Jogja Darurat Sampah, Monumen Ketidakbecusan Pemerintah yang Terus Meminta Waktu untuk Belajar. Mahasiswa 5 Tahun Gagal Saja DO, Pemerintah Minta Sabar?

Jogja Darurat Sampah, Monumen Ketidakbecusan Pemerintah (Unsplash) sampah di jogja

Jogja Darurat Sampah, Monumen Ketidakbecusan Pemerintah (Unsplash)

Menurut orang bijak, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Kita akan terus belajar sampai nafas ini terputus dan roh kita kembali pada-Nya. Tapi kalau untuk masalah sampah Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta), pemerintah terlambat untuk belajar. Persetan dengan quotes bijak di atas kalau untuk masalah yang sudah puluhan tahun. Bijak ndhasmu!

Hari ini kita sudah melihat pecahnya gelembung masalah sampah di Jogja. Bahkan mulai menodai kemolekan daerah yang katanya romantis ini. Tapi dengan kondisi segenting ini, masyarakat harus memberi ruang bagi pemerintah untuk belajar? Wes telat bossku!

Masyarakat sudah tidak bisa menanti pemerintah belajar. Karena masyarakat sudah jengah dan marah pada masalah sampah. Jika pemerintah masih perlu ruang untuk belajar, lalu apa yang mereka lakukan selama puluhan tahun? Merenung dan bersemedi?

Pemerintah masih harus belajar masalah sampah?

Statement Sri Sultan HB X terakhir jelas jadi angin segar bagi pemerintah kota dan kabupaten. Beliau yakin bahwa masalah sampah ini akan segera selesai. Sri Sultan meminta kita memberi ruang bagi pemerintah untuk belajar dalam menjawab masalah sampah. Seperti orang tua yang minta untuk memaklumi anaknya yang melakukan kenakalan remaja.

“Jadi bagi saya berilah pengalaman khususnya bagi (pemerintah) kabupaten/kota. Nabrak tidak apa-apa, karena memang tidak punya pengalaman. Tapi kalau nabrak dia berpikir ulang untuk mencari jalan keluar,” kata Sri Sultan.

Betapa indahnya hidup pemerintah Jogja. Ketika punya masalah yang tidak selesai selama puluhan tahun, masih bisa mendapat pemakluman. Bahkan mereka masih diberi ruang untuk belajar ketika masyarakat berkubang dalam sampah.

Saya penasaran, butuh berapa lama pemerintah Jogja untuk belajar? Mahasiswa saja bisa kena DO jika tidak lulus setelah 5 tahun kuliah. Masak pemerintah daerah yang istimewa ini kalah semangat dengan mahasiswa kekiri-kirian? Sampai masih harus belajar setelah puluhan tahun mengurus sampah.

Jogja sudah berkubang sampah!

Selama masyarakat Jogja menanti pemerintah belajar, apa yang bisa dilakukan? Yah seperti biasa, berkubang dalam tumpukan sampah. Ini bukan kiasan semata, karena sampah sudah tidak malu lagi untuk tampil. Tidak ada lagi sampah yang tersembunyi di depo dan tertutup terpal. Semua sudah terlihat jelas di setiap sudut daerah istimewa.

Bayangkan saja, masyarakat di sekitar Pasar Ngasem harus belajar lempar sampah. Setiap ada truk sampah lewat, puluhan orang sibuk melemparinya dengan plastik bau dan lengket. Padahal lokasinya di Njeron Beteng. Di jantung monarki Kasultanan Yogyakarta!

Belum lama bahkan ada kejadian yang menyayat hati. Salah satu lahan milik warga menjadi tempat pembuangan sampah dadakan. Entah dari mana asalnya, satu bidang tanah itu kini menampung segunung sampah. Bahkan diduga tumpukan sampah ini tidak hanya aksi individu semata. Namun aksi kolektif yang melibatkan truk pengangkut sampah.

Tapi Anda tidak perlu mencari-cari titik sampah di atas. Karena di setiap sudut Jogja Anda bisa bertemu dengan tumpukan sampah dalam plastik. Entah siapa empunya, tapi pasti milik orang yang putus asa pada kerja pemerintah. Putus asa sampahnya tidak terurus dan tidak ada solusi yang lebih masuk akal.

Pemerintah hanya punya waktu singkat

Melihat masalah sampah hari ini, saya pikir waktu yang dimiliki pemerintah untuk mencari solusi makin singkat. Tidak ada lagi kesempatan untuk studi banding ataupun bikin FGD. Karena setiap hari yang berlalu, sampah akan bertambah. Setiap waktu mereka untuk belajar, sampah akan membanjiri daerah istimewa.

Mungkin 1 tahun sudah kelewat panjang bagi pemerintah untuk menemukan solusi. Namun ini bisa jadi deadline bagi pemerintah. Lewat dari tenggat waktu itu, masyarakat akan benar-benar muak. Darah mereka mendidih karena direbus dalam kubangan sampah. Bisa jadi, Jogja akan dikenal sebagai kota wisata sampah.

Kalau saja 5 tahun lalu pemerintah Jogja sudah mulai mengolah sampah, mungkin tidak akan ada tulisan ini. Andai saja jauh-jauh hari sudah ada desentralisasi sampah, mungkin Jogja tetap cantik ketika TPST Piyungan ditutup. Tapi jika implementasi solusi tadi dilakukan serentak hari ini, apa tidak berat juga bagi pemerintah?

Tapi tidak masalah jika berat. Daripada malah sibuk mengemis pada masyarakat untuk sabar. Sabar menanti mereka belajar. Sabar menanti mereka ambil tindakan. Karena sampah tidak punya waktu untuk bersabar. Mereka akan terus membanjiri Jogja dengan bau dan kotoran. Menjadi monumen dari ketidakbecusan pemerintah selama ini.

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jogja Itu Sebenarnya Jemawa atau Malah Tutup Mata Perkara Sampah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version