Saat kuliah dulu saya memilih jurusan Ilmu Perpustakaan. Alasannya sederhana, banyak yang beranggapan kuliah di jurusan ini gampang, cuma belajar menata buku dan nantinya peluang kerja lulusan jurusan ini luas. Kurang lebih begitulah informasi yang saya dapat di beberapa internet.
Setelah menjalani perkuliahan selama empat tahun, saya baru tahu kalau ternyata kuliah di jurusan Ilmu Perpustakaan nggak segampang itu. Buku-buku bisa berjajar rapi di rak-rak perpustakaan itu perlu melalui proses yang panjang, nggak bisa asal naruh buku begitu saja. Ada ilmunya sendiri, kalau dikupas tuntas saya kira nggak cukup satu semester buat mempelajarinya.
Mahasiswa jurusan ini juga nggak hanya belajar soal buku saja, tapi juga belajar IT, desain web, marketing, kearsipan, dan masih banyak lagi. Makanya, banyak yang mengatakan peluang kerja lulusan ini luas, hampir semua instansi bisa dimasuki. Tapi, realitas berkata lain. Bak mencari jarum di atas tumpukan jerami, kiranya peribahasa itulah yang tepat untuk menggambarkan lapangan pekerjaan untuk lulusan Ilmu Perpustakaan ini.
Jurusan Ilmu Perpustakaan susah dicari di kolom loker
Setelah lulus, bayangan saya sederhana saja, nggak muluk-muluk. Saya berharap bisa masuk ke dunia akademik sesuai keinginan kedua orang tua. Dulunya, dengan mengambil jurusan ini saya rasa ada peluang besar untuk masuk dunia akademik. Bagaimana tidak, masih banyak sekolah-sekolah dari yang tingkat dasar hingga menengah atas yang belum begitu memperhatikan perpustakaannya.
Namun, realitas berkata lain. Informasi loker untuk pustakawan sangat minim. Saran saya, yang mau berkarier jadi pustakawan di jenjang sekolah, jangan nunggu brosur info lokernya. Langsung saja inisiatif buka-buka sosmed sekolahan yang ingin kalian tuju dan gas langsung DM atau hubungi via WhatsApp kalau ada nomor adminnya. Kalau nggak nemu, cari aja brosur SPMB, biasanya di brosur tersebut tertera contact person bapak/ibu guru.
Perpustakaan masih dipandang sebelah mata
Udah nyari kontak yang bisa dihubungi susah, sekalinya dibalas malah mengecawakan. Dari beberapa sekolah yang telah saya hubungi, hampir semua mengatakan bahwa, “perpustakaannya sudah dikelola sendiri oleh bapak/ibu guru yang ditugaskan bapak kepala.” Kalau nggak gitu, “sekolah kami belum memiliki fasilitas perpustakaan,” ada juga yang bilang, “untuk saat ini belum, karena perpustakaan masih rusak berat”.
Dari jawaban tersebut, bisa ditarik satu benang merah, perpustakaan masih belum dianggap suatu hal yang penting untuk dikelola. Padahal, perpustakaan sekolah digadang-gadang sebagai jantungnya sekolah. Kalau jantungnya saja mati, ya gimana suatu badan itu mau berjalan normal.
Belum lagi, salah satu syarat untuk suatu sekolah mencapai akreditasi A atau unggul adalah memiliki fasilitas yang lengkap, termasuk perpustakaan. Kalau perpustakaan tidak dikelola dengan baik, ya jangan mimpi dapat akreditasi A bro. Meskipun ada guru yang ditugaskan kepala, tapi kalau tidak memahami bagaimana tata kelola perpustakaan yang sesuai standar, akan percuma. Ibarat dokter yang menangani pasien yang tidak sesuai bidangnya tentu akan berkibat fatal.
Adanya kebijakan baru dari pemerintah
Masalah lain yang membuat lowongan ini semakin sempit adalah adanya kebijakan baru dari pemerintah. Beberapa sekolah yang saya hubungi, terutama sekolah negeri banyak yang mengatakan bahwa, imbauan dari pemerintah untuk saat ini sekolah belum boleh mengangkat tenaga/honorer baru.
Niat hati mau menjadi honorer untuk sekedar memenuhi keinginan orang tua dan sebagai batu loncatan harus meredup seketika. Sebenarnya, tidak pernah terbesit sedikitpun keinginan untuk menjadi pustakawan sekolah, apalagi di jenjang sekolah dasar. Tapi, saya perlu ini untuk bisa mencapai apa yang saya cita-citakan, yaitu bekerja di akademik perguruan tinggi.
Sudah nyoba dunia swasta? Sudah, bahkan saya ditawari untuk gajinya hampir tiga kali lipat dari tenaga honorer pada umumnya. Sekolah itu sekolah dasar, bagian dari sebuah yayasan yang cukup besar dan ternama. Sudah fullday school lagi. Langsung diambil dong? Tidak, justru saya menolaknya mentah-mentah. Alasannya tidak bisa saya buka di sini, tapi saya ambil keputusan itu dengan pemikiran yang amat matang.
Sudah banyak jurusan Ilmu Perpustakaan di Indonesia
Itulah tadi cerita saya sebagai seorang lulusan Ilmu Perpustakaan yang sedang pontang-panting nyari kerja. Jika ditanya, apakah saya menyesal menjadi seorang lulusan jurusan Ilmu Perpustakaan? Sejujurnya, sih, tidak sepenuhnya. Reminder saja, sebelum kalian memutuskan untuk kuliah di jurusan ini dan di kampus A, pastikan dulu tujuan kalian selanjutnya mau bagaimana. Kalau langsung kerja, saya sarankan ambil D3/D4 dulu yang lebih banyak praktiknya. Jangan sedikit menyesal seperti saya.
Nyari kerja emang nggak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di era sekarang. Lulusan sarjana, magister, doktor, atau yang bertitle apapun tapi kalau nggak diimbangi dengan skill lain yang mumpuni hanya akan sia-sia.
Oh ya, satu lagi, saya baru saja teringat kalau tidak salah beberapa waktu yang lalu tepatnya saat Peringatan Hari Pustakawan, Bapak Kemendikdasmen, mengatakan bahwa, Indonesia kekurangan pustakawan. Beliau juga mengimbau agar perguruan tinggi menambah prodi ilmu Perpustakaan.
Saya rasa pernyataan Bapak salah, Indonesia tidak kekurangan pustakawan Pak, tapi loker pustakawannya yang kurang. Dan, di Indonesia ini sudah cukup banyak prodi Ilmu Perpustakaan, hanya saja sebagian besar lulusannya sendiri ogah bekerja di dunia perpustakaan.
Penulis: Salma Farikha
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
