Anda pasti sering mendengar celoteh-celotehan orang tua seperti, “Ah, zaman sekarang mah semua serba ada, dulu…”, atau, “Anak sekarang mah sibuk di ponsel semua, dulu…” Generasi tua punya selalu punya romantisme tersendiri tentang masa lalu mereka, yang membuat mereka cenderung melakukan penghakiman yang terlalu dini terhadap generasi muda dengan membandingkannya dengan bagaimana mereka dibesarkan. Akhirnya, muncullah sebuah sentimen di generasi yang lebih tua terhadap generasi muda akan kehadiran teknologi yang membuat anak sekarang dirasa tumbuh tidak seperti generasi mereka. Kehadiran teknologi membuat anak sekarang kerap dicap pemalas, tidak punya daya juang, dsb. Lho, kalau gitu berhenti saja ciptakan kemajuan teknologi kalau tidak mau kami lahir dengan segala kemajuan ini.
Satu hal yang mungkin mereka lupa, generasi tua juga dulunya merupakan “kids these days” bagi generasi di atasnya. Beberapa majalah di awal abad ke-20 mengkritik tentang bagaimana surat dan majalah membuat anak-anak muda tak lagi menghabiskan waktu dengan mengobrol melainkan hanya tertunduk membaca majalah atau menulis surat. Jika majalah diganti dengan aplikasi di ponsel, dan surat diganti dengan aplikasi pesan singkat, terasa familiar, bukan? Bahkan, Aristoteles, pada abad ke-4 sebelum masehi, pernah mengutarakan tentang bagaimana anak zaman itu mulai bandel dan tidak punya adab lagi terhadap generasi yang lebih tua. Tentunya, kekhawatiran akan generasi muda ini bukan masalah yang baru di kolong langit ini.
Keresahan tersebut kemudian dicakup dalam sebuah kata, juvenoia. Istilah juvenoia (juvenile + paranoia) pertama kali dimunculkan oleh David Finkelhor dalam jurnalnya yang berjudul “The Internet, Youth Safety and the Problem of ‘Juvenoia’”. Beliau berpendapat bahwa dalam setiap perubahan sosial selalu ada tendensi kecemasan yang secara spesifik berfokus pada anak-anak. Ada keresahan bahwa generasi di bawah “tidak akan memiliki semangat juang yang sama dengan kita karena sudah memiliki segalanya sejak kecil.” Atau yang biasa diucapkan dengan embel-embel “back in our days…”
Kecemasan yang berlebihan ini, sayangnya akan melahirkan dampak buruk bagi generasi baru jika terus berlanjut. Juvenoia merupakan perwujudan dari “insecurities” generasi pendahulu kita yang menjadi sebuah pembatas gerak perubahan sosial. Banyak generasi pendahulu yang secara berlebihan mengkhawatirkan pengaruh internet, tayangan-tayangan televisi masa kini, atau lain sebagainya justru karena mereka tidak benar-benar mengerti dunia zaman sekarang. Kekakuan akan perubahan zaman akhirnya membuat mereka luput dan ketinggalan arus kemajuan zaman. Hal tersebut membuat mereka merasa tidak bisa lagi relate dengan generasi di bawahnya dan tercampakan dari pergaulan generasi muda.
Kita hidup di dunia dinamis yang selalu berubah, dan ketika kita tertinggal, waktu tidak akan menunggu kita. Pilihannya hanya dua, terus keep up dengan perubahan atau mati tertinggal. Sayangnya, kebanyakan respon dari kecemasan berlebihan ini merupakan tindakan-tindakan yang tanpa mereka sadari malah membentuk anak menjadi apa yang mereka cemaskan. Seperti misalnya, orang tua yang ingin tetap berkomunikasi aktif dengan anaknya sementara anaknya selalu sibuk dengan ponselnya. Terkadang, ketimbang mencari cara kreatif untuk mendekati anak, orang tua memakai cara kuno dengan memaksa seperti menyita ponselnya dan memaksa harus berinteraksi dengan orang tua. Hal ini akan membuat persepsi seperti orang tua menjengkelkan dan membuat menjadi lebih menginginkan ponselnya. Cara seperti itu saya kira sudah tidak relevan lagi di dunia yang modern ini.
