Kegiatan Tidak Berguna: Nyuruh Orang Berhenti Merokok atau Mempertanyakan Alasan Merokok

Kegiatan Tidak Berguna: Nyuruh Orang Berhenti Merokok atau Mempertanyakan Alasan Merokok terminal mojok.co

Kegiatan Tidak Berguna: Nyuruh Orang Berhenti Merokok atau Mempertanyakan Alasan Merokok terminal mojok.co

Wahai kawan-kawan bukan perokok di mana pun di seluruh Indonesia, tahukah kamu bahwa menyuruh ahli ngebul untuk berhenti merokok atau mengingatkan soal bahaya asap itu nirfaedah? Meskipun saya yakin sekali, niat kalian baik sekali. Tapi, maaf maaf, omonganmu nggak akan didengar. Buang-buang waktu saja, mending manfaatkan waktumu—yang nggak bisa diulang itu—untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat, bikin kopi misalnya.

Saya bilang begini bukan karena nggak menghargai niat baik kalian loh ya. Tapi, memang sampai kapan pun logika kita nggak akan sama. Mungkin buatmu rokok adalah silent killer nomor satu di dunia, tapi bagiku dia adalah sahabat baik. Untukmu mengisap rokok sama dengan membakar uang, untukku itu sama seperti beli air minum, biasa saja. Kamu menjauhi rokok, kami berjalan bersamanya. Makanya, kamu nggak akan mengerti jika ada orang yang melakukan hal aneh hanya demi rokok, seperti resign dari kerjaan gara-gara kalau mau merokok harus naik-turun lift. Jangan juga menanyakan motifnya apa, apalagi sampai bilang, “Kan bagus dong kalau nggak ngerokok, lebih sehat buat kantong dan paru-paru.” Hilih.

Dalam konteks pekerjaan, seorang perokok biasanya akan menyempatkan untuk sebats dulu. Bahkan walaupun jadwalnya super padat, sebisa mungkin cari alasan untuk keluar sepuluh sampai lima belas menit, mah. Sebats itu kami jadikan kesempatan untuk membikin tubuh jadi rileks, mengistirahatkan badan dan pikiran, atau mencari “udara segar”. Syukur-syukur kalau kerjanya bisa sambil merokok, mungkin semangat kami bertambah.

Dan asal tahu saja, seorang perokok tidak pernah merasa dibikin miskin oleh rokoknya. Nggak ada konsep seperti itu. Saya memang miskin, tapi bukan karena rokok. Bahwa rokok bisa menjadi ciri seseorang sedang miskin juga betul, tapi sekali lagi, dia bukan pelaku utamanya. Jangan pula memaksakan logikamu pada kami. Argumen berhenti merokok sama dengan menghemat uang itu sudah terlalu basi. Sebab pada kenyataannya nggak seperti itu.

Teman saya contohnya. Awal tahun 2021 mungkin jadi yang paling buruk buatnya. Beberapa hari setelah perayaan tahun baru—yang gitu-gitu aja—kemarin, dia divonis menderita infeksi paru-paru dan harus berhenti merokok total. Sebab ini urusannya hidup dan mati, dia nurut apa kata dokter. Sampai sekarang, sudah satu bulan lebih dia berhenti merokok. Lantas apakah pengeluarannya jadi berkurang?

Nggak.

Sebab dia justru jadi sering jajan. Duit yang biasanya dibeliin rokok, kini pindah jadi buat jajan makanan atau camilan. Satu hari, kadang lebih dari 3 kali jajannya. See? Sama aja boros kan?

“Mending jajan makanan dong, ada manfaatnya buat tubuh. Seenggaknya itu makanan jadi daging atau energi buat tubuh dan nggak buang-buang duit jadinya.”

Begitu kata kawan saya yang lain. Padahal mah kalau kantong sedang kering, saya lebih milih makan pas-pasan tapi masih ada sisa buat beli rokok daripada harus dihabiskan buat beli makan doang.

Yang paling penting buat kamu ketahui adalah kami, perokok ini, sadar betul bahaya dari setiap puntung yang kami bakar. Tapi, jangankan berhenti, mengurangi jumlah batang yang dibakar pun sulitnya minta ampun. Saya jadi ingat sepuluh tahun yang lalu, waktu masih pakai seragam putih biru, guru BK menyuruh kelas saya menonton video yang menjelaskan bahaya rokok. Di video itu, ada alat yang mengisap asap rokok tanpa henti. Lalu di ujungnya dipasangi semacam kapas. Kata guru BK saya, anggap kapas itu sebagai paru-paru kalian. Video fokus memperlihatkan perubahan warna kapas yang makin lama makin hitam pekat. Alhamdulillah sampai sekarang saya masih merokok.

Saat pemerintah menaikan harga rokok pun kami masih bisa mencari rokok yang harganya murah. Harga rokok boleh saja naik, tapi mohon maaf, paru-paru kami bisa menyesuaikan dengan asap rokok yang murah, kok.

Makanya sampai sekarang saya punya semacam prinsip buat nggak pernah mau menganjurkan atau melarang orang lain merokok, kecuali ke anak-anak di bawah umur. Sebab setiap orang punya jalan dan caranya masing-masing buat bertemu dengan rokok. Bisa karena patah hati, depresi, atau sekadar demi teman. Pun begitu dengan berhenti merokok. Ada orang yang berhenti merokok karena sudah berkeluarga, kena penyakit seperti teman saya, atau memang sudah waktunya berhenti.

Tapi, kami akan tetap berterima kasih pada kalian. Sebab dengan menyuruh kami berhenti merokok, artinya kalian lebih menyayangi kami daripada kami sendiri. Rasanya pengin jadian aja langsung terharu banget. Sumpah.

BACA JUGA Tidak Memaksa Pasangan Untuk Berhenti Merokok, Apakah Tanda Bahwa Kita Tak Mencintainya? dan tulisan Gilang Oktaviana Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version