Brak!!! Pardi, yang sedari tadi sekrol-sekrol gawainya mendadak menggebrak amben galar di emperan warung Yu Marmi. Kopi di cangkir kami meluber, menggenang di permukaan lepeknya, seiring dengan gebrakan tangan Pardi itu.
“Orang-orang ini udah pada mati hati nuraninya ya, Cak.” ucapnya setengah marah.
Cak Narto, menarik badannya yang sejak awal menyandar pada dinding anyaman bambu warung. Tidak keluar kalimat dari mulutnya. Ia hanya mendorong dagu ke arah Pardi diiringi mata yang sedikit membelalak.
“Kamu ini kenapa, Pi, orang-orang siapa?” tanya saya penasaran.
“Netijen ini, Lur. Masak yang bikin kontroversi si suami yang diserang malah istrinya, sih” jawab Pardi dengan tatapan masih ke arah gawainya.
Ohhhhhh… serempak dan tanpa aba-aba kami bertiga merespon jawaban itu. Kami tahu tahu betul yang dimaksud Pardi adalah “serangan” warganet kepada Nora, istri Jerinx, penggebuk drum Superman Is Dead (SID) itu. Di tongkrongan, Pardi memang sudah terkenal sebagai seorang OutSIDer (sebutan untuk pemuda penggemar SID) kawakan sebelum akhirnya menikah dan membuka usaha sablon di seberang Koramil.
“Tapi, harusnya si Jerinx sedari awal sudah mengerti resiko dari sikap yang dia ambil, Di” Kanapi berusaha memberikan pemakluman.
“Maksudmu, Pi?” kejar Pardi.
Kanapi melipat kakinya, bersiap menjelaskan. “Begini lho, Di, si Jerinx kan sudah sejak awal memilih mengambil posisi kontra di tengah hiruk pikuk pandemi ini. Statement-nya kan selalu kontroversial gitu. Pake segala bilang kalau Korona ini hoaks dan konspirasi. Kan berbahaya kalau seorang public figure yang punya banyak penggemar bikin pernyataan yang menyesatkan seperti itu? Ketika penjara tidak membuatnya melunak, wajar dong jika orang-orang dekatnya ikut dirujak?”
“Di bagian Jerinx kontroversial, aku setuju, Pi…tapi kan itu nggak serta merta memberikan kita hak untuk merundung istrinya. Sampe brand-brand yang kerja sama Nora ikut diprovokasi. Itu kan membawa dampak ekonomis. Bukan kah itu namanya bengis. Zalim.” Pardi tampak mbesengut membela idolanya itu.
“Lagian…” pembelaan Pardi belum selesai rupanya, “Apa sih kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika Jerinx tetap pada sikapnya menjadi kontroversial? Dia kan cuma mengungkapkan opininya di ruang publik. Kalau memang opininya melanggar hukum, silakan dilaporkan ke polisi lagi. Kalau opininya dirasa konyol ya silakan ditertawakan. Kalau opininya bodoh tinggal tidak usah dibaca. Jangan malah keluarganya yang diserang!”
Mendengar itu kami bertiga terdiam. Kami bertiga tahu kecintaan Pardi kepada SID dan Jerinx. Selalu terlihat pendar emosional di matanya ketika Ia berbicara tentang band dari Bali itu. Pardi bahkan menikahi seorang Ladyrose (sebutan untuk pemudi penggemar SID) yang Ia kenal dari perjalanan menumpang truk menuju konser SID di sebuah kota di pesisir utara Pulau Jawa.
Tak tahan dengan suasana hening, saya pun menyenggol ujung lutut Cak Narto yang sedari tadi diam. Tapi, Ia tetap bergeming.
“Tapi, Di…” Saya pun akhirnya mulai berargumen, semata agar keheningan malam ini terhenti, “Kalaupun Jerinx tidak setuju dengan narasi formal bahwa Covid itu nyata dan berbahaya, menurutku Ia tak perlu sefrontal itu ke pihak lain. Sampai menyerang selebriti dan lembaga-lembaga. Pake kata-kata yang pedas pula. Track record netijen kita kan sudah terbukti. Jangankan cuma seleb lokal, perusahaan raksasa sekelas Microsoft aja digergaji. Organisasi bulutangkis dunia aja dibikin hilang akunnya. Maka kalau Ia cuma diserang istrinya menurutku kok masih wajar ya. Ada aksi ada reaksi. Hehehe…”
Demi menjaga perasaan kawan, saya memilih mengakhiri pernyataan dengan tertawa datar. Tapi seperti putus asa, Pardi tampak tak lagi bergairah untuk berdebat.
“Gimana menurut Sampean, Cak?” Kanapi memaksa Cak Narto bersuara.
“Hah…” Ia hanya melenguh, terlihat tidak tertarik dan kembali menyandarkan punggungnya pada dinding warung.
“Ayolah, Cak! setidaknya Sampean hibur sedikit si Pardi ini…idolanya baru keluar penjara sekarang malah istrinya yang dirujak netijen. Kasihan betul ini, Cak.” Kanapi mengatakan itu dengan nada sejenis mengolok. Sejurus kemudian Cak Narto menggerus kreteknya yang tinggal beberapa isap itu pada permukaan asbak di depan kami.
