K-Pop, Koplo-nomic, dan Perang Budaya Populer

K-pop dan budaya populer

Dengan mata merah dan tatapan sayu Pardi mengangkat dagu dan mecucu, memberikan isyarat kepada Solikin untuk mematikan sejenak alunan musik dari pelantang yang ada di tengah lingkaran forum. Lengkingan gitar blues yang sejak beberapa jam membetot telinga mereka sebagai suara latar diskusi, kini berganti alunan puji-pujian menjelang azan subuh dari arah masjid desa.

Keheningan pascaazan dipecah oleh Pardi yang tiba-tiba saja melemparkan gawainya ke tengah lingkaran forum. “Trending medsos kok isinya K-Poooop semua. Nyebahi!” protes pensiunan anak punk itu.

“Nah ini bagus dibahas sebelum forum malam ini ditutup sama tuan rumah.” Kanapi bangkit dari posisi rebah dengan kepala ditopang tangan. Menanggapi setengah menggoda. “Gimana menurutmu, Kin?”

“Lha memang apa yang menurut Sampean menyebalkan dari K-Pop, Mas Di?” tanya Solikin sambil mengelap sisa minyak dari gorengan yang telah lemas itu ke tumit dan betisnya.

“Ya semuanya, Kin. Kualitas musiknya, tren tatabusan,a dan gaya hidupnya, juga kepalsuan-kepalsuan lain yang mengikutinya.” Pardi nampak bersemangat mengatakan itu diiringi kemeretek bunyi cengkeh yang terbakar dari rokok di ujung bibirnya.

“Lho, kualitas itu bisa diperdebatkan, Di, dan itu masalah selera…” tukas Kanapi, “…lagian kalau ngomong tren fesyen dan gaya hidup yang dibawa K-Pop, apa bedanya dengan musik punk yang kamu gandrungi itu? sama-sama menggendong tren fesyen dan gaya hidup juga, tho?”

“Iya, mas, Di. Itu anak-anak punk juga punya dandanan dan gaya hidup yang khas. Kurang-lebih saja antara K-Pop dan punk ituuu…” Solikin ikut menggoda kali ini.

“Lho ya jelas beda, to. Punk itu aliran yang lahir dari nafas perlawanan. Rebel. Anti-kemapanan. Anti-arus utama. Menolak kejumudan. Sejalan dengan jiwa perlawanan bangsa kita yang dulu terjajajah. Lha kalau K-Pop kan kebalikan dari itu semua.” Pardi nampak tersulut dengan tamsilan Solikin, “Adik-adik ini, generasi di bawah kita itu, sekarang malah seperti dijajah oleh budaya asing. Sibuk dengan tren pemujaan terhadap idola.”

Cak Narto tersenyum di sudut teras rumahnya, tempat forum malam ini dihelat. Pandangannya diedarkan pada halimun subuh yang mulai turun pelan. Ia nampak enggan menanggapi perdebatan tiga pemuda itu.

“Kalau ngomongin orisinalitas, Mas Di, emangnya punk itu musik asli dari sini? Dari Nusantara? Kan tidak, to? Hampir semua genre musik di sini ya impor dari luar.” Solikin terdengar bestari, “Kalaupun ada yang nampak orisinil, ketika dirunut secara historis sedikit-banyak pasti ada pengaruh dari budaya luar juga. Mau itu keroncong, campur sari, atau dangdut.”

“Lho yang menggelisahkanku bukan orisinalitasnya, Kin, tapi spirit musik dan budaya yang mengikutinya itu lho. Menurutku, tingkat pengidolaan generasi sekarang terhadap K-Pop dan budaya Korea saat ini sudah di level mengkhawatirkan. Bangsa kita terasa dijajah oleh budaya Korea. Mau dibawa ke mana nasib bangsa ini kalau muda-mudinya sibuk memuja budaya asing dan lupa dengan budaya bangsa sendiri?”

Kanapi menganggut mendengar curahan hati kawannya itu.

