Jurusan Ilmu Sosial yang Suka Didiskriminasi

jurusan ilmu sosial

Jurusan Ilmu Sosial yang Suka Didiskriminasi

Diskriminasi terhadap orang kulit hitam berhasil membuat mata dunia terbuka bahwa ternyata keadilan masih jauh dari angan. Sayangnya, diskriminasi kecil-kecilan di sekitar kita sering kali luput dari perhatian. Contohnya: anak kelas 10 (alias SMA kelas 1) pasti nggak asing dengan omongan, “pilih jurusan IPA aja, lebih gampang nyari kerjaan dan jurusan kuliah”, atau “anak IPA isinya orang pinter semua”, atau “Lah, ngapain masuk IPS? Emang mau jadi apa?” pas sebelum masuk penjurusan.

Yha betul!!1!! Salah satu diskriminasi kecil-kecilan itu dirasakan oleh anak yang memilih jurusan ilmu sosial yang kerap dipandang sebelah mata dan dilabeli sebagai anak-anak yang kurang pintar, bandel, dan nggak punya masa depan yang jelas.

Kalau ditelisik lebih jauh, diskriminasi terhadap anak jurusan ilmu sosial sebenarnya sudah terjadi semenjak kecil. Lihat aja orang tua, guru, dan masyarakat dalam mengarahkan cita-cita anak kecil. Acap kali, terdengar kalimat seperti “besok kalau besar jadi insinyur atau dokter, ya”. Jarang sekali terdengar kalimat seperti “besok kalau besar jadi politisi atau advokat pejuang HAM (Hak Asasi Manusia)”.

Coba deh kalau ada anak kecil bercita-cita jadi kayak Bung Karno, pasti yang dilihat adalah Bung Karno sebagai insinyur bukan sebagai politisi ulung. Secara tidak langsung, kalimat-kalimat itu mengarahkan kita kepada supremasi rumpun pengetahuan alam sekaligus mendiskriminasi rumpun ilmu sosial.

Entah dari mana stigma menomorduakan ilmu sosial itu lahir di tengah masyarakat, namun ketidakpastian ilmu sosial mungkin menjadi faktor penyebab diskriminasi itu terjadi.

Ketidakpastian ini terletak di dalam dialektika teori dalam rumpun ilmu sosial, contohnya untuk mempelajari perihal demokrasi saja kita bakal disajikan berbagai versi teoritik yang saling bertabrakan maupun melengkapi satu sama lain. Bagi para pelajar atau mahasiswa yang belajar ilmu sosial, pasti mengamini bahwa “perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri”, tapi banyak perbedaan juga bikin rumit boss. Banyak orang malas untuk mempelajari berbagai perbedaan teori dalam ilmu sosial membuatnya seakan merupakan ilmu yang tidak berguna ditambah perbedaan teoritik ilmu sosial selalu berada dalam tataran ranah ide sehingga bersifat abstrak.

Bandingkan dengan rumpun sains yang relatif simpel secara teoritik, lihatlah teori newton dan gravitasi yang kita pelajari semenjak SMP, pasti tidak akan berubah atau pun ada perdebatan. Kepastian teori dalam sains relatif membuatnya mempelajari hal yang nyata alias bisa dipandang langsung oleh mata kita, kalaupun ada perdebatan mungkin hanya perdebatan teknis kecil-kecilan. Meskipun begitu, sains memang rumit kalau sudah ngomongin hitung-hitungannya, mumet boss.

Diskriminasi terhadap ilmu sosial juga berlanjut hingga taraf perguruan tinggi dan bidang pekerjaan. Faktanya, kondisi ilmu sosio-humaniora di Indonesia masih kurang dihargai kehadirannya. Fenomena pengucilan ilmu sosio humaniora bahkan dilakukan sendiri oleh pemerintah dengan mengurangi anggaran Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) bidang sosial dan humaniora karena dianggap kurang terlihat secara kasat mata kontribusinya dibanding bidang sains dan teknologi.

Ibnu Nadzir, peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan ada beberapa sebab mengapa ilmu sosial di Indonesia dilihat sebagai cabang ilmu yang “dianaktirikan”. Ibnu menerangkan secara teknis bisa dilihat dari masalah riset dosen dan ilmuwan sosial Indonesia yang kalah saing dibandingkan dengan dosen ilmu sosial di negara maju. Menurutnya, model pendidikan di Indonesia tidak mendorong dosen lebih produktif dalam bidang riset, belum lagi soal dananya.

Rencana pengurangan LPDP merupakan sesuatu yang berbahaya karena mahasiswa di rumpun ilmu sosial biasanya adalah orang-orang berjiwa kritis karena keilmuannya mengajarkan untuk dialektika terus menerus, duh jangan-jangan ini pembungkaman nalar kritis secara sistematis struktural.

Belum lagi tuntutan industri juga mempersempit lowongan pekerjaan bagi mereka lulusan rumpun sosial. Padahal, bolehlah kita lihat beberapa buku seperti How The World Work karya Noam Chomsky, Imagined Communities karya Benedicth Anderson hingga buku Dibawah Bendera Revolusi karya Sukarno berhasil mengubah pandangan pembaca melalui kritiknya terhadap sistem yang mapan. Kesemuanya itu ditulis lewat kerumitan dialektika khas ilmu sosial.

Derita para pelajar maupun mahasiswa rumpun sosial terus membuntuti mereka karena diskriminasi dari masyarakat, keluarga hingga pemerintah membuatnya takut membayangkan masa depan. Hal tersebut harus diakhiri dengan membangun sebuah kesadaran tentang kesetaraan ilmu baik rumpun sosial maupun sains.

Sebuah perusahaan dipenuhi teknisi saja tidak bisa berjalan dengan baik. Bayangkan jika perusahaan itu tidak pandai membaca isu politik atau manajemen ekonomi, bisa dipastikan perusahaan akan kalah saing dengan perusahaan lain. Belum lagi Mark Zukenberg juga pernah mengatakan penting keilmuan sosio-humaniora di perusahaan hingga ia berkata “memang orang-orang IT bisa membuat big data, namun untuk mengolahnya kita perlu para sarjana sosio-humaniora”.

Barangkali masyarakat perlu diedukasi tentang perlunya ilmu sosial di tengah masyarakat kita, apalagi prinsip ilmu sosial yang menghadirkan teori-teori untuk meredam eksploitasi berlebihan maupun dampaknya dalam kehidupan masyarakat.

Perlu disadari bahwa anak ilmu sosial tidak boleh insecure dengan pilihan ilmu yang mereka pelajari dan membuktikan bahwa ilmu sosial bisa mengubah kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, perlu disadari bahwa sains dan ilmu sosial itu setara, mereka memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Sudah sewajarnya anak jurusan ilmu sosial tak lagi diberi tanggapan sinis oleh sanak keluarga.

BACA JUGA Gimana sih Rasanya Kuliah dan Lulus dari Jurusan yang Katanya “Madesu”? dan tulisan Rofi’i Zuhdi Kurniawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version