“Gini lho, nDessss.” Meski terlihat tak bertenaga tapi saya menduga kalimat yang akan keluar dari mulut Cak Narto pasti akan panjang. “Di masa ontran-ontran Korona seperti saat ini, semua orang tampaknya memang dalam mode marah-marah. Wajar. Situasi yang serba tak menentu. Orang banyak di-PHK. Banyak yang usahanya gulung tikar. Banyak yang ditinggalkan orang tercinta. Lantas kalau ada orang yang berdiri di posisi kontra dengan pandangan umum konsekuensinya ya jelas di-brakoti sama masyarakat. Sampek sini paham, to?”.
Cak Narto dengan cepat menyelipkan kretek di ujung bibir dan membakarnya lantas melanjutkan kalimatnya.
“Aku tidak sedang ingin ikut dalam palagan brakot-brakotan netijen kepada Jerinx dan Istrinya, lho, Di…” Cak Narto melirik ke arah Pardi. “Maksudku begini, di tahun kedua pagebluk Korona ini kalaupun harus ada yang diserang, dikecam, dikuliti, bahkan diadili itu sebenarnya ya pemerintah kita ini… kemarahan netijen ini salah sasaran sejak awal.”
“Sampean mbok jangan ikut-ikutan bikin pendapat kontroversial to, Cak!” Ujar Kanapi mengingatkan.
“Lha gimana, Jerinx itu kan sebenarnya seperti kita-kita ini juga. Terombang-ambing di tengah ke-tidak jelas-an kebijakan pemerintah dalam mengelola pandemi. Tapi, bedanya Ia frontal dalam berpendapat di ruang publik dan kita hanya berani rasan-rasan di sini. Jika ada pihak yang tersinggung dengan kata-katanya yang pedas dan menohok, itu masalah pilihan reaksi saja. Tidak ada kata-kata yang membuat emosi, kita lah yang memasukkan emosi dalam kata-kata. Tidak ada rakyat yang pantas dipenjara hanya karena kata-kata.”
“Tapi kan kata-katanya itu provokatif lho, Cak…berbahaya jika ada penggemarnya yang percaya dengan narasi si Jerinx, Cak!” Kali ini saya berusaha menggunting argumen Cak Narto.
“Kalau ada penggemarnya yang terprovokasi memangnya mereka bisa apa, sih? Kuncinya kan di kepastian dan penegakan hukum. Kalau ada yang ikut narasi Jerinx dan melanggar hukum, dengan tidak taat prokes di tempat umum, misalnya, ya ditindak saja, to. Kan sesederhana itu. Kalau harus ada pihak yang harus disalahkan menurutku, ya pemerintah, sejak awal tidak ada ketegasan dan kepastian. Dari awal pandemi rakyat disuguhi atraksi politisi, sirkus korupsi dana bansos, institusi kesehatan yang menggunakan alat rapid test bekas, dan berbagai ke-absurdan-an lainnya. Sejenak kita marah, lalu kemudian kita lupa, dan mencari siapa lagi yang patut disalahkan!”
Nampak segaris kemarahan di ujung mata Cak Narto.
“Kalian itu sadar nggak sih, nDes, kondisi kebatinan Jerinx sebagai orang Bali. Buminya sudah dieksploitasi sedemikian rupa. Masyarakatnya dibikin bergantung dengan pariwisata. Begitu pandemi di depan mata dan ekonomi rakyat Bali amburadul yang mereka dapatkan hanya ketidakpastian. Diam-diam pemerintah menggelontorkan dana untuk men-endorse pariwisata Bali, dan tak berselang lama harapan itu ditumbangkan juga dengan kebijakan-kebijakan last minute. Maksudku, mbok ya jangan menghakimi Jerinx seolah dia kriminal gitu, lah, yang sesuai aja porsinya. Yang tepat sasaran gitu, lho. Kalau kalian hidup dalam ketidakpastian dan disuguhi atraksi absurd tak berkesudahan, maka percaya kepada konsipirasi itu rasanya cukup beralasan. Hehehe”
Cak Narto tersenyum simpul seolah memberikan penghiburan kepada Pardi. Sejurus kemudian saya meraih papan karambol di bawah amben dan segera kami lupakan semua keriuhan dunia maya.
***
Hujan yang tak begitu deras membasahi tanah di emperan warung Yu Marmi malam itu. Angin yang datang bersamanya meniup tirai kumal yang bergantung pada daun jendela, entah sejak kapan. Daun pohon srikaya berterbangan membawa keputusasaan. Kilat di cakrawala seolah mengisyaratkan bahwa hanya harapan yang bisa membuat bertahan. Gelegar guntur yang bersahutan seakan berkata bahwa tak ada yang bisa diharapkan dengan meneriakan kemarahan.
BACA JUGA 5 Hal yang Bisa Diteladani Kaum Muda dari Sosok Jerinx dan tulisan Suwatno lainnya.