Belakangan ini di Surabaya sedang marak stigma tentang orang Madura. Bagi kebanyakan warga Kota Surabaya, mereka merupakan sumber dari segala kejahatan di kota ini. Apa pun kasusnya, yang pertama kali terbesit dalam pikiran selalu, “Pasti ulahnya warga Meksiko (julukan bagi orang madura).” Masyarakat terlalu fokus menyalahkan orang Madura. Padahal menurut saya, yang salah itu pemerintah dan kesalahan itu memiliki wujud nyata, yaitu Jembatan Suramadu.
Ada berbagai macam ide dan gagasan yang melatarbelakangi dibangunnya jembatan ini. Tetapi kenyataannya, Suramadu itu tidak lebih dari sekadar penghubung dua daratan. Selebihnya, Suramadu merupakan alat pemercepat hancurnya persatuan. Biar saya jelaskan.
Daftar Isi
Tujuan awal pembangunan Jembatan Suramadu
Jembatan Suramadu sebetulnya punya fungsi yang sangat mulia. Hal ini sudah dijelaskan dalam Keppres Nomor 79 Tahun 2003. Di Pasal 1 disebutkan bahwa Jembatan Suramadu dibangun untuk meningkatkan perekonomian Pulau Madura pada khususnya dan Provinsi Jawa Timur pada umumnya.
Selanjutnya disebutkan di Pasal 2 bahwa pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dilaksanakan sebagai bagian dari pembangunan kawasan industri dan perumahan serta sektor lainnya dalam wilayah-wilayah di kedua sisi ujung jembatan tersebut.
Intinya, dengan dibangunnya jembatan ini, diharapkan dapat membantu memajukan perekonomian di Pulau Madura sekaligus mampu meningkatkan kualitas hidup warganya. Apalagi Kota Surabaya merupakan pusat pertumbuhan ekonomi di daerah Gerbangkertosusila karena kontribusi PDRB-nya menjadi yang terbesar dibandingkan dengan daerah lain. Harapannya dapat menularkan tren positif ini hingga ke daerah-daerah di Pulau Madura.
Baca halaman selanjutnya: Daerah kemiskinan tertinggi masih berasal dari Pulau Madura…
Daerah kemiskinan tertinggi masih dihuni daerah yang berasal dari Pulau Madura
Masalahnya, selama hampir 15 tahun jembatan ini berdiri, tujuan mulia tadi tidak nampak tanda-tanda keberhasilannya. Dilansir dari Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2024, tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Jatim bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sudah menyusun daftar daerah dengan kemiskinan tertinggi di Jawa Timur. Hasilnya, posisi tiga teratas masih dihuni oleh daerah yang berasal dari Pulau Madura. Ketiga daerah itu adalah Sampang, Bangkalan, dan Sumenep.
Tanpa melihat data tersebut, buktinya bisa dilihat dengan mata kepala sendiri. Coba saja bandingkan kedua ujung jembatan ini yang masing-masing berada di Kota Surabaya dan Kabupaten Bangkalan.
Sisi Jembatan Suramadu yang berada di Bangkalan nampak hampir seperti hutan belantara. Tidak banyak kehidupan disana. Palingan hanya dihuni beberapa pedagang oleh-oleh dan beberapa tempat makan. Sisanya kosong tak terurus.
Kalaupun ada fasilitas umum, kehadirannya seperti tidak memberikan efek apa-apa. Sesimpel jalan trotoar saja tidak ada di kedua ruas jalannya. Sungguh berbanding terbalik dengan sisi Jembatan Suramadu yang berada di Surabaya.
Saya yakin warga Madura juga kesal dengan realitas ini dan sudah sampai mempengaruhi psikologis mereka. Kalau kata Sigmund Freud, manusia hidup didorong untuk selalu mencari kenikmatan. Lebih terdorong lagi kalau kenikmatannya bisa diraih dengan cara mudah.
Warga Madura yang sudah kelewat marah dengan kondisi daerahnya yang gitu-gitu aja pasti terdorong mencari kondisi hidup yang lebih baik. Jawaban paling mudah dari masalah ini ya pindah ke Surabaya. Apalagi Surabaya statusnya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur. Asumsinya, pasti akan banyak peluang memperbaiki hidup di sana.
Akhirnya mengakibatkan konflik
Maraknya perpindahan warga Madura ke Surabaya ini pada akhirnya mengakibatkan beberapa konflik sosial dengan warga lokal. Pertama, soal lapangan kerja.
Sudah tahu lowongannya sedikit, malah ketambahan pesaing. Kalaupun lowongan kerja itu ada, meskipun sifatnya gaib, infonya tidak tersebar dengan luas. Lihat saja kolom lowongan pekerjaan di website seperti LinkedIn, Glints, dan Kitalulus. Kebanyakan masih didominasi oleh lowongan kerja untuk yang berdomisili di Jakarta. Gimana nggak bikin warga surabaya muring-muring?
Masalah kedua jelas tentang kriminalitas. Banyak yang bilang kalau Jembatan Suramadu adalah berkah bagi para pelaku kriminal.
Lagi-lagi, banyak yang menuduh para pelaku kriminal ini datang dari sisi seberang jembatan dan mampir hanya untuk menjarah kekayaan Kota Surabaya atau untuk berbuat onar. Setelah barang yang diincar sudah ditangan, mereka akan langsung kabur. Konon katanya, semua barang curian yang telah dilarikan ke sisi seberang tidak akan pernah bisa dilacak lagi keberadaannya. Menghilang selamanya tanpa jejak.
Kalau masalah tidak segera dibenahi, Jembatan Suramadu hanya akan mempercepat putusnya hubungan antar-warga
Kedua hal tersebut membuat stigma buruk semakin tebal. Warga Surabaya butuh kambing hitam atas semua keruwetan tadi, sementara orang Madura dianggap sebagai sasaran logis.
Kalau stigma ini dipertahankan, tidak menutup kemungkinan akan berujung pada perilaku rasis. Orang Surabaya tidak suka dengan hadirnya orang Madura. Sebaliknya, orang Madura yang telanjur dianggap buruk bisa jadi balik melawan dengan kebencian yang sama hebatnya. Kebencian tiada ujung ini dapat mengarah pada perpecahan sesama warga negara. Semua gara-gara siapa? Gara-gara Jembatan Suramadu.
Intinya, bagi orang surabaya, Jembatan Suramadu itu lebih banyak mudaratnya. Pemerintah harus bekerja ekstra keras dalam memberikan program dukungan agar pertumbuhan ekonomi dapat merata. Kalau tidak segera dibenahi, jembatan ini bukannya mempercepat pembangunan, tetapi malah akan mempercepat putusnya persatuan antar-warga negara.
Kalau sudah seperti ini, apa tidak lebih baik Jembatan Suramadu ditutup saja?
Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.