Belanja online sudah menjadi cara alternatif bagi masyarakat yang mager pergi ke toko buat sekadar beli kebutuhan sehari-hari. Namun, dengan perkembangan itu, sepertinya pencinta online shop Indonesia belum merasakan ketenangan dan kenyamanannya dalam berbelanja jarak jauh seperti itu.
Ada kekhawatiran dari orang-orang yang berbelanja online selain barang yang datang tidak sesuai dengan fotonya. Kekhawatiran itu adalah, telatnya paket yang datang ke rumah. Hal itu cukup bikin was-was apalagi kalau jelang Lebaran, jasa ekspedisi pasti overload dan membutuhkan bala bantuan dalam mengantarkan paket milik pelanggan.
Secara pribadi, saya pun khawatir karena paket saya sangat lama datangnya, tidak seperti hari-hari biasanya. Walau sudah berusaha positif thinking kepada penyedia jasa ekspedisi, tetap saja otak ini suuzan kepada para kurir. Alih-alih bersabar, akhirnya malah jadi ngebawelin seller yang dengan sabar terus membalas pesan pelanggan walau (palingan) sambil ngedumel dalam hati.
Untuk itu, sepertinya penyedia jasa ekspedisi perlu melakukan gebrakan, yaitu mengembangkan teknologi GPS untuk setiap kurir atau paket yang diantarkan. Ide ini memang bikin emosi dan menguras duit. Hanya saja, demi kenyamanan dan ketenangan pelanggan, apa sih yang nggak? Teknologi GPS ini bisa membantu melacak paket-paket yang diantarkan sudah sampai mana dan sedang di mana. Cuma, pasti beberapa ada hal yang harus diterima jika teknologi ini benar-benar terwujud.
Pertama, penyedia jasa ekspedisi perlu menguras duit lebih dalam untuk membeli alat pelacak yang terhubung dengan orang gudang sortir. Risiko itu mau nggak mau harus diterima, jika dalam satu perusahaan ekspedisi memiliki 50 kurir, semua kendaraan kurir patut dipasang GPS. Jadi, udah nggak ada alasan lagi kalau kurir telat mengirim karena tenaganya habis untuk nyariin alamat yang nggak jelas.
Kedua, pelanggan harus membayar lebih mahal. Ada harga ada barang, Bos. Pasalnya, dengan biaya tersebut, pelanggan akan sangat mudah melacak paket yang akan diterima sedang di mana, dan kurir yang mengantar sedang ke mana dulu. Otomatis, pelanggan pun jadi tenang, bukan?
Ketiga, hal ini hampir nggak mungkin terjadi, kok. Pasalnya, setelah kejadian kurir Shopee Express yang demo karena honornya dikurangi, sangat tidak mungkin kalau penyedia jasa ekspedisi capek-capek meningkatkan teknologi pelacakan. Toh, orang yang senang berbelanja online, biasanya mereka lebih ngarep promo gratis ongkir daripada peningkatan pelayanan ekspedisi. Ironis memang. Namun, budaya gratisan masih menjadi budaya ternikmat di jagat raya.
Dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut, rasanya masih sangat lama untuk mencapai penggunaan teknologi canggih di negara +62. Literasi digital saja masih kurang, gimana mau bijak menggunakan teknologi? Perlu peran semua pihak agar teknologi nggak cuma dijadikan sarana hiburan dan komunikasi.
Selain itu, literasi finansial masyarakat sangat butuh perhatian di tengah hingar bingar online shop saat ini. Berbelanja online terbukti telah menjadi candu dan halu karena banyak orang yang memasukkan barang ke dalam keranjang, tapi nggak tahu kapan mau checkout-nya.
BACA JUGA Gratis Ongkir Belanja Online? Orang Luar Jawa Can’t Relate dan tulisan Muhammad Afsal Fauzan S. lainnya.