Saya kenal seorang teman yang pekerjaannya merupakan seorang designer lepas dan game streamer kecil di internet. Penghasilannya semua ia dapat secara mandiri hanya dengan duduk di depan komputer setiap hari. Namun, orang tuanya selalu komplain “Main terus seharian, mau jadi apa? Kapan kerja yang benar?” Cukup sulit baginya ketika ia mesti menjelaskan bagaimana ia menghasilkan uang pada orang tuanya yang cukup kolot. Dalam contoh yang lebih ekstrem, banyak orang tua yang terlalu cemas akan dunia yang akan mempengaruhi anaknya sehingga akhirnya malah ‘memenjarakan’ anaknya. Hal ini secara tidak langsung akan memberi kesan di benak sang anak bahwa orang tua tidak pernah percaya terhadap dirinya, sehingga sang anak menjadi tidak percaya diri, tidak proaktif, dan pada akhirnya tidak dapat berkembang dan memenuhi potensinya.
Kemudian reaksi dari perasaan terpenjara tersebut bisa menimbulkan dua respon; flight or fight. Sang anak bisa menghindari konflik dengan terus menurut orang tuanya, atau dalam kata lain menjadi boneka hidup bagi orang tuanya (memenuhi cita-cita orang tuanya yang tidak tercapai selagi muda), atau yang kedua, sang anak bisa berontak dan kemudian menjadi apapun yang kita justru takutkan. Terkadang orang tua tidak membiarkan anak untuk berekspresi dan menjadi dirinya sendiri, dan hal ini menyebabkan anak terkurung dalam penjaranya, tidak bisa berkembang. Terkadang orang tua harus sadar, mencoba dan berbuat kesalahan merupakan bagian dari pembelajaran, karena guru yang terbaik adalah pengalaman.
Generasi muda adalah pemegang kemudi menuju arah perubahan dan generasi yang lebih tua sebagai pihak yang lebih berpengalaman tentu punya tanggung jawab untuk membimbing generasi di bawahnya. Oleh karena itu, juvenoia sebetulnya merupakan reaksi yang wajar untuk dimiliki oleh generasi yang lebih tua. Secara ilmiah, naluri kita adalah untuk memastikan keberlangsungan generasi dibawah kita berhasil, oleh karena itu kita membesarkan mereka dengan cara terbaik yang kita tahu. Sayangnya, dunia manusia sangat kompleks dan dinamis. Perubahan sosial terjadi begitu cepat sehingga pendekatan, cara, dan lain sebagainya akan selalu berubah.
Kehadiran generasi muda contohnya, merupakan salah satu perubahan sosial besar yang pernah terjadi. Setelah revolusi industri, muncullah kian banyak lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian yang tinggi. Hal tersebut kemudian membuat banyak kaum remaja yang akhirnya bisa memiliki penghasilan sendiri. Dengan uang sendiri inilah, kemudian muncul pasar untuk kaum muda. Mereka bisa membeli buku sendiri, membeli baju sendiri, generasi muda kini tak lagi terlalu bergantung pada apa yang diberikan oleh orang tuanya. Kemudian, proses ini akhirnya membentuk sebuah identitas baru dari generasi muda, dengan gaya dan perilakunya sendiri.
Dunia ini bergerak pada keseimbangan, dan pada akhirnya semua kembali pada perannya masing-masing. Generasi muda sebagai penggerak perubahan, dan agar perubahan itu tidak semena-mena atau melanglang terlalu jauh, generasi yang lebih tua memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dengan pengalamannya. Namun, tentu saja hal ini bukan berarti generasi yang lebih tua adalah pasti lebih bijak atau sebaliknya generasi muda pasti lebih benar dari generasi sebelumnya, tidak demikian. Beroposisi tentu saja wajar dan baik untuk ada karena kita memiliki sudut pandang lain dalam menentukan arah gerak. Lintas generasi seharusnya bersinergi untuk membentuk keadaan yang lebih baik di masa mendatang. Pada akhirnya, anak zaman sekarang akan menjadi anak masa lampau juga.
Jadi jangan terjebak juvenoia atau mencemaskan kami secara berlebihan karena itu justru bisa membunuh kami. Biarkan kami maju, biarkan kami terbang, biarkan kami berbuat sedikit salah untuk mengerti apa yang benar dan tidak takut mencoba. Anak muda dan kulturnya bukan ancaman bagi generasi pendahulu. Oleh karena itu, ketimbang membuat generation gap-nya menjadi semakin lebar, mengapa kita tidak mencoba lebih mengerti satu sama lain? Generasi muda harus mengerti bagaimana cara generasi yang lebih tua berpikir, sebaliknya juga demikian. Saya kira, berkompromi dan bertoleransi bukanlah hal yang sulit dilakukan jika kita saling mengerti. So, Boomers & Gen-Z, bersatu!
BACA JUGA Jadi Fans Fanatik K-Pop Adalah Cara Saya Menjauhi Kenakalan Remaja