HP pertama saya saat SD adalah lungsuran dari orang tua. Siemens C45, HP yang kerap disamakan dengan sabun batang. Kemudian saya diberi HP bekas dari ibu saya, Ericsson yang lagi-lagi belum polyphonic apalagi berkamera. Hingga akhirnya saya dibelikan sebuah HP untuk pertama kali. Yaitu HP GSM Fren. Lagi-lagi bukan Nokia, HP idaman banyak orang.
Sebagai anak yang mengidam-idamkan Nokia, tentu agak berat untuk menerima semua pemberian itu. Meski, pemberian yang sebenarnya sudah sangat baik untuk ukuran zaman dulu. Tapi, pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya saya punya HP Nokia pertama saya, sudah berkamera dan bisa untuk memutar lagu, lagi-lagi lungsuran bapak saya. HP tersebut membawa saya pada Nokia-Nokia saya yang lain. Mulai dari Nokia 3220, 5200, hingga si N73. Sampai pada akhirnya saya punya HP Nokia 5233.
HP bekas produksi 2011 itu saya gunakan di masa ABG saya. Saat itu, Nokia 5233 bisa dibilang sudah lumayan. Bisa buat Twitteran, FB, YouTube, main gim dengan grafik tokcer pada zamannya, hingga mengetik tugas lewat Microsoft Word. Dia punya kamera dan penyimpanan yang masih boleh beradu dengan BB dan smartphone Samsung. Bisa saya bilang Nokia 5233 milik saya adalah HP Nokia yang punya teknologi terbaru di masanya. Meski stylus zaman itu tidak begitu disukai, namun saya tak punya pilihan. Gitu-gitu, tetep saja hape mahal lho.
Kehebatan Nokia sudah kita ketahui bersama, dan Nokia 5233 saya pun menjadi buktinya. Badan mungkin dari plastik, tapi serat-seratnya seolah dilapisi serpihan sisik naga. Lebih dari lima kali jatuh parah. Berkali-kali jatuh dari motor, terlindas sepeda dan skateboard, sehari semalam tersembunyi karena jatuh di bawah tebing saat naik gunung, hingga pernah jatuh dan berhamburan mencar ke sana kemari. Tak pernah mati, hanya ada retak sedikit di bagian penutup belakang. Selebihnya aspal dan ban yang pecah, hingga tebing yang longsor. Sungguh hebat dan luar biasa.
Masuk ke air dan kehujanan juga tak hanya sering, tapi serupa shalat lima waktu, wajib, rutin, dan repetitif. Pernah diperbaiki dengan cara paling mutakhir. Mulai dari dijemur, ditaruh di atas ricecooker, hingga dimasukin ke beras. Ia tetap hidup sehat walafiat dan nggak rewel. Sekalinya ganti onderdil, hanya ganti stiker yang menempel di casing belakang. Dari yang tadinya stiker Avenged Sevenfold, menjadi stiker The Beatles.
Tapi, sebagaimana anak muda pada umumnya, kalah juga saya sama terpaan tren dan zaman. Pada awal 2014, akhirnya saya terpaksa ganti hape juga Nokia ada di masa-masa kehancuran, dan saya harus ganti hape untuk kemudahan. Akhirnya, Nokia 5233 yang jadi kawan suka dan duka itu terpaksa menepi, memberikan ruang untuk Samsung Galaxy.
Tak bisa dimungkiri, Nokia menemani perjalanan saya. Sebuah perjalanan yang mungkin dirasakan oleh banyak orang juga. Dan Nokia 5233 itu menjadi jembatan untuk saya menggapai dunia yang baru, android. Yang tak sekuat dirinya, tak seperkasa dirinya, dan setahan dirinya. Jangan sampai jatuh, apalagi masuk ke air. Sebab, tak ada lagi yang bisa setangguh Nokia.
Kalau saja Nokia beradaptasi dan nggak ngeyel, mungkin mereka masih jadi raja tak tergantikan di dunia hape. Membayangkan hape canggih dengan ketahanan mirip tank jadi hal yang tak mustahil. Tapi, tak apalah, Nokia akan selalu abadi dalam kenangan.
Sumber gambar: Pixabay