Kami Tidak Berniat untuk Golput, tapi Kami Bingung Mau Memilih yang Mana

Dinasti Politik Cuma Tema Basi yang Dilempar oleh Calon Kering Imajinasi terminal mojok.co

Dinasti Politik Cuma Tema Basi yang Dilempar oleh Calon Kering Imajinasi terminal mojok.co

Saya baru sadar satu hal tentang golput setelah makan sama Bos. Tadi malam, saya diajak oleh Bos kantor saya untuk makan malam. Ada dua pilihan makanan yang Bos sodorkan dan harus saya pilih, antara ayam goreng atau nasi goreng. Namun, malam tadi terasa berbeda karena saya sedang tidak mood makan ayam. Padahal, aslinya saya suka daging ayam. Nasi goreng pun pasti dikasih campuran daging ayam. Saya tahu daging ayam banyak nutrisinya. Tapi, saya bingung karena siangnya saya sudah makan mi ayam. Kalau saya makan ayam-ayaman lagi, kasihan perut saya.

“Hmmm lagi nggak mood makan ayam-ayaman, Pak. Gimana kalau beli rames di warung dekat pasar? Biar ada sayur-sayurnya gitu.”

“Ya udah, yuk cus ke warung sana.”

Syukurlah Pak Bos sangat demokratis kali ini. Walau pilihan cuma dua makanan dan semuanya yang mengandung daging ayam, beliau menghargai perbedaan pilihan saya untuk tidak memilih keduanya. Beliau tahu bagaimana bingungnya saya. Eh, malah justru ikut makan rames juga

Pagi harinya saya berpikir, apakah kasus yang seperti itu bisa dikatakan bahwa saya termasuk orang golongan putih alias golput? Secara terminologi bisa jadi demikian karena saya tidak memilih apapun dari beberapa pilihan yang tersedia. Namun, ada latar belakang yang konkret dari saya mengapa untuk memilih tidak memilih kedua makanan itu, yaitu kebingungan.

Orang pasti tahu rasanya bingung. Biasanya kebingungan kita muncul saat dihadapkan pada pilihan yang memiliki kesamaan sifat, maupun jumlah pilihan yang sedikit. Kesamaan sifat dan jumlah pilihan yang sedikit menyebabkan berkurangnya variasi pilihan yang bisa dibentuk. Sama seperti yang saya rasakan saat berhadapan dengan pilihan makanan yang sedikit dan sama-sama ada unsur ayamnya.

Contoh lain ketika akan membeli mobil. Kita dihadapkan pada hanya dua pilihan, Agya oleh Toyota atau Ayla oleh Daihatsu. Secara umum, mobil ini tampak sama persis jika dilihat dari luar maupun interiornya. Bahkan, untuk harga akad pembeliannya nyaris sama. Saya saja sering tertipu dengan dua jenis mobil ini di jalan. Saat itulah otak dan nurani kita diuji oleh suatu kebingungan besar, mau pilih yang mana?

Coba misalnya kita dihadapkan pada banyak pilihan, selain dua mobil tadi ada Honda Jazz, Suzuki Ertiga, dan macam-macam. Pasti akan lebih mudah memilih salah satu di antara banyaknya pilihan. Tapi, yang pasti pilihan tetap pada satu hal : mana yang paling murah? Hahaha.

Walaupun kita tetap dibingungkan oleh pilihan beberapa mobil tersebut, tapi kebingungan itu tidak berlangsung lama karena ada variasi pilihan dan perbedaan sifat. Semakin mudah menemukan perbedaan, semakin mudah pula untuk memilih. Dan itu akan menjauhkan dari sikap golput.

Sama seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada). Jika hanya ada dua pasangan calon (paslon) yang memperebutkan takhta kekuasaan suatu daerah, ya masyarakat akan kebingungan. Penilaian orang (tentu saja selain tim sukses) terhadap pasangan calon pasti beragam. Misal Paslon A ada kekurangan dari segi kepribadian. Tapi, kekurangan di Paslon A ditutupi oleh kelebihan di Paslon B, begitu pula sebaliknya. Itu yang membuat khalayak umum cukup kebingungan untuk memilih karena tidak ada variasi pilihan lagi.

Memilih kepala daerah tidak sama memilih bubur ayam yang pro diaduk atau pro tidak diaduk yang dipilih berdasarkan selera. Memilih kepala daerah masuknya ranah umum, sudah tidak bisa mementingkan lagi selera pribadi saja, tapi juga harus mementingkan kepentingan publik. Untuk itu, sebagai pemilih harus tahu sebanyak informasi dari paslon. Mulai dari kepribadian, latar belakang, kekayaan yang dimiliki, dan masih banyak lagi. Perlu pertimbangan yang matang dari pemilih yang (katanya) diberi hak konstitusional. Jadi, tidak boleh ada pemaksaan dari pihak manapun.

Tentu tidak semua informasi 100% lengkap mengenai masing-masing calon. Setidaknya komponen utama yang harus dimiliki oleh setiap paslon dan harus kita tahu adalah kemampuan untuk memimpin. Maksudnya ya pengalaman memimpin sebuah perkumpulan masyarakat, bukan memimpin tim kecil seperti band. Misalnya pernah memimpin karang taruna, kegiatan sosial, atau yang menyangkut hajat orang banyak. Itu patut dipertimbangkan.

Kalau ada salah satu paslon yang kita tahu bahwa beliau menonjol dalam hal kepemimpinannya, itu akan memudahkan kita untuk memilih. Tapi, kalau sama-sama tidak ada dasar kemampuan untuk memimpin, maka akan timbul sebuah kebingungan yang bisa berakibat “golput”.

Itu kalau terjadi di masa normal pilkada. Nah, sekarang kita menghadapi “tantangan” untuk diselenggarakan pilkada serentak yang jatuh pada 9 Desember 2020. Sudah penentuan pasangan calon kontestan pilkada terkesan terburu-buru dan memaksakan, ditambah dengan keadaan pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda berdamai dengan kita. Ini juga menjadi sumber kebingungan masyarakat, mau ikut kontestasi pilkada sebagai pemilih, atau berlindung dari bahaya Covid-19 yang masih mengintai. Itu pilihan pribadi masing-masing pemilih.

Akan tetapi, kalau ada yang memang tidak bisa memilih pasangan calon, jangan terus dilabeli dengan istilah orang golput. Saya yakin banyak masyarakat di daerah yang mengadakan pilkada akan bingung untuk memilih yang mana. Bukan ada niat “jahat” dari tiap individu karena males-malesan ikut pesta demokrasi tersebut.

Mungkin bagi yang bersangkutan, para pasangan calon ini sama-sama baik. Tidak ada cacat sama sekali di matanya. Sehingga bimbang mau pilih yang mana. Akhirnya, jalan satu-satunya demi kemaslahatan bersama yaitu dengan tidak memilih. Itu kalau semua paslon memang memiliki karakter baik. Coba kalau dipandang sebaliknya, ya otomatis akan semakin bingung untuk memilih, yang berujung pada tidak memilih.

Ada seorang guru bangsa berkata, “Ikutlah memilih, agar tidak memberi kesempatan orang jahat untuk memimpin.” Secara umum itu anjuran yang baik. Akan tetapi, kalau memang dasarnya kita bingung untuk memilih pemimpin daerahnya, masa tetap dipaksa untuk memilih? Apalagi dalam masa pandemi seperti ini. Masyarakat makin dibuat bingung untuk memilih pemimpinnya atau keselamatan pribadinya. Kembali urusan pribadi masing-masing. Orang lain tidak boleh memaksa seperti itu.

Sebenarnya saya juga ingin ikut menggunakan hak pilih saya di Solo, salah satu daerah yang besok desember kebagian jatah menyelenggarakan pilkada. Cuma saya bingung, ikut nyontreng apa tidak? Soalnya KTP saya ikut wilayah Kabupaten Banyumas. Saya takut nantinya dituduh golput.

BACA JUGA 4 Ciri Orang yang Perlu Dihindari dalam Transaksi Utang-Piutang dan tulisan Hepi Nuriyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version