Karya Sastra Bisa Jadi Alat Propaganda, Asal Nggak Kelihatan Bohongnya

Karya Sastra Boleh Jadi Alat Propaganda, Asal nggak Keliatan Bohongnya terminal mojok.co

Karya Sastra Boleh Jadi Alat Propaganda, Asal nggak Keliatan Bohongnya terminal mojok.co

Akhir-akhir ini, di internet, kita disuguhi berbagai macam karya sastra, terutama film. Dari film yang viral karena banyak diterima oleh masyarakat, sampai film yang viral karena banyak ditolak oleh masyarakat.

Tidak ada karya sastra yang dibuat tidak mengandung pesan. Sudah menjadi sebuah kelaziman, jika si pembuat karya ingin menyampaikan ide-ide tertentu dengan indah lewat karya mereka baik langsung maupun tidak langsung. Nah, berangkat dari konsep inilah saya berpikir karya sastra bisa menjadi alat propaganda. Atas anggapan ini pula banyak orang yang menolak beberapa karya sastra.

Walaupun pada akhirnya tidak semua pesan bisa diterima dengan baik oleh penikmat, setidaknya sebuah karya sastra merupakan wujud utuh yang tidak bisa disalahkan. Justru terkadang setiap karya bisa ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang, itulah kekuatannya yang unik.

Sebut saja film Tilik yang diproduksi oleh Ravanca Films ini menggambarkan keadaan yang sangat alami. Maksudnya tidak seperti sebuah akting yang dibuat-buat, namun sebuah rutinitas pada kehidupan masyarakat pada umumnya.

Efeknya apa, masyarakat yang menonton sampai terseret masuk ke adegan tersebut. Tidak sedikit penonton yang dongkol menyaksikan adegan Bu Tejo bergunjing. Bukan kah dengan begitu pesan tersebut telah tersampaikan?

Pesan yang disampaikan secara apik ini ternyata mampu menembus hati dan emosi para penonton dengan lembut tanpa banyak basa-basi. Bagi orang yang gemar menggosip, maka dengan menonton film ini mereka akan bisa bercermin.

Atau justru para penonton yang merasa sok suci akan tertawa menyaksikan adegan Bu Tejo, seakan menuduh rekannya di dunia nyata yang gemar menggosip lengkap dengan sepaket analisis dan pertanyan-pertanyaan kritisnya.

Boleh jadi setelah menonton film ini banyak orang yang mengubah perilaku. Memang siapa sih yang mau disamakan dengan Bu Tejo? Untung saja Bu Tejo ini hanya tokoh fiksi, jika tidak maka Bu Tejo akan habis dirundung oleh netizen. Wong sudah tahu ini film fiksi saja, Siti Fauziah selaku aktris yang memerankan Bu Tejo kena dampak verbal bullying tersebut. Ia sempat mengaku sedih berhari-hari. Netizen nggak dewasa ah!

Saya pikir si pembuat film tidak ada maksud ingin menjatuhkan harkat dan martabat perempuan hanya karena di film tersebut menggambarkan perempuan yang suka ngegosip. Masyarakat cukup cerdas kali, tidak mungkin memandang rendah para perempuan hanya karena film tersebut. Masih banyak perempuan seperti Yu Ning, meskipun mereka terancam tidak memiliki teman di kelompoknya.

Karya sastra berupa film lain yang bisa dibilang sukses adalah Loz Jogjakartoz. Meski isu di film itu terbilang ora umum atas definisi budaya orang Yogyakarta, film ini cukup apik dan alami sekali. Bahkan mampu mengubah pikiran saya yang sebelumnya berpikir bahwa kota Yogyakarta adalah kota yang indah, ramah dan penuh kedamaian. Setidaknya dengan menonton film itu saya tetap perlu berwaspada jika suatu hari nanti akan melangkahkan kaki di kota itu lagi.

Sebenarnya yang menjadi kekuatan pada film itu adalah bahasa dan sepaket budaya dalam berkomunikasi antara tokoh satu dengan yang lain. Sehingga ketika saya menemukan hal yang di luar sepengetahuan saya, akal saya masih bisa menerima karena yang saya lihat adalah adegan orang Yogyakarta yang memang terasa Yogyakartanya.

Film yang tak kalah sukses adalah Jokowi. Bisa dibilang film itu adalah film yang menceritakan perjalanan hidup Pak Jokowi. Film itu tayang pertama kali di pertengahan tahun 2013, satu tahun sebelum Pemilu Presiden. Bisa saja ini film disebut sebagai film propaganda atau sebuah film penepis berita bohong atas perjalanan hidup Pak Jokowi. Namun hal itu tidak begitu terasa karena film tersebut disajikan secara apik dan sepersis mungkin dengan kondisi Pak Jokowi di masa itu.

