Banyak orang Jawa, termasuk saya, keliru mengira kalau kalio yang biasa di etalase warung makan Padang adalah rendang. Hal ini juga baru saya sadari ketika ngobrol dengan salah satu kawan saya yang asli Minang. Dia menjelaskan, apa yang kebanyakan orang Jawa sebut sebagai rendang basah sebenarnya adalah kalio.
Penjelasan itu membuat saya melihat ulang pengalaman makan di warung Padang. Terutama ketika memesan rendang, tapi yang datang ternyata jauh dari standar rendang asli versi Minang. Perbedaan kalio dan rendang bukan sekadar soal tekstur, tetapi soal identitas kuliner yang sudah diwariskan turun-temurun.
Tampilan dua menu itu memang mirip, sama-sama berwarna coklat, punya cita rasa pedas gurih, dan kaya bumbu. Namun, ternyata, dua hidangan itu berbeda tahap, berbeda tekstur, bahkan berbeda filosofi. Kalio sebenarnya belum masuk tahap rendang kering yang dikenal dalam budaya Minang.
Memahami dua menu ini lebih dalam
Dalam tradisi Minang, rendang adalah hidangan yang dimasak dalam waktu sangat lama. Masakan ini diolah hingga santan benar-benar habis, bumbu mengering, dan warna daging berubah menjadi coklat gelap mendekati hitam. Teksturnya kering, aromanya pekat, dan bumbunya melekat sempurna pada serat daging. Tidak ada ceritanya rendang berkuah atau punya minyak menggenang.
Sementara kalio adalah tahap sebelum rendang menjadi kering. Warnanya lebih muda, teksturnya lebih basah, dan minyak santannya masih tampak. Kalio bukan “rendang versi basah”, tetapi hidangan tersendiri yang diakui dalam budaya Minang dan sering disajikan sebagai lauk sehari-hari.
Akan tetapi, ketika makanan ini sampai di Jawa, bentuknya mengalami penyesuaian. Banyak rumah makan Padang menjual kalio karena lebih laku. Selera pembeli Jawa menyukai daging yang masih juicy, tidak terlalu kering, dan bumbunya tidak terlalu pahit atau terlalu pekat. Rendang yang benar-benar kering jarang dibuat dalam jumlah besar karena kurang laku.
Akibatnya, yang lebih sering muncul di etalase justru kalio, lalu oleh pembeli Jawa menyebutnya sebagai rendang. Lama-lama, penyebutan itu menjadi istilah yang dianggap benar, padahal secara tradisi sangat berbeda.
Tidak ada istilah rendang basah
Dari sinilah muncul istilah populer “rendang basah”, padahal orang Minang sendiri tidak mengenal istilah tersebut. Teman saya langsung tertawa ketika saya menyebutkannya. Namun, bagi banyak orang Jawa, istilah tersebut kadung melekat dan sulit dikoreksi karena sudah bertahun-tahun menjadi kebiasaan.
Di sisi pembeli, kebingungan ini juga muncul karena ketidaktahuan detail visual. Daging coklat berbumbu pekat langsung dianggap rendang meski sebenarnya teksturnya masih basah. Penjual pun jarang mengoreksi karena penyebutan tersebut sudah dianggap wajar. Lama-lama, salah kaprah pun terbentuk secara kolektif.
Padahal, membedakan keduanya sangat penting dalam konteks kuliner tradisional. Rendang adalah masakan adat, penuh filosofi, dan menjadi salah satu ikon budaya Minang. Menyamakan keduanya berarti mengaburkan proses panjang yang menjadikan masing-masing begitu istimewa.
Agar tidak terus salah paham, pembeli bisa mulai mengenali ciri dasarnya: kalio lebih basah, warnanya coklat kemerahan, dan dagingnya lembut. Rendang asli lebih gelap, kering, dan bumbunya menempel seperti karamel. Dengan memahami ini, kita bukan hanya lebih tahu ketika makan, tetapi juga ikut menjaga keaslian kuliner Nusantara.
Penulis: Riko Prihandoyo
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 9 Ciri Warung Nasi Padang yang Sudah Pasti Enak dan Bikin Balik Lagi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