“Keresahanmu ndak relevan, Di. Malah terdengar seperti kaum konservatif. Hehehe.” Cak Narto menanggapi dengan menggoda, tapi Pardi melengos saja mendengar itu.

“Konservatif gimana maksudnya, Cak?” Justru Solikin yang kini terlihat penasaran.

“Lho, penolakan terhadap musik atau musisi dari genre tertentu ‘kan sudah pernah terjadi, nDes, oleh Bung Karno terhadap musik The Beatles yang ia juluki sebagai musik ngak-ngik-ngok yang akhirnya membuat Koes Bersaudara harus dipenjara. Kemudian terjadi juga saat rezim Orde Baru mencekal musisi-musisi yang dianggap mengkritik pemerintah.” Jelas Cak Narto.

“Lha kalau sekarang Sampean yang ndak relevan, Cak, alias ramashok!” potong Pardi, “Yang aku maksud kan bukan penolakan semacam itu, maksudkuuuu….”

“Iya aku ngerti, Di, gini maksudku, bahwa pengidolaan yang berlebihan terhadap apa pun itu tidak bagus, dalam konteks ini K-Pop dan budaya Korea, aku mengerti dan sepakat dengan kamu. Tapiiii…” Cak Narto menyesap sisa kopi di dasar gelas, “…itu sebuah keniscayaan dari perkembangan jaman dan dinamika kebudayaan global. Justru dari K-Pop dan Korsel kita harus banyak belajar. Strategi-strategi mereka dalam memenangkan perang budaya populer saat ini.”

“Apa sih, Cak? Sudah mau pagi ini, mbokya ndak usah beretorika. Keniscayaan gimana? Strategi apa? Perang sama siapa, maksud Sampean?” Kanapi yang memberondong pertanyaan kali ini.

“Lho, penetrasi budaya asing, terutama musik, ke sini kan bukan hal baru, nDes. Generasi di atas kalian itu pernah menggilai The Beatles dan budaya hippie-nya. Pernah gandrung dengan musik rock dan metal dari Barat. Pernah juga mengimitasi musik dan gaya hidup ala anak punk. Ada juga generasi yang menjerit-jerit mendengar boyband Barat seperti Westlife dkk. Itu. Budaya pop semacam itu terus diproduksi oleh bangsa dari berbagai zaman, dan itu semacam medan perang baru di era modern. Tapi, dibandingkan dengan K-Pop, mereka semua menurutku, nggak ada apa-apanya. Dan bangsa kita patut belajar dari mereka.”

Ketiga pemuda itu menampakkan raut menagih penjelasan yang lebih pepak.

“Gini lho, nDes, setelah dihantam perang saudara dengan Korea Utara pada masa perang dingin dan krisis ekonomi di akhir 90-an, Korea Selatan meramu sebuah strategi baru dalam membangkitkan ekonomi negaranya, dan mereka memilih sektor industri kreatif sebagai salah satu ujung tombaknya untuk memasuki gelanggang perang budaya populer. Mereka sadar, bahwa barang siapa memenangkan ini, budaya pop itu, maka efek domino bagi kemajuan bangsanya akan luar biasa.”

Cak Narto menarik batang kretek baru dari bungkus, membakarnya, dan melanjutkan.

“Sekarang coba lihat hasilnya! Dari industri musik K-Pop yang berhasil menguasai belahan dunia lain itu, saat ini sektor industri Korsel lainnya mengikuti: perfilman, pariwisata, kedokteran, kuliner, dan seterusnya.”

“Bahkan,” lanjut Cak Narto, “dunia ekonomi sampai punya istilah baru terkait fenomena ini: K-Popnomic. Saat ini, nDes, asal sebuah produk ada embel-embel Korea-nya pasti akan dilahap oleh pasar. Apa ndak fenomenal itu!” Asap dari mulut Cak Narto mengambang di tengah lingkaran forum.

“Iya juga ya, Cak. Kemarin kan sempat ramai fenomena tas kertas bekas pembungkus ayam goreng BTS Meal yang dijual ratusan ribu aja laku di pasaran.” Timpal Solikin.

