Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup Nabati

Kebiasaan Latah dalam Bertani, Jalan Pintas untuk Merugi

Firdaus Al Faqi oleh Firdaus Al Faqi
18 Desember 2021
A A
bertani
Share on FacebookShare on Twitter

Mungkin, saya tak punya kapasitas untuk menilai, mengkritik, ataupun membahas hal-hal rumit terkait pertanian. Misalnya, membahas tentang bagaimana cara menanam padi yang baik, lebih baik pakai pupuk organik atau kimia, dan hal-hal mendalam mengenai pertanian lainnya.

Namun, ada hal yang belakangan ini cukup mengganggu. Saya lahir di masyarakat yang pada umumnya berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Di depan, samping kanan-kiri, dan belakang rumah, hampir semuanya punya kerjaan yang nggak jauh-jauh dari urusan tanduran. Yang jelas, saya cukup mengerti tentang bagaimana kebiasan masyarakat di sini.

Lantaran mau tidak mau nanti saya harus ngurusin tani, saya harus belajar sedikit tentang areal yang akan digeluti. Untuk sekarang, masih tidak boleh, masih terlalu muda katanya. Padahal, saya sudah 24 tahun. Tapi, itu hal lain.

Ketika saya belajar bertani, ada hal yang menarik perhatian. Salah satunya dari obrolan para petani ketika sedang berkumpul. Beberapa waktu belakangan ini misalnya, banyak petani yang membicarakan besarnya keuntungan menanam bawang merah.

Mereka membandingkan penghasilan menanam bawang dengan menanam komoditas yang banyak dipilih, padi dan jagung. Katakanlah, dalam empat kotak sawah, petani yang menanam padi ataupun jagung, per tiga bulan bisa mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp10.000.000.

Namun, kalau bawang merah, banyak yang mengatakan kalau hasilnya bisa berpuluh kali lipat lebih besar dibandingkan menanam padi dan jagung. Bahkan ada yang mengatakan kalau di desa A, B, C, si Anu sudah dapat ratusan juta dari bertani bawang merah.

Petani mana yang telinganya tak memerah mendengar ini? Atau, siapa yang tidak tergiur dengan penghasilan besar tersebut? Saya pun awalnya sangat tergiur dan tidak sabar untuk menanam bawang merah ketika tanaman jagung sudah selesai dipanen.

Tapi lama kelamaan, ketika mendengar semakin banyak obrolan tentang bawang merah, saya jadi ragu. Kenapa waktu itu sangat banyak orang yang membicarakan tentang bawang merah?

Baca Juga:

Blora, Kabupaten yang Bingung Menentukan Arah Pembangunan: Industri Belum Jadi, tapi Malah Ikutan Menggarap Lahan Pertanian

Buruh Tani Situbondo: Pekerjaan yang Sering Disepelekan, tapi Upahnya Bisa Bikin Iri Pegawai Kantoran

Dari situ saya mengurungkan niat untuk menanam bawang. Pasalnya begini, pakai ilmu yang sederhana saja, kalau di pasaran banyak yang menawarkan barang sejenis, biasanya harga lebih murah. Sedangkan kalau di pasar hanya ada sedikit penawaran dan banyak permintaan, maka harganya mahal.

Saya nggak tahu itu benar secara hukum permintaan penawaran atau tidak, tapi yang jelas, saya cukup terselamatkan dengan hal tersebut.

Untung atau buntung?

Begini. Kala petani banyak membicarakan masalah menanam bawang merah yang nantinya akan memberikan banyak keuntungan, maka nggak akan sedikit orang yang terpancing untuk ikut menanamnya. Permintaan terhadap bibit bawang, jelas-jelas sangat tinggi. Harganya juga.

Pasalnya, pasar emang begitu. Kalau permintaannya tinggi, harga naikin aja. Kalau nanti beli banyak, tentu saja semakin banyak uang yang harus dikeluarkan. Budget awal atau modal menanam bawang, tentu saja akan sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari biasanya.

Itu satu hal. Kemudian, ketika banyak orang yang menanam bawang sedangkan harga bawang saat ia menanam sedang mahal-mahalnya, ada kemungkinan si petani bawang merah yang baru ini, nggak akan sempat menikmati mahalnya harga bawang.

Tanaman apa pun, nggak akan ada yang langsung panen dalam waktu semalam. Kalau tidak salah, bawang merah bisa dipanen setelah paling tidak selama tiga bulan. Nah, dalam waktu tiga bulan, naik-turunnya harga bawang tidak akan bisa diprediksi.

Harga bawang merah anjlok

Ini cukup bikin saya penasaran hingga saat ini. Sepertinya, nggak ada alat ukur yang bisa memprediksi harga komoditas pertanian di pasaran. Tapi, ada hal yang secara tidak langsung memberikan sinyal bahwa harga bawang merah setelah banyak yang menanam, akan turun drastis.

Pasalnya, semakin banyak orang menanam dalam waktu bersamaan, maka selisih masa panennya nggak akan jauh-jauh. Paling hanya seminggu-dua minggu. Nah, ketika masa panen yang berbarengan ini, tentu saja ketersediaan bawang merah di pasaran sangat melimpah.

Barang apa saja dengan ketersediaan yang melimpah, kebanyakan memang ditawarkan dengan harga murah. Begitu juga dengan bawang merah. Kemudian, seperti yang bisa ditebak, sekitar satu bulan yang lalu, banyak orang yang menjerit karena harga bawang sedang anjlok-anjloknya.

