum hujan ada benarnya.
Baca halaman selanjutnya….
#3 Udaranya dingin
Salah satu pengalaman yang nggak akan pernah saya lupakan saat pertama kali tinggal di dataran tinggi adalah masuk angin. Sebagai anggota mudah masuk angin club, tinggal di daerah pegunungan mungkin kurang tepat buat saya. Walau sudah beberapa tahun tinggal di sini, masuk angin masih sering saya alami.
Udara malam yang dingin jadi salahs atu penyebabnya. Padahal saya sudah tidur pakai selimut, lho. Maklum, udara di daerah pantura dan pegunungan kan berbeda. Saat di Pemalang dulu, saya nggak pernah tidur pakai selimut. Malahan dulu kipas angin wajib dipakai orang pantura. Tapi ketika tinggal di Magelang, boro-boro pakai kipas angin, panas saja nggak ada. Kalau tetap dinyalain kipasnya, saya malah tambah masuk angin~
#4 Nggak ada pantai
Sebagai pencinta pantai garis keras, saat pertama kali tinggal di Magelang, saya harus terbiasa nggak melihat pantai. Awalnya saya merasa kesulitan, sebab waktu masih tinggal di Pemalang, saya beberapa minggu sekali pergi ke pantai untuk healing sejenak. Tapi begitu sudah jadi orang pantura yang tinggal di dataran tinggi, saya jadi nggak bisa lagi melihat deburan ombak, melainkan hanya bukit dan gunung.
Sebenarnya bisa saja sih ke pantai dari Magelang, tapi harus ke daerah tetangga dulu seperti Purworejo atau Jogja. Duh, kan lumayan jauh dan merepotkan, ya.
Keluh kesah saya di atas saya alami di minggu-minggu awal pindah dari Pemalang ke Magelang, sih. Awalnya memang banyak ngeluh, eh, sekarang sudah berdamai dengan keadaan, nih. Dasar manusia!
Penulis: Hernika Aulia
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jangan Pensiun di Magelang.