Content Writer: Kelihatannya Aja Nyantai, padahal Nggak

Macam-macam Tipikal Klien yang Sering Dihadapi Seorang Content Writer content writer

Macam-macam Tipikal Klien yang Sering Dihadapi Seorang Content Writer Betapa Sulitnya Menjelaskan Profesi 'Content Writer' Pada Boomer

Content writer, pekerjaan yang kelihatannya bisa dilakukan dengan rebahan ini aslinya penuh deadline, riset, dan tanggung jawab moral yang nggak nyantai.

Waktu kuliah sambat soal perkuliahan, pingin langsung kerja. Giliran udah dikasih kerjaan, jebul sambat kerjaannya susah. Terus maunya apa?

Begitulah kalimat yang relate sekali dengan apa yang saya rasakan saat ini. Dulu saat sekolah, pengin cepat-cepat lulus biar jadi anak kuliah. Saat kuliah, pengen cepet-cepet lulus biar bisa kerja. Sekarang sudah kerja, pengennya… nikah? Belum. Belum pengen. Tapi semoga disegerakan hehe. Giliran sudah kerja malah saya suka sambat pusing kerjaan. Jadi mau saya ini apa sih?

Saya bisa dibilang fresh graduate tahun 2020. Meski saya belum melawati tahapan seremonial wisuda dan resmi menerima lembar ijazah, setidaknya berbekal surat kelulusan sudah bikin saya lumayan percaya diri. Waktu itu, sebelum tahun 2020, bahkan saya sudah nekat menjadi job seeker hanya berbekal transkip nilai sementara dan berita acara pasca sidang pendadaran (dan doa tentunya).

Saya berlatar belakang Sarjana Pendidikan (sarjana yang katanya serba sulit), dan ingin merasakan pekerjaan di luar bidang pendidikan. Dengan tekad yang bulat nan kuat, voila! Ada satu perusahaan yang akhirnya berjodoh dengan saya. Perusahaan tempat saya bekerja bergerak di bidang creative agency, Di tempat kerja pertama, saya mendapatkan posisi content writer sekaligus social media manager.

Biar saya jelaskan secara singkat bagaimana job desc saya di posisi ini.

Saya bertugas menulis konten untuk mengisi media sosial, website atau media pemasaran dari klien. Sebagai seorang social media manager saya juga bertugas mengelola akun media sosial klien untuk mengatur jadwal pengunggahan konten sesuai dengan segmentasi pasar dan jam-jam aktif para pengikut akun media sosial bisnis mereka. Saya harus mempelajari insight untuk melihat sejauh mana perkembangan akun bisnis mereka setelah menggunakan jasa kantor.

Setelah membaca artikel Terminal Mojok karangan Mbak Dini N. Rizeki, entah kenapa jiwa ke-content-writer-an saya ini merasa terpanggil. Meskipun belum genap 6 bulan saya bekerja di kantor agency, pekerjaan yang kelihatannya bisa dilakukan dengan rebahan sambal nyantai ini, ternyata bukanlah pekerjaan yang santai. Ini dia alasannya:

Satu: Memahami dengan baik product knowledge semua klien

“Halah kalau cuma mahamin produk sih gampang. Tinggal lihat, dan cermati” cermati, cermati, palamu bengkak! Eh saya jadi ngegas. Memahami product knowledge semua klien adalah kewajiban dari seorang content writer. Mana mungkin kami akan menulis sebuah konten yang tidak relevan dengan produk mereka. Misalnya, si klien adalah perusahaan makanan, masa iya kami menulis konten tentang otomotif! Jelas ramashok!

Kami harus membaca materi product knowledge mereka secara cermat. Kami juga harus memahami betul apa saja yang bisa dijadikan sebagai bahan konten produk mereka. Mending kalau klien yang dihadapi adalah produk-produk umum yang biasa kita temui bahkan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari (baca: makanan, minuman, pakaian) lha kalau produk kami ini di bidang-bidang tertentu macam teknologi dan bahan kimia?

