Membayangkan rasanya jadi orang tua itu menantang sekali. Wong saya yang sering mendengar cerita tetangga karena anaknya mereka anggap bandel saja ikut pusing. Ibarat kata jadi orang tua itu seperti bermain layang-layang. Diulur bisa jadi lepas dan hilang kendali, ditarik juga bisa jadi patah. Berat sih memang. Apalagi jaman sekarang ini, anak-anak sudah mulai bisa berpikir cukup kritis jika dibandingkan dengan jaman saya dulu. Jadi ya, sebagai orang tua memang sudah seharusnya memberi pendidikan dan nasihat yang sesuai dengan jamannya.
Ada banyak sekali nasihat dari orang tua yang kita terima sewaktu kecil. Nasihat yang kita terima kemungkinan akan kita wariskan kelak kepada anak cucu kita. Ada kalanya kita tambah dengan “Yen jare mbah-mbah biyen”. Khazanah budaya Jawa sangat beragam, salah satunya dapat kita lihat dari macam-macam ungkapan dan adagium dalam bahasa Jawa yang khas. Tak jarang banyak sekali ungkapan bahasa Jawa yang beraifat mistis dan kadang kala tidak bisa kita ukur secara empiris.
Dari kekhasan itulah orang-orang Jawa dapat lebih komunikatif dan kreatif dalam menyebarkan ajaran hidup, tata krama, dan budi pekerti bagi orang di sekelilingnya. Sangat banyak sekali ungkapan dalam bahasa Jawa, salah satunya wewaler. Wewaler berasal dari kata waler, yang telah mengalami pengulangan pada suku awal kata. Kata waler menurut Kamus Bausastra (Poerwadarminta dkk. 1939) berarti larangan. Pada umumnya, wewaler disampaikan oleh orang tua kepada anak-anak dan masyarakat umum. Wewaler menjadi salah satu sarana orang Jawa, khususnya kaum orang tua dalam proses edukasi kepada anak dalam menyampaikan nasihat dan ajaran hidup.
Saya ingat betul ketika orang tua saya memperingatkan saya yang sedang duduk di atas bantal. “Aja lungguh dhuwur bantal, mengko bisa wudunen.” (Jangan duduk di atas bantal dapat menyebabkan bisul). Kemudian ketika saya sedang makan tahu dengan sambel bawang di depan pintu karena ikut Simbah meme gabah, orang tua saya bilang, “Aja lungguh ngarep lawang, mengko ndhak dadi perawan tuwa.” (Jangan duduk di depan pintu, nanti jadi perawan tua). Waktu itu saya betul-betul tidak paham hubungan sebab akibat dalam nasihat atau wewaler yang orang tua saya sampaikan tersebut.
Ketika saya tanya apa hubungannya duduk di atas bantal dengan munculnya bisul, mereka hanya menjawab dengan ajian andalan, yaitu “Ya, pokoke ora ilok.” Ajian ora ilok masih terus bergelayut dalam pikiran saya. Karena saya rasa, ajian itu belum cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Sampai pada akhirnya, saya berusaha ngonceki maksud dari ungkapan-ungkapan orang tua saya tersebut.
Saya mencoba untuk memaknai ungkapan “Aja lungguh dhuwur bantal, mengko bisa wudunen”. Apabila dilihat menurut norma kesopanan, perilaku duduk di atas bantal memang kurang sesuai dan dianggap tidak sopan alias ora ilok tadi. Ya iya lah, bantal pada umumnya dipakai untuk alas kepala ketika tidur. Kok malah dibuat alas duduk, wis jan ora umum. Tapi, kenapa akibat yang ditimbulkan ketika duduk di atas bantal