Jangan Picik Soal Kendaraan Listrik

Nyatanya, Beralih dari Kendaraan Konvensional ke Kendaraan Listrik Tak Semudah Itu mobil listrik jember

Nyatanya, Beralih dari Kendaraan Konvensional ke Kendaraan Listrik Tak Semudah Itu (Pixabay.com)

Motor-motor jasa pengantar yang tidak memiliki suara sudah banyak berkeliaran di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Kendaraan listrik bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia dan bukan sekadar angan belaka. Buktinya, sudah banyak merek mobil dan motor bertenaga listrik yang sudah mengaspal di jalan raya; asalkan, publik menyanggupi tagihan pembeliannya.

Kendaraan listrik makin gencar digalakkan di Indonesia dengan alasan kendaraan ini merupakan alternatif energi yang lebih “hijau” dibandingkan dengan kendaraan konvensional yang masih lebih banyak digunakan saat ini. Pada kenyataannya, emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar fosil memang lebih besar dibandingkan dengan kendaraan nirsuara yang mulai banyak digunakan saat ini.

Namun, kendaraan listrik belum sehijau seperti yang dipropagandakan oleh pemerintah maupun perusahaan otomotif dalam iklannya. Proses pembuatan baterai kendaraan listrik memiliki permasalahannya sendiri. Kendaraan listrik memerlukan baterai yang digunakan sebagai sumber daya agar mesinnya dapat berjalan; konsepnya sama dengan gawai yang kita gunakan sehari-hari.

Belum benar-benar hijau

Baterai yang digunakan untuk kendaraan listrik memiliki kecacatan dalam proses produksinya. John Luong dalam studinya yang berjudul A Paradox over Electric Vehicles, Mining of Lithium for Car Batteries, menunjukkan permasalahan produksi baterai listrik yang dapat menyebabkan efek yang, ironisnya, dapat berdampak buruk pada lingkungan. Bahan-bahan yang digunakan untuk memotori sebuah kendaraan, seperti bahan utamanya: litium, kobalt, dan nikel perlu melalui proses yang panjang. 

Penambangan litium dapat berdampak pada kondisi perairan yang ada di sekitarnya karena penambangan litium memerlukan jumlah air yang sangat banyak dalam proses penambangan. Perlu kucuran air sebanyak 500 ribu galon untuk setiap metrik ton litium yang ditambang dan ini akan berdampak pada keseimbangan ekosistem, serta ketersediaan air di wilayah sekitar tambang.

Kobalt pun memiliki isu sosial dalam aktivitas penambangannya. Suplai kobalt hingga kini didominasi oleh Republik Demokratik Kongo, sekitar 70 persen persediaan kobalt dunia berasal dari tangan-tangan penambang di Kongo. Penambangan di Kongo masih menjadi sorotan para aktivis kemanusiaan hingga kini karena mempekerjakan anak di bawah umur sebagai penambangnya. UNICEF memperkirakan ada sekitar 40 ribu anak kecil yang turun untuk menambang kobalt pada 2016. Harga yang besar untuk sebuah kendaraan bisa berjalan tanpa suara dan iming-iming energi yang lebih hijau. 

Luong juga menjelaskan dampak baterai yang telah menemui batas pakainya. Baterai kendaraan listrik berbahan dasar litium memiliki usia pakai selama 10 tahun jika digunakan dengan baik. Limbah baterai yang tidak terurus akan berdampak langsung terhadap kondisi air tanah jika limbah disimpan di atas atau di dalam permukaan tanah.

“…60 persen mobil listrik, kendaraan listrik, akan tergantung dari EV (Electric Vehicle) Battery kita. 60 persen dari pangsa pasar yang ada di dunia”

Begitulah kutipan pidato Presiden Joko Widodo pada 2 Desember lalu, dikutip dari Antara. Kepercayaan diri Indonesia akan revolusi kendaraan listrik semakin meningkat dengan ucapan presiden ini.

Namun, Presiden Joko Widodo harus pula memperhatikan aspek produksi baterai listrik yang harus dijalankan di Indonesia. Penerawangan dampak terhadap lingkungan perlu dilakukan agar energi hijau tidak perlahan berubah menjadi merah.

Indonesia harus memperhatikan dampak lanjutan yang dapat terjadi dalam pengelolaan produksi baterai untuk kendaraan listrik, serta dampak pasca penggunaan baterai yang tidak boleh diabaikan. “Kuburan” baterai listrik, seperti yang dijelaskan oleh Luong, sangat berbahaya terhadap lingkungan. Luong menawarkan solusi daur ulang baterai kendaraan listrik bekas pakai. Daur ulang inilah yang juga perlu dipersiapkan oleh pemerintah dalam rangka menyambut revolusi kendaraan listrik.

Listrik Indonesia masih dari batu bara

Tidak berhenti di situ. Pernahkah Anda bertanya dari mana listrik berasal? Perusahaan berlogo petir? Tentu PLN adalah pengelolanya, tetapi produksi listrik di Indonesia masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan pembakarannya. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM mengatakan, bauran batu bara mencapai 63,52 persen dari total bauran energi untuk pembangkit listrik nasional. Artinya, batu bara masih menjadi momongan Indonesia sebagai “marmut” yang memutar roda listrik negara, sedangkan penambangan dan proses pengolahan batu bara masih menjadi permasalahan lingkungan yang pelik di Indonesia.

Hal ini membuktikan baik proses pembuatan baterai untuk menyokong perjalanan kendaraan listrik maupun suplai listrik untuk mengisi daya kendaraan listrik masih memiliki permasalahan fundamental yang perlu diselesaikan terlebih dahulu untuk menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan alternatif yang optimal. Pemerintah Indonesia perlu meninjau kesiapan negara mengenai proses perolehan bahan tambang dan perolehan listrik agar kendaraan listrik sebagai kendaraan hijau tidak hanya menjadi tajuk yang terlalu manis untuk menjadi nyata.

Penulis: Achmad Adriezky Suryatama Senjaya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kata Siapa Mobil Listrik Ramah Lingkungan? Sembarangan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version