Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah baru saja sah sebagai pasangan suami dan istri. Pun hari ini sedang melewati hati ketiganya sebagai pengantin baru. Namun, muncul sebuah kutipan ucapan dari Atta di linimasa media sosial saya. Sebuah pernyataan yang sebetulnya telah diucapkan sebelum pernikahan tersebut terlaksana.
Setelah saya ulik-ulik, saya menemukan video lengkapnya. Saat itu Atta Halilintar sedang diwawancara oleh Bunda Ashanty di channel YouTube The Hermansyah. Mereka mengobrol soal hubungan Atta dengan Aurel. Lika-liku yang telah terlewati dulu, kondisi hari ini, dan harapan-harapan yang ingin dicapai di masa mendatang. Berikut video lengkapnya.
Dari video yang berdurasi sekitar 36 menit itu, saya orang yang awam ini, melihat bahwa Atta tampak (ingin) memiliki power lebih besar dalam hubungan tersebut. Banyak hal yang dia sebutkan sebagai keinginan dari hubungan itu adalah keinginannya, bukan keinginan mereka berdua. Baik soal punya anak 15, ingin Aurel punya karier lebih melejit, dan seterusnya.
Hingga kemudian Atta Halilintar mengatakan ini, “Aku kalau udah berkeluarga, aku tuh kepala keluarga. Kamu nggak kayak kita pas masih tunangan. Izin suami, suara suami adalah dari Tuhan. Jadi, kalau aku nggak izin ini ini ini, kamu harus nurut, nggak bisa kayak sebelumnya.”
Pernyataan tersebut sekilas memang tampak sebagai sebuah pernyataan seorang lelaki yang bertanggung jawab. Seorang lelaki yang akan menjadi tameng dan pelindung bagi pasangannya. Namun, yang saya rasakan justru sebaliknya. Bukannya merasa bahwa itu pernyataan romantis, saya justru merasa bahwa itu adalah pernyataan yang sungguh menakutkan.
Seperti yang sudah sering kita dengar bahwa sebuah pernikahan adalah tentang hubungan dua orang, bukan relasi satu orang yang ingin menguasai lainnya. Lantaran hubungan tersebut butuh untuk mewadahi kepentingan dua kepala, salah satu cara untuk menjembataninya adalah berdiskusi. Betul suami adalah kepala keluarga, tapi itu bukan berarti istri tidak punya hak yang sama untuk menyatakan keinginannya, kan?
Belum lagi keinginan Atta yang seolah menuntut Aurel untuk beginilah, begitulah. Mungkin itu terdengar baik dan mendukung Aurel untuk menjadi figur yang lebih luar biasa. Akan tetapi, adakah garansi bahwa Aurel juga menginginkan hal yang sama? Bagaimana kalau ternyata Aurel ingin menjadi sosok yang tampak biasa-biasa saja? Bagaimana kalau Aurel tidak ingin terlalu banyak mengejar kehidupan penuh tuntutan publik, supaya ia bisa menjalani kehidupan dengan lebih tenang, damai, dan lebih fokus pada dirinya sendiri serta keluarga kecilnya?
Bagaimana kalau keinginan sederhana Aurel itu tidak berani dibicarakan karena ia sudah keder duluan dengan kalimat, “Istri harus nurut suami. Suara suami dari Tuhan.” Ya, kalau saya, sih, keweden, Lur. Kalau saya loh, ya.
Kalimat-kalimat semacam itu sudah tidak selayaknya lagi dijadikan landasan. Memposisikan diri sebagai suami yang posisinya lebih tinggi dari istri saja bermasalah. Apalagi memposisikan dirinya sebagai Tuhan. Sungguh itu menakutkan.
Jadi, daripada menganggap bahwa istri adalah milik suami ataupun posisi istri itu di bawah suami, bukankah lebih nyaman kalau keduanya membangun hubungan yang bersifat partnership? Posisi keduanya yang setara akhirnya dapat membangun diskusi yang bersifat argumentatif dalam pengambilan keputusan demi kenyamanan semuanya. Jadi, hubungannya malah lebih bisa saling terbuka selayaknya sahabat. Ini juga enak buat suaminya, loh. Jadi, ia nggak stres karena terlalu berat menanggung beban tanggung jawab yang seolah harus ditanggungnya sendiri.
Hal ini akan bikin sikap izin kita bukan dilakukan atas dasar takut, tapi karena keinginan untuk sama-sama diperlakukan seperti itu. Lantaran adanya keinginan supaya sama-sama enak dan untuk saling memenuhi kebutuhan “ingin dikabari” satu sama lain. Lagian, apa ya enak dicintai karena rasa takut? Kalau saya, mendingan dicintai karena rasa nyaman, sih. Kalau saya loh, ya.
BACA JUGA Netizen Nyinyir Atta Pamer Kemesraan sebagai Pengantin Baru: Bersikap Here and Now Itu Sulit! dan tulisan Audian Laili lainnya.