Sedikit banyak kami harus belajar juga tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan produk klien. Dan percayalah, kepalamu akan nyut-nyutan kalau sudah gini.

Dua: Banyak rezeki banyak klien, banyak klien banyak deadline

Satu klien, enteng. Dua klien, okelah. Tiga klien, mampu dong! Empat klien, Boleh lah… Lima klien, hmm…. Enam klien, Subhanallah! Tujuh klien, Astagfhirullah! Delapan klien, ya Allah…! Sembilan klien, nyuwun tulung Gustiiii! Sepuluh klien…. Matikau terkubur deadline!

Nggak ding saya bercanda. Tapi setidaknya begitulah representasinya. Kami harus membuat dan menjadwalkan konten untuk banyak klien selama satu bulan. Membaca materi product knowledge belum termasuk riset kompetitor bisnis mereka. Iya, content writer juga harus riset! Kami harus rela begadang semalam, dua malam, tiga malam, bahkan bisa lebih untuk melakukan riset kompetitor di depan layar laptop dan ponsel.

Syukur-syukur mata kami masih berfungsi dengan baik setelahnya.

Tiga: Client is everything…

Seperti slogan pembeli adalah raja, bagi perusahaan agency macam kantor saya juga menyematkan slogan lawas yakni client is everything alias klien adalah segalanya. Maklum lah, kantor kami adalah kantor di bidang jasa. Jadi kami akan melakukan yang terbaik sesuai dengan permintaan klien. Kalau tidak begitu, mana cuan kami cair gais :’)

Bersyukur sekali rasanya jika kami dapat banyak klien yang tidak ribet dan cerewet. Tapi sayangnya manusia diciptakan berbeda-beda. Beda klien pasti beda tabiat, eh kok tabiat?

Saya pernah mendapat klien yang serba plin-plan, dan maunya instan. Klien seperti ini maunya cepat dan sat-set saat itu juga. Saat itu klien saya yang satu ini sudah memberikan approval jadwal konten selama satu bulan ke depan. H-1 pengunggahan konten, klien saya ini meminta adanya perubahan konten. Dengan info yang super duper dadakan. Bagus!

Padahal membuat konten dan membuat desain grafis (khusus pekerjaan designer) butuh waktu yang cukup agar hasil kerja maksimal sesuai dengan value bisnis para klien. Jika kami terburu-buru hasilnya tidak akan maksimal, dan saya yakin klien akan protes. Ujung-ujungnya juga kita yang salah gais…

Empat: Pekerjaan ini adalah part time musiman

Sebenarnya saya karang sendiri istilah ini. Pekerjaan content writer baik full time atau freelance adalah jenis pekerjaan yang sama musiman. Pekerjaan ini bisa ramai project sampai kami merasa gila berhari-hari, project dadakan, atau bahkan lengang sama sekali. Iya, kami ada ongkang-ongkangnya kok. Tapi jangan salah. Pekerjaan ini lebih banyak dikejar deadline-nya.

Lima: Beban moral atas tanggung jawab peningkatan bisnis klien

Beban moral tidak hanya dirasakan oleh guru, dokter, polisi, hakim, atau pekerjaan lain yang bersifat lebih profesional. Menjadi content writer juga tidak kalah terbebani moral. Kami merasa bertanggung jawaban terhadap pemasaran produk para klien secara digital. Saya pribadi akan merasa konten buatan saya gagal jika tidak mendatangkan banyak penjualan atau setidaknya engagement rate pada akun bisnis klien.

Ugalnya sih, udah nerima bayaran, kok klien nggak merasakan dampak apa-apa? Kamu ini gaji buta atau gimana?

Begitulah. Pekerjaan yang terlihat santai tidak selalu benar-benar santai seperti penampakannya. Meskipun sama-sama merasakan beban saat memasuki dunia kerja, tetap harus bersyukur ya Lur, masih diberikan rezeki oleh Gusti. Hehehe~

BACA JUGA Betapa Sulitnya Menjelaskan Profesi ‘Content Writer’ pada Boomer atau tulisan Ade Vika Nanda Yuniwan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.

Exit mobile version