Sejatinya saya ini amat benci dengan KKN. Selain buang-buang uang, pol mentok ya mahasiswanya memanfaatkan KKN untuk sekadar plesiran belaka, apalagi KKN ke luar Jawa. Dari cerita kawan sampai saudara, KKN tak ubahnya jadi wahana wisata gratisan. Lumayan to, pulang pergi dibiayai, oleh-oleh ya bayar sendiri.
Yang saya maksud KKN ke luar Jawa lho ya.. Lha kalau kamu kuliah di Bulaksumur, terus lokasi KKN-mu di Karanggayam, itu namanya nggak plesiran, Buos. Itu sih namanya pindah tempat kos doang. Tapi, yang model begini memang patut diacungi jempol. Antara males, mager, atau kalau nggak ya ogah ribet.
Saya berencana pengin sekali cari lokasi KKN yang dekat. Rumah saya Bantul, kalau perlu ya lokasi KKN di Kreteg kalau nggak ya Bambalipuro. Hemat ongkos, pun hemat waktu. Medan dan kondisi? Hapal betul. Ndilalahnya semesta saya nggak seasyik semestanya Fiersa Besari. Entah angin dari mana, saya memilih lokasi KKN luar Jawa, di daerah yang terdampak gempa Lombok beberapa tahun silam.
Babar blas saya nggak merencanakan plesir ke Tiga Gili. Saya hanya merasa, sebagai alumni gempa Jogja 2006 silam, saya kudu ikut program ini. Itu pikir saya, hal-hal melankoli berkelindan di kepala.
Saya masuk dalam klaster pendidikan. Cen uaneeeh. Saya Fakultas Filsafat kok ya bisa-bisanya disuruh ngajar. Mau ngajar apa coba? Materialis dialektis Žižek? Sebagai mahasiswa yang hanya bisa nyah-nyoh, saya menyetujui. Pikir saya ya, kawan-kawan lain juga bakal bingung ngajar apa.
Jebul saya salah. Rekan saya di kluster pendidikan, dari fakultas lain, sudah merencanakan hendak mengajar hal-hal ndakik yang keliwat keren. Bahkan ada yang hendak mengajar praktik sains. Welah, pasca gempa bukannya senang-senang kok ya malahan disuruh mikir. Bodonya lagi, ya jelas saya ikut-ikutan bikin proker yang keliwat ndakik.
Entah sejak kapan, kami semua memasukan pola pikir pendidikan Jawa ke dalam formula mengajar kami di lokasi KKN. Tepatnya di Dusun Tenggorong, Gumantar, Kayangan, Lombok Utara. Saya mencoba mafhum, mungkin kawan-kawan saya ini paham betul kondisi medan di sana.
Seperti yang saya katakan tadi, saya pun sama saja. Saya menyiapkan standar kurikulum terbaik babagan pengajaran tentang Pancasila. Kurang mbois apa? seakan saya membawa panji fakultas saya dengan begitu elok cum ngawu-ngawu. Di sana saya membayangkan, semua tatap mata melihat saya tengah mengajar Sila Ketiga atau Keempat. Wedyan.
Bak tersambar petir, sampai di lokasi KKN berbagai fakta kami dapat. Kelas enam—kelas yang saya ampu—murid yang bisa membaca itu bisa dihitung dengan jari. Problematik, semua yang telah menyiapkan materi ndakik setengah mampus, banting setir jadi mengajar membaca.
Ya, semua kawan banting setir juga, yang tadinya telah menyiapkan materi musikalisasi puisi “Aku” karya Chairil Anwar, tiba-tiba saja mengajar menghafal abjad. Pun saya, bagi para murid korban gempa, Pancasila hanyalah sekadar gambar yang pernah mereka lihat di dinding bekas sekolah mereka yang kini ambruk nggak tersisa.
Di tengah terik Kayangan dengan pikiran paling bundet, saya hanya bisa mbatin, “Sok-sokan ngajar Pancasila, justru saya nggak becus mengkonsepkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!”
Saya menemukan problematik yang sejatinya bisa dipecahkan oleh pendidikan, bukan tentang Pancasila, melainkan membedah betapa bahayanya pernikahan dini di tempat ini. Saya merasa telah usai dengan permasalahan pernikahan dini di Jawa—atau di tempat tinggal saya wes, Jogja. Kalau nggak ya lingkungan terdekat saya, desa saya. Namun di sini belum usai.
Menggunakan penalaran seperti itu, lantas saya menganggap semua daerah di Indonesia terlepas dari problematik ini–pernikahan dini. Tanpa berpikir, persoalan di daerah lokasi KKN saya, itu blaaas berbeda dengan permasalahan di tempat saya.
Tentu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sudah menjelaskan dengan rinci, pol mentok pernikahan itu ya 19 tahun. Itu saja sudah dinaikan guna mengurangi resiko hamil di usia terlalu muda dan segenap alasan kesehatan lainnya. Ini lho, di lokasi KKN saya, bocah yang baru keluar SMP, sudah direncanakan untuk menikah.
Tujuannya, kedua belah keluarga, mereka berpikiran bahwa dengan pernikahan, beban masalah mereka—si orangtua—kepada si anak sudah selesai. Geger gedhen jika mereka tahu, ketahanan rumah tangga yang mereka bangun nggak bakal kuat jika dibarengi dengan ekonomi keduanya yang masih imbas-imbis.
Sedang kluster pendidikan, sibuk menjejali mereka dengan puisi-puisi dan Pancasila yang jelas membuat anak-anak itu garuk-garuk kepala. Pandangan saya berpusat kepada Jawa, di sana, anak di usianya ya memang paling wangun ikut lomba baca puisi. Padahal masalah besar menanti mereka, yakni pasca lulus bakal dikawin oleh kawannya sendiri yang baru kemarin ini main Yeye dan Benteng bersama di belakang sekolah.
SMP lho ini, buos, SMP.
Jebul nggak hanya klaster pendidikan saja, pun dengan kluster yang lain. Contoh kecilnya, yaaa.
Misalnya kawan-kawan Saintek yang hendak membantu tersumbatnya pipa pembawa air bersih dari lereng Rinjani sampai ke desa karena longsor akibat gempa. Skema sudah mereka siapkan dari jauh hari, problematik datang bahwa yang longsor itu berada di lokasi Hutan Adat Beleq.
Salah satu warna menuturkan, “Kalau tenaga dan alat, mungkin kami sendiri bisa. Tapi ini perihal aturan adat, kan? Kalau salah-salah, kami bisa ditelan oleh longsor berikutnya.” Kawan-kawan hanya bisa menelan ludah. Alat canggih yang dibawa dari Jogja, menganggur sampai KKN usai.
Bekal KKN yang diterima hanyalah seputar cuaca, hal-hal yang kudu dibawa, dan obat-obat apa saja yang harus ada di tas. Nggak pernah terbesit sekalipun perihal “apa yang benar-benar dibutuhkan”. Kondisi di lingkungan kampus, biasanya terbawa sampai ke lokasi. Sejak saat itulah proses berpikir yang adil sejak dalam pikiran terbentur oleh sistem berpikir yang amat Jawasentris ini.
BACA JUGA Percayalah, KKN Dekat Rumah Itu Nggak Enak dan tulisan Gusti Aditya lainnya.