Makanan enak dengan harga yang lumayan mahal memang tidak buruk, sebab selaras dengan istilah “ada uang, ada barang”. Kualitas sebanding lurus dengan harga. Tapi, bukankah lebih menarik kalau murah? Tentu saja, apalagi gratis. Ya, walaupun nggak mungkin ada rumah makan yang menyediakan gratis. Paling adanya bayar seikhlasnya, dan saya nggak pernah nyaman dengan konsep ini.
Mungkin orang lain berpikir saya aneh, wong bayar seikhlasnya berarti nggak usah khawatir budget atau bayaran, lah ini kok malah nggak nyaman? Boleh jadi si pemilik rumah makan mau berdagang sambil beramal, kok malah nggak nyaman? Benar, mungkin bisa dibilang aneh, tapi ada alasan-alasan yang membuat saya kurang nyaman dengan konsep seperti ini. Datangnya kurang lebih dari pengalaman saya, sih.
Sudah lama sekali, saya lupa kapan waktu jelasnya, tapi saya ingat waktu itu saya pernah diajak makan ke tempat yang pakai konsep bayar seikhlasnya. Berhubung saya lapar, dompet tipis, dan akhir bulan, maka saya amini ajakan teman saya itu. Di sana, konsepnya seperti prasmanan, tapi bisa pesan juga. Banyak banget yang makan, penuh dan sesak orang yang ingin makan. Btw, ini sebelum ada pandemi ya.
Makanlah kami saat itu, kami ikut antre dan tentu saja kalap mengambil lauk dan nasi. Mumpung bayar seikhlasnya sih. Anak kosan banget, malu belakangan. Selesai makan, kami ke kasir untuk bayar, saat mengeluarkan dompet saya lupa bawa uang! Astaga, saya krosek terus kantong saya dan hanya menemukan lima ribu saja. Gila, teman-teman saya pada bayar minimal Rp20 ribu dan saya cuman lima ribu. Saya coba pasang muka tebel saja. Malu bukan main.
Saat selesai, kami bergegas pulang dan ternyata tempat makan itu sudah mau tutup. Saya bingung, dong. Perasaan belum malam banget, dan waktu tutupnya masih lama. Usut punya usut, ternyata lauk dan nasi sudah mau habis dan karena itu jadi tutup lebih awal. Nggak aneh katanya, dan ini sering terjadi.
Saya melihat orang yang baru sampai ingin makan, mulai dari pekerja dan orang-orang yang tapak “kurang”, mereka terlihat kecewa. Saat saya melihat meja, banyak sekali makanan sisa. Sisanya itu tidak seperti sisa makanan, banyak sekali potongan ayam masih utuh atau misalnya ikan hanya dimakan setengah saja, ada juga yang mengambil dua porsi dan satu lagi tidak disentuh. Anjir, mubazir banget! Sejak itu, saya jadi agak nggak nyaman dengan konsep makan bayar seikhlasnya.
Pertama, kita sebagai manusia ini sebenarnya pada dasarnya tamak. Moral dan hukumlah yang jadi batasan untuk berbuat sesuatu, sebab kebebasan kita tumpang tindih dengan kebebasan orang lain. Seperti halnya rumah makan, adanya menu dan porsi adalah hukum dan moral untuk kita “tahu batasan” sampai mana harus makan.
Kalau kita hanya ingin makan murah dan kenyang, kita bisa pilih paketan. Kalau kita hanya ingin makan ringan, kita bisa pilih camilan dan minuman saja. Harga dan porsi mengatur kita dalam beraktivitas di rumah makan. Lalu dengan konsep rumah makan bayar seikhlasnya seperti yang saya ceritakan, hal itu malah bikin kita nggak tahu aturan. Jadi sesuka hati saja, padahal kita cuman mau kenyang tapi malah mubazir. Mending kalau habis, kalau nggak habis? Kasihan, banyak yang kelaparan dan kita malah buang-buang makanan.
Kedua, bingung saat mau bayarnya. Yang bikin saya sadar setelah lupa bawa dompet, saya jadi kepikiran itu kasir ngomongin di belakang atau tidak, ya? Wqwqwq, walaupun bayar seikhlasnya tetap saja ada perasaan begitu. Ada keraguan apakah harga yang bayarkan sudah memenuhi standar kepantasan atau belum. Sejak itu saya bingung, kalau makan di tempat yang bayar seikhlasnya itu harus banyak atau sedikit? Kalau banyak, kita juga nggak banyak duit. Kalau dikit, takutnya tidak menghargai sekali. Pusinggg.
Ketiga, kadang-kadang karena bayar seikhlasnya ada saja yang bikin makanan seadanya. Ya, benar juga dengan harga seikhlasnya mau komplain juga nggak etis. Tapi, kadang-kadang ada juga yang bikin enak banget dan bikin orang-orang memakannya penuh dengan perasaan. Oleh sebab itu, saya jadi bingung untuk menilai kualitasnya.
Kalau hanya murah, dan bukan bayar seikhlasnya, saya masih bisa memberi kesan baik. Sebab, berarti kualitas makanan tetap baik walaupun harga murah. Lagipula, itu harga dikasih sama yang jual. Nggak ada beban moralnya. Kalau bayar seikhlasnya? Saya bingung. Bayar murah, tapi enak banget. Bayar mahal, takutnya berlebihan. Arggghhh, soal bayar saja sampai bawa beban moral segala.
Memang betul, rumah makan bayar seikhlasnya tidak banyak tapi tetap ada saja. Ini hanya opini saya sendiri, banyak juga makan yang bayar seikhlasnya tapi rapi dan tidak asal-asalan seperti yang saya datangi. Saya nggak menggeneralisir, ya. Pada dasarnya orang buka usaha bayar seikhlasnya itu niatnya pasti baik. Tapi, tetap bagi saya ada ketidaknyamanan untuk diri saya sendiri. Lebih baik ada dan harganya dan murah, deh.
BACA JUGA Ashigaru, Pasukan Petani dan Rakyat Jelata yang Ikut Perang di Jepang dan artikel Nasrulloh Alif Suherman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.