Kalau kamu sedang mencari pekerjaan yang bisa bikin cepat kaya, cepat naik jabatan, atau cepat pulang, maaf, kerja di retail bukan jawabannya. Bahkan untuk satu dari ketiga itu pun seringnya nihil. Tapi kalau kamu mau belajar cepat marah, cepat stres, cepat nangis di gudang, nah barulah retail jadi tempat kerja terbaik.
Saya nggak bercanda, pernah suatu kali, saya mampir ke sebuah toko fashion retail besar, saya mampir buat beli sepatu. Tapi yang dipajang ukurannya kurang pas dengan kaki saya. Kemudian saya bertanya kepada mbak-mbak karyawan toko dan minta dicarikan ukuran yang sesuai.
Dengan sigap mbak karyawan itu membawa sepatu yang saya pilih dan bergegas jalan ke arah gudang sambil wajahnya ketarik ke bawah. “Bentar ya, Kak”, katanya sambil senyum tipis, lalu menghilang di balik pintu kayu yang sepertinya lebih sering jadi tempat pelarian mental daripada tempat simpan stok.
Lima menit kemudian, dia balik, masih senyum tapi matanya merah. Mungkin dia kesusahan nyari stok sepatu dengan ukuran yang saya minta, sampai ngeluarin air mata. Atau habis debat sama admin stok gudang yang naruh barang nggak sesuai dengan tempatnya. Atau bisa jadi dua-duanya. Entahlah
Kerja di retail itu berat, bukan cuma sekedar harus berdiri delapan jam sambil ngitung baju atau ngelipetin jeans yang tiap lima menit dijungkirbalikin pengunjung. Beratnya justru datang dari tekanan yang nggak kelihatan: target penjualan, shifting nggak menentu, lingkungan kerja yang kompetitif kayak ajang adu mental. Sampai pelanggan-pelanggan absurd yang menganggap semua karyawan retail itu robot tanpa emosi.
Customer adalah raja yang sering lupa tata krama
Di dunia retail, ada satu pepatah sakti yang diwariskan turun-temurun: “Pembeli adalah raja.” Sebuah kalimat suci yang diucapkan bos-bos HRD dengan wajah cerah penuh harap, tapi terdengar seperti kutukan buat para prajurit garis depan: kasir, pramuniaga dan karyawan toko swalayan yang gajinya nggak seberapa tapi kerjaan nggak kira-kira.
Masalahnya, banyak “raja” yang datang bukan dengan tongkat emas, tapi dengan mulut yang siap nyolot, telunjuk yang hobi menunjuk-nunjuk. Bayangin, kamu udah kerja di minimarket pinggiran kota. Jam 8 pagi udah buka, jam 10 siang udah ngos-ngosan. Tiba-tiba datang seorang ibu-ibu tipe yang kalau di sinetron pasti perannya nyebelin, dia ngomel-ngomel karena diskon Rp5.000 dari aplikasi nggak kepotong otomatis. Kamu coba jelasin prosedur, dia malah makin nyolot kayak sedang debat caleg. Nada tinggi, tangan menyilang. dan kamu ditatap kayak anak kos yang belum bayar uang sewa.
Yap, ini bukan sekadar cerita atau contoh fiksi. Ini kejadian pernah saya lihat secara langsung. Ibu itu berdiri antre tepat di depan saya, sambil bilang, “Mas ini gimana sih? Masa aku harus klik-klik segala? Kan jelas di banner diskon!” padahal jelas-jelas di bawah banner ada tulisan kecil “S&K berlaku”.
Wah ini mungkin malah salah si pembuat banner yang kasih tulisan segede semut. Tapi, siapa peduli? Di mata sang raja, kamu hanyalah rakyat jelata yang hidupnya diciptakan untuk melayani, mendengarkan, dan kalau bisa sekalian jadi samsak gratis.
