Berbicara bulu tangkis, tidak bisa ditepikan sebuah fakta bahwa Indonesia adalah kiblat dunia di cabang olahraga ini. Mulai dari ganda putra legendaris Korea Selatan, Lee Yong-dae, hingga jawara Olimpiade 2016, Carolina Marin, pernah merasakan nikmatnya berlatih olahraga tepok bulu di Cipayung.
Namun, berbicara prestasi di nomor beregu, Indonesia patut memberikan alarm tanda bahaya. Yang terbaru, kegagalan di Piala Sudirman 2021 seolah menjadi tamparan keras yang begitu sakit dan pahit. Tak hanya karena kalah dari rival klasik, Malaysia, tetapi juga karena performa tim beregu Indonesia yang terlihat begitu stagnan.
Betul, ini adalah kali ketiga Indonesia gagal mengakhiri Piala Sudirman dengan berada di podium, namun bukan itu yang menyesakkan. Fakta bahwa stagnansi begitu terlihat dari performa kejuaraan beregu, harusnya mampu memaksa PBSI perlu melakukan evaluasi besar-besaran bukan hanya sekadar untuk menyambut ajang Thomas & Uber Cup yang sudah di depan mata, tapi untuk kemaslahatan bulu tangkis Indonesia di masa depan.
Untuk melihat stagnansi tersebut, kita tak perlu menarik terlalu jauh. Di edisi Piala Sudirman 2019, Indonesia mulai menunjukkan itu. Kala itu, Indonesia disingkirkan Jepang dengan skor 3-1 di semifinal dengan satu-satunya angka datang dari andalan kala itu, Marcus Gideon/Kevin Sanjaya. Tiga wakil berikutnya kandas di tangan wakil Jepang yakni Gregoria Mariska, Anthony Ginting, dan Greysia Polii/Apriyani Rahayu.
Di edisi 2021, kondisi berbeda terjadi. The Minions, julukan Marcus/Kevin, jadi salah satu yang disorot. Pemegang status ganda putra nomor 1 dunia selama 4 tahun berturut-turut itu kalah mudah melawan ganda putra Malaysia di partai pertama, sementara Ginting, kembali gagal memberikan performa terbaiknya ketika kalah dua set langsung dari Lee Zii Jia. Satu-satunya angin segar adalah performa Gregoria dan Greysia/Apri yang sukses bounce back dari rapor merah di 2019 sebelum akhirnya berkontribusi maksimal di 2021.
Stagnansi begitu terasa, karena ketika tunggal putri dan ganda putri sudah menemukan performa terbaiknya, Indonesia justru kehilangan angka dari sektor ganda putra, nomor andalan PBSI selama bertahun-tahun. Serta kecolongan pula di nomor tunggal putra, yang selama 3-4 tahun terakhir hanya punya Anthony Ginting dan Jonatan Christie sebagai tumpuan.
Dengan performa tunggal putra yang naik turun, bagaimana mungkin kita bisa optimistis menyongsong Thomas Cup ketika harus bertemu Denmark misalnya, yang punya komposisi tunggal putra terbaik dunia, hingga Jepang, yang masih bercokol sang raja nomor satu dunia, Kento Momota?
Sayangnya, lagi-lagi, kritik tentang performa di turnamen beregu acap kali menguap begitu saja ketika ditutup oleh prestasi gemilang di nomor perorangan. Sebagai contoh, pasca-kegagalan di Piala Sudirman 2019, atlet-atlet bulu tangkis Indonesia mengamuk di nomor individu. Marcus/Kevin secara beruntun menjuarai Indonesia Open 2019 dan Japan Open 2019 dengan menciptakan All Indonesia Final di dua turnamen tersebut kala melawan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan. Di nomor tunggal putra, Jonatan Christie dan Anthony Ginting juga mewujudkan All Indonesia Final di ajang Australia Open 2019, sebulan setelah Piala Sudirman 2019, dengan Jojo—sapaan akrab Jonatan—sukses jadi juara. Dan dengan prestasi gemilang di nomor individu tersebut, publik seketika lupa rapor merah di Piala Sudirman 2019.
Padahal, secara data dan fakta, performa Indonesia di nomor beregu jauh dari kata memuaskan. Sebagai kiblat bulu tangkis dunia, Indonesia sudah puasa terlalu lama untuk urusan prestasi. Untuk Thomas Cup, kali terakhir Indonesia juara adalah tahun 2002. Untuk Uber Cup, sejak era Susy Susanti berakhir, kita tak pernah lagi mampu membawa pulang lambang supremasi tertinggi beregu putri tersebut sejak terakhir tahun 1996. Di Piala Sudirman justru lebih tragis lagi, karena Indonesia terakhir jadi juara pada 1989, yang juga menandakan bahwa Piala Sudirman sudah tidak pulang ke rumah selama 32 tahun.
Kevin Sanjaya mulai menunjukkan penurunan determinasi, yang membuat The Minions begitu mudah dikalahkan lawan. Kita tak lagi melihat The Minions sebagai fear factor bagi lawan Indonesia di nomor beregu. Tidak lagi ada harapan easy point dari sang ganda putra nomor satu dunia itu. Fajar Alfian/Rian Ardianto jelas jadi nama berikutnya yang harus dituntut untuk perform di level tertinggi untuk segera bisa menjadi tumpuan, mengingat Ahsan/Hendra adalah ganda senior dan pengujung karier mungkin sudah ada di pikiran keduanya. Juga jangan lupa, kita punya juara dunia junior di sektor ini, Leo Carnando/Daniel Marthin, yang harus dipandu untuk bisa, minimal, sehebat The Minions atau The Daddies, bahkan lebih.
Di sektor ganda campuran, performa Praveen Jordan/Melati Oktavianti juga tak bisa dibilang stabil, seperti misalnya Zhang Siwei/Huang Yaqiong dari Cina. Tragisnya juga, hanya Praveen/Melati pula yang sejauh ini konsisten berprestasi di nomor perorangan, ketika ganda campuran lainnya masih terlalu jauh secara kualitas dari keduanya.
Kita sudah memberikan apresiasi tertinggi dari progres maksimal Greysia/Apriyani yang berujung medali emas pertama Indonesia di sektor ganda putri pada ajang Olimpiade 2020 lalu. Performa on fire itu pun sudah dibawa keduanya di ajang Piala Sudirman 2021. Namun jangan lupa, Greysia sudah berkali-kali memberikan indikasi akan gantung raket. Lalu setelah ini, apa yang akan dilakukan PBSI? Siapa akan jadi tandem Apriyani? Mau dibawa ke mana pengembangan sektor ganda putri pasca-Greysia?
Evaluasi besar jelas perlu dilakukan PBSI, tak hanya untuk jangka pendek, namun juga di masa depan yang panjang. Sebagai kiblat dunia, bulu tangkis Indonesia harus berpikir sebagai entitas yang dominan, sebagai sebuah hegemon. Sejarah sudah dirintis dan diukir para legenda bulu tangkis Indonesia untuk membuat nama negara kita begitu dihormati dan jadi lawan yang begitu ditakuti di kancah dunia.
Sebab, mau sampai kapan kita memaklumi prestasi buruk di turnamen beregu?
Sumber Gambar: Instagram PBSI