Dalam satu referensi, kalau nggak salah harga bawang per kilogram hanya Rp6.000-10.000-an. Kabar ini cukup bikin saya ndredeg. Kalau waktu itu saya juga menanam bawang merah, bisa dipastikan saya akan mengalami kerugian yang cukup besar. Pasalnya, modal awal yang dikeluarkan juga sangat tinggi.

Disusul kemudian ada postingan di media sosial, ada seorang petani yang saya nggak tahu asal mana, teriak-teriak karena harga bawang sangat murah, menangis, dan saya cukup terharu. Tapi, itu adalah konsekuensi yang sepertinya hampir dialami oleh semua petani.

Harga bawang merah yang dianggap bisa menghasilkan untung banyak, kalau nggak salah di kisaran belasan ribu rupiah sampai dua puluh ribu ke atas. Itu baru bisa untuk besar. Tapi kalau harganya hanya 3-5 batang rokok Surya itu, hampir bisa dipastikan bahwa petani bawang merah beberapa waktu lalu, akan meringis kesakitan.

Latah dalam bertani, jalan pintas untuk merugi

Hal yang paling saya garis bawahi dalam masalah bertani, adalah kebiasaan dari petani itu sendiri. Kalau ada orang yang dianggap sukses dalam menanam satu komoditas, maka petani lain biasanya juga akan ikut menanam. Tak lama kemudian, harganya jadi sangat murah dan pokoknya anjlok.

Ada satu istilah yang tepat untuk menjelaskan hal ini: latah. Dengan kata lain, banyak petani yang ikut-ikutan kalau ada iming-iming untung besar. Petani, pegawai, pengusaha, atau bahkan pengangguran tetap sama saja, mau untung besar. Ini tidak bisa ditolak.

Kebiasaan latah ini, memang sempat saya amati berkali-kali. Waktu itu, saya bersepakat untuk menanam cabai. Harga cabai di pasaran, memang sangat tinggi. Per kilogramnya bisa sampai Rp120.000, lebih tinggi dari harga daging sapi biasa yang per kilo-nya Rp100.000.

Tak lama kemudian, banyak petani lain yang menanam cabai ketika harga cabai sedang tinggi. Namun, seperti bisa ditebak, ketika panen usai, harga cabai telah turun drastis. Rugi lagi, meringis lagi.

Saya nggak tahu harus merasa kasihan atau bagaimana, tapi yang jelas, kebiasaan latah dalam bertani memang harus dihilangkan. Atau pilih saja jalan aman, tanam komoditas yang harganya stabil seperti padi dan jagung. Minim risiko, harga stabil, tapi keuntungannya juga cukup untuk memenuhi kebutuhan. Ingat, kebutuhan. Bukan keinginan.

Dengan begitu, mungkin memang ada baiknya para petani, khususnya saya yang mungkin suatu hari nanti terjun beneran, untuk tidak latah, ikut-ikutan, atau mendewakan tren yang sedang berlangsung. Kalau memaksa, silakan. Latah dalam bertani, akan lebih mudah membawamu ke jurang keboncosan.

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 18 Desember 2021 oleh

Tags: bawangkerugianlatahpertanian
Firdaus Al Faqi

Firdaus Al Faqi

Sejak lahir belum pernah pacaran~

ArtikelTerkait

Dilema Coffee Shop di Kabupaten: Hidup Segan, Mati kok Udah Keluar Modal Banyak, Pusing!

Dilema Coffee Shop di Kabupaten: Hidup Segan, Mati kok Udah Keluar Modal Banyak, Pusing!

10 September 2024
Alasan Anak Petani Tidak Bercita-cita Menjadi Petani terminal mojok.co

Alasan Anak Petani Tidak Bercita-cita Menjadi Petani

20 Oktober 2020
Buruh Tani Situbondo: Pekerjaan yang Sering Disepelekan, tapi Penghasilannya Bisa Bikin Iri Pegawai Kantoran Mojok.co

Buruh Tani Situbondo: Pekerjaan yang Sering Disepelekan, tapi Upahnya Bisa Bikin Iri Pegawai Kantoran

3 Juli 2025
petani cabai

Curahan Hati Petani Cabai

26 Juli 2019
Cacapan, Kuliner Khas Kalimantan Selatan Pengganti Sambal yang Tak Kalah Menggoyang Lidah

Cacapan, Kuliner Khas Kalimantan Selatan Pengganti Sambal yang Tak Kalah Menggoyang Lidah

28 Oktober 2023
Pembajakan Buku Tak Hanya Merugikan Penerbit, tapi Juga Pembaca!

Pembajakan Buku Tak Hanya Merugikan Penerbit, tapi Juga Pembaca!

1 Juli 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Perpustakaan di Indonesia Memang Nggak Bisa Buka Sampai Malam, apalagi Sampai 24 Jam

26 Desember 2025
Dosen Pembimbing Nggak Minta Draft Skripsi Kertas ke Mahasiswa Layak Masuk Surga kaprodi

Dapat Dosen Pembimbing Seorang Kaprodi Adalah Keberuntungan bagi Mahasiswa Semester Akhir, Pasti Lancar!

25 Desember 2025
Daihatsu Gran Max, Si "Alphard Jawa" yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan Mojok.co

Daihatsu Gran Max, Si “Alphard Jawa” yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan

25 Desember 2025
Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

26 Desember 2025
Mengenal ITERA, Kampus Teknologi Negeri Satu-satunya di Sumatra yang Sering Disebut Adik ITB

Mengenal ITERA, Kampus Teknologi Negeri Satu-satunya di Sumatra yang Sering Disebut Adik ITB

20 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu
  • Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.