Saya menilai, pembuat film ini sangat cerdas, karena bisa menggambarkan keadaan kota Solo pada masa Soeharto dengan menampilkan gerakan penumpasan anggota PKI sampai ke akar-akarnya. Dan yang tak kalah keren adalah di pembukaan film tersebut, ketika seorang ayah dengan sepeda ontelnya diberhentikan petugas Satpol PP, ia dikira ikutan berjualan hasil taninya bersama dengan sosok orang-orang desa lengkap dengan pakaian jaman dulunya. Adegan itu terkesan sangat alami dan sebuah pembuka yang kuat.

Tentu hal tersebut dapat membangun sebuah keyakinan pada setiap orang yang menonton film tersebut bahwa hal itu benar-benar terjadi di Solo pada masa itu. Untuk seterusnya hingga film itu selesai, maka para penonton akan dengan lebih mudah menerima film tersebut sebagai karya sastra dan telah memberikan fakta yang sebenarnya. Apalagi film itu ditutup dengan adegan pelantikan Pak Jokowi sebagai Gubernur DKI. Sempurna sekali.

Tidak seperti film Jejak Khilafah di Nusantara yang sempat viral lalu diblokir oleh pihak YouTube. Jika benar film berdurasi 50 menitan itu adalah film yang dimaksud, maka saya sangat kecewa tentunya. Saya pikir itu tak layak disebut sebagai sebuah karya sastra.

Saya pikir film ini akan dimulai dengan adegan pelayaran orang-orang berjubah seperti Pangeran Diponegoro, setidaknya menyerupai sosok Walisongo atau para Habaib di negeri ini. Lalu mereka merapat di sebuah daratan yang disebut Nusantara lengkap dengan gambaran penduduk Nusantara pada masanya. Tapi di film yang saya tonton sama sekali tidak ditemukan hal spektakuler semacam itu.

Bahkan saya katakan film tersebut hanyalah seperti cuplikan pada acara On The Spot, sehingga kepala saya langsung menolak jika film tersebut dikatakan sebagai karya sastra. Andai saja pembuat film itu menyadari bahwa kekuatan sastra itu dahsyat, mungkin ia menyesal telah merilis film mentah tersebut.

Saya membayangkan jika film itu disajikan dengan apik, mungkin film itu akan menjadi ancaman besar untuk bangsa ini. Sebab, kita tahu bangsa ini sangat sensitif dengan isu khilafah. Misalnya film sejarah itu berisi sejarah yang benar, saya pikir akan sulit diterima oleh bangsa sendiri. Terlebih lagi isi sejarahnya disebut sebagai khayalan oleh seorang pakar sejarah. Saya pikir menjadi hal yang wajib untuk menyajikan film secara apik dan sealami mungkin agar film itu bisa diterima.

Contoh karya sastra lain yang sulit diterima adalah sebuah puisi Ibu Indonesia yang dibacakan Bu Sukmawati Soekarnoputri. Jika saya baca dengan hati yang tenang, saya bisa menangkap maksud Bu Sukmawati ingin mengajak bangsa Indonesia bangga dengan pakaian dan budaya bangsa; seperti konde dan kidung.

Bahkan saya pikir boleh saja menulis seorang tokoh yang berkarakter lebih suka dengan konde daripada cadar, hanya saja ini perlu awalan yang kuat. Maksud saya, jika disampaikan di dalam bait puisi akan menjadi terlalu kasar dan menyakiti orang lain.

Setidaknya untuk menyampaikan hal yang sensitif ini perlu teknik yang lebih lembut, sehingga bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya diawali oleh film yang menggambarkan latar belakang tokoh tersebut, kenapa bisa memiliki ide itu secara subjektif.

Saya masih ingat betul dengan ucapan dosen saya, Ibu Ruisah yang mengajarkan kesusastraan kepada saya, beliau mengatakan “Isinya karya sastra ya sekitar isu-isu yang sensitif itu, seperti agama, ras dan suku.”

Beliau menambahkan, “Sastra lah yang bisa menembus dinding pemisah itu, sehingga mari bersastralah dengan baik sebagaimana manusia yang memanusiakan manusia!

BACA JUGA Seret Meminang Vario 125 Gara-gara Fitur CBS dan ISS dan tulisan Erwin Setiawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version