“Ya itu salah satu contoh kesuksesannya, Kin. Nanti jangan jangan heran, Ndes, kalau di masa depan akan ada produk yang harganya nggak masuk akal dan tetap laris di pasaran cuma karena ada embel-embel K-Pop-nya. Sempak BTS, misalnya. Atau Kutang Blackpink. Atau Kresek EXO. Hehehe.” Lingkaran forum itu tenggelam dalam gelak tawa.

“Tapi tetap saja, Cak, dengan begitu berarti bangsa kita telah terjajah secara budaya dan itu berbahaya untuk masa depan dan jati diri bangsa.” Tukas Pardi memangkas keriangan.

“Kalau mau, Di, bangsa kita belum terlambat. Ada satu budaya pop kita yang bisa jadi tandingan K-Pop di masa depan, yaitu dangdut koplo.” Cak Narto tersenyum aneh.

“Wooo ya jelas kalah jauh, Cak, kalau mau berhadapan sama K-Pop.” Protes Pardi.

“Saat ini memang masih jauh, Di. Tapi kalau pemerintah mau serius me-rebranding dangdut koplo dengan metode serupa dengan cara Korsel meramu budaya popnya, bukan tidak mungkin di masa depan kita akan memetik buah manisnya. Secara karakteristik dangdut koplo memenuhi kriteria untuk dibikin seperti itu. Seperti K-pop itu.”

Semburat jingga dari arah timur desa mulai menyeruak.

“Sudah mau pagi ini, Cak. Karateristik yang gimana maksud Sampean?” Solikin mengejar.

“Lho ya karakteristik secara keseluruhan, nDes!” Cak Narto berdiri menarik pinggang, “Keluwesan dangdut koplo itu, sejauh pengetahuanku, belum ada tandingannya. Bayangkan, nDes, semua genre musik di dunia ini bisa di-koplo-kan, dari musik metal, rap, punk, sampai musik klasik pun bisa. Rancak ketukan gendangnya juga serupa dengan irama musik K-Pop.”

“Belum lagi dari segi aksi panggung. Musisi dangdut koplo jelas nggak kalah atraktif dengan penyanyi K-Pop, to? Konsep koreografinya, goyangan yang khas itu, ‘kan sudah sejak lama dimiliki musisi koplo kita. Malahan belum tentu ada penyanyi Korea itu yang bisa mempertahankan suara tetap merdu, tapi dengan meliuk-liuk seperti Mbak Inul atau Uut Permatasari. Hehehe.”

“Kuncinya ada di rebranding, nDes. Dan itu butuh campurtangan pemerintah. Meski untuk mencapai level go-internasional semacam K-Pop butuh waktu yang nggak sebentar, tapi aku sih percaya diri dengan masa depan Dangdut Koplo, Ndes. Korsel sendiri butuh waktu setidaknya dua dekade sampai bisa seperti sekarang.” Ia mulai menguap.

“Bayangkan di masa depan musisi dangdut koplo kita bisa nampang di bungkus-bungkus merek produk ternama. Atau grup-grup Orkes Melayu itu di panggung Grammy menerima penghargaan musik internasional.” Pandangan Cak Narto diputar ke arah jalanan desa.

“Yang lebih ‘wah’ lagi, Cak…” Kanapi berdiri dan bersiap meninggalkan forum, “…kalau dangdut koplo sudah mendunia, akan ada produk-produk laris semacam McD X Monata, Tesla X New Palappa, atau produk remeh-temeh semacam BTS Meal itu tapi di sampulnya ada potret Cak Sodik atau Denny Caknan. Hehehe.”

“Dan akan ada istilah baru di dunia ekonomi, namanya tentu saja: Koplo-nomic. Hahaha.”

***

Forum pagi itu akhirnya bubar ketika cengkerama penjual sayur yang beriringan menuju pasar desa mulai terdengar.

Pagi merekahkan jingga, membanjiri dedaunan dengan pendar warna yang susah dijelaskan, membuat setiap jiwa yang melihatnya akan bersyukur dan bahagia.

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version