Lingkungan kerja di retail yang kadang lebih serem dari customer
Ternyata, tantangan utama pekerja retail itu bukan cuma yang berdiri di depan kasir, ngeluh karena antrean panjang atau nanyain stok barang yang udah jelas-jelas kosong. Karena ada yang lebih seram dari pelanggan: lingkungan kerjanya sendiri.
Kok bisa?
Ini sih berdasarkan testimoni teman saya, sebut saja Mita (bukan nama sesungguhnya), dia sudah bekerja di retail lebih dari lima tahun. “Masalah di retail tuh bukan cuma pelanggan yang nyebelin, tapi orang-orang disekitarnya juga. Udah tahan lama pun, tetep aja ada masalah yang bikin pengen resign.”
Coba bayangkan: kamu udah kerja sesuai shift, tapi masih harus menghadapi manajer yang hobinya marah-marah sambil bawa-bawa kata “profesionalitas”. Salah nyusun display? Langsung muncul pertanyaan “Kamu kurang perhatian terhadap retail, masalah pribadi jangan dibawa ke tempat kerja.” Belum lagi rekan kerja yang licin kayak belut, tipe yang tiba-tiba hilang entah ke mana pas kerjaan mulai numpuk. Alasannya klasik: “Ke gudang dulu ya, nyari stok.” Padahal sampai satu jam nggak balik-balik, dan pas dicari, eh ketemu lagi ngopi sambil main HP di belakang kardus-kardus bekas.
Tapi begitu manajer datang, dia pasang lelah, seolah-olah habis beresin satu rak sendirian. Dan sialnya, kadang justru dia yang dapat pujian. Iklim kerja toxic ini sering kali sembunyi di balik kata-kata motivasi yang ditempel di dinding kantor. “Kerja keras adalah kunci sukses.”, tapi realitasnya? Yang kerja keras malah dijadikan tameng buat yang kerja setengah hati.
Baca halaman selanjutnya
Gaji melempem, tuntutan seabrek
Gaji melempem, tuntutan menggunung: nasib anak retail yang dipepet target dan realitas
Soal gaji, jangan berharap lebih. UMR pun kadang masih mimpi. Tunjangan? Ada tapi kecil. Bonus? Ah, itu bisa tapi kalau mencapai target ya. Tapi banyak yang tetap bertahan, bukan karena cinta tapi karena terpaksa. Hidup butuh uang, di rumah ada keluarga yang harus makan dan kamu nggak bisa bayar listrik pakai daun.
Kerja di retail itu harus multitasking: sambil ngitung stok, sambil senyum dan nahan nangis. Yang lebih nyeseknya lagi, kerja seberat itu sering kali dianggap nggak kerja beneran sama tetangga. Padahal, beban kerja dan stresnya sering lebih berat dari kerja kantoran atau PNS.
Libur? Apa itu libur?
Hari libur nasional? Itu justru waktu kerja buat anak retail. Saat negara bilang “Hari Raya Idul Fitri jatuh pada…”, yang didengar anak retail adalah “Wah, molor lagi nih pulangnya”. Apalagi di retail fashion, orang-orang masih sibuk milih baju lebaran padahal udah tinggal besok. Atau masih ada yang balik buat tukar baju yang setelah dicoba di rumah ternyata ukurannya kurang besar.
Jangan harap kata “cuti” itu benar-benar bisa kamu ambil saat musim libur tiba. Cuti akhir tahun diatur seperti puzzle, karena semua orang pengen libur, tapi toko harus tetap buka. Jadilah saling lirik-lirikan, main strategi rebutan tanggal cuti. Kadang rasa iri itu ada, melihat profesi lain bisa “off” bareng keluarga.
Tapi, mereka harus pasrah, namanya juga hidup sebagai pekerja retail artinya harus siap jadi tulang punggung ekonomi, bahkan saat tulangnya sendiri udah kerasa retak. Harus tetap senyum, meski hati pengin rebahan.
Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
