Gara-gara menulis tentang sisi gelap Jepang kemarin, saya jadi tertarik mencari tahu lagi tentang kota Kamagasaki. Benarkah kota tersebut dihapus dari peta Jepang?
Saat mencoba mencari kota Kamagasaki (釜ヶ崎) di Google Maps, ternyata masih ada, kok. Letaknya ada di dekat Stasiun Shin-imamiya dan Kebun Binatang Osaka. Meskipun saya belum pernah ke sana, sewaktu di Jepang saya juga pernah mendengarnya, kok. Sebenarnya jaraknya pun hanya 45 menit dari tempat tinggal saya dulu, tetapi kalaupun ke sana tanpa tujuan dan hanya untuk “lihat-lihat” atau sekadar “nge-vlog” juga nggak etis, kan?
Bagaimanapun juga, Kamagasaki memang pernah menjadi “cerita kelam” bagi Jepang. Bagaimana sejarahnya dulu? Lantas, bagaimana keadaannya sekarang?
Sejarah Kamagasaki
Nama kota Kamagasaki dan Nishinari merupakan nama yang tak asing bagi para pekerja buruh lepas harian Jepang pada awal 1960-an. Saat itu Jepang mengalami kejayaan ekonomi pasca-kekalahannya pada Perang Dunia II. Meski mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, ada sekitar 1,7 juta warga Jepang yang masuk kategori miskin. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada saat itulah, kota Kamagasaki menjadi tujuan warga Jepang yang ingin bekerja dan mendapat uang dengan cepat demi bisa bertahan hidup. Meski datang dari seluruh negara Jepang, mereka nantinya akan bekerja di wilayah Osaka, Kyoto, dan Kobe yang menjadi kota maju di Jepang Barat. Mereka dimanfaatkan sebagai tenaga kasar dalam pembangunan infrastruktur di kota-kota itu. Setidaknya ada sekitar 5.000 pekerja harian yang setiap pagi mengantri agar mendapat pekerjaan pada hari itu juga.
Fakta yang paling menyedihkan dari fenomena pekerja lepas harian ini adalah upah mereka sangat kecil (450-509 yen per hari) sehingga tidak cukup untuk mencari tempat tinggal yang layak. Padahal mereka datang ke Kamagasaki hanya untuk mencari uang, lalu bagaimana mereka tidur?
Untuk memenuhi kebutuhan penginapan inilah, muncul fenomena rumah gubuk semi permanen di Kamagasaki yang disebut doya. Biaya menginap per malamnya hanya sekitar 30 yen saja, lho. Fasilitas tentu saja seadanya, bahkan tidurnya empet-empetan dengan yang lain. Harganya berbeda tergantung jenis tempat tidurnya. Paling mahal 200 yen semalam dengan fasilitas tidur sendiri dalam satu kamar dan mendapat kasur yang layak. Bayangkan kalau upah 450 yen, dipakai menginap 200 yen, sementara makan dan transportasinya belum, bagaimana harus mengirim uang ke keluarganya? Menyedihkan ya.
Lantaran jumlah pekerja harian ini ribuan dan mereka datang pergi sampai tak terdaftar secara administrasi kependudukan. Angka kemiskinan di Kamagasaki pun menjadi tinggi dan akhirnya terkenal sebagai tempat yang kumuh dan semrawut dengan doya-doya yang berjejer.
Ada gap antara yang pekerja harian dan gelandangan yang tinggal di Kamagasaki sehingga menyebabkan benturan kepentingan dan kerusuhan. Kerusuhan pekerja harian lepas Kamagasaki pertama kali terjadi pada tanggal 1 Agustus 1960. Mereka tidak terima temannya mati akibat kecelakaan lalu lintas tetapi polisi tidak segera menolongnya. Akhirnya, ribuan polisi didatangkan ke Kamagasaki untuk mengamankan kerusuhan ini. Sejumlah 771 orang mengalami luka-luka dan akhirnya ratusan orang diamankan.
Setelah itu, setidaknya ada 24 kerusuhan besar yang terjadi di Kamagasaki. Berita tentang banyaknya kerusuhan, tingginya tingkat kriminalitas dan kemiskinan di Kamagasaki terdengar juga sampai ke pemerintah pusat. Akhirnya pada 1966, pemerintah Jepang mengganti nama Kamagasaki ini menjadi Airin-chiku (あいりん地区).
Airin-chiku, nama baru untuk Kamagasaki
Mengubah nama kota menjadi Airin-chiku tak serta merta mengubah keadaan di wilayah tersebut. Image kumuh dan miskin masih ada sampai beberapa tahun setelahnya, bahkan sampai sekarang. Padahal nama Airin berasal dari huruf 愛隣 yang artinya “dicintai”, sehingga Airin-chiku bisa diartikan “distrik yang dicintai”.
Sampai hari ini pun, kalau dilihat dari google map yang terbaru, gedung Airin Labor and Welfare Center masih terasa “kelam”. Meski bersih karena tak ada satu pun sampah, masih banyak ojiisan (kakek) yang duduk atau tiduran di lantai. Pemandangan seperti ini hampir tak ada di gedung Jepang pada umumnya. Pekerja kerja harian lepas memang bebas beraktivitas di gedung ini selama jam kerja. Ada kamar mandi dan toilet umum yang bisa dipakai. Namun, katanya jumlah pekerja harian ini semakin berkurang, lho. Hal ini disebabkan oleh pekerja yang mulai menua dan anak muda sekarang pun hampir tidak ada lagi yang mau seperti mereka.
Satu lagi yang khas dengan gedung atau kawasan Kamagasaki (Airin-chiku) yang masih terlihat sampai sekarang adalah banyaknya tunawisma yang “tinggal” atau tidur di wilayah itu. Mereka biasanya bersepeda dengan banyak kresek dan kadang tercium aroma tidak enak karena mungkin jarang mandi atau tidur di tempat yang tidak bersih. Kalau hampir semua tunawisma parkir sepedanya di gedung Airin Labor tersebut, pemandangannya akan menjadi tidak asyik, kan?
Pemerintah Jepang tentunya sudah berusaha untuk membantu para tunawisma ini. Di dalam gedung Airin Labor juga banyak tulisan imbauan agar para pekerja lepas mau mendaftarkan diri secara administratif kependudukan dan mendaftar asuransi kesehatan maupun pensiun. Ada juga lembaga swadaya masyarakat yang ikut menjadi sukarelawan menolong mereka agar memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, sekali lagi, kalau kakek sendirian sebatang kara pasti menyedihkan sekali, ya. Ingin bekerja sekalipun, bisa jadi tenaganya sudah tidak laku lagi. Banyak akhirnya yang hanya menghabiskan harinya tanpa melakukan apa pun di gedung tersebut. Sedih.
Seperti itulah kira-kira gambaran tentang kota Kamagasaki. Bukan dihapus, kok, hanya diganti namanya agar citra kelamnya tergantikan. Namun, tetap saja menyisakan kekelaman yang masih terasa sampai sekarang.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Perbedaan Starbucks di Jepang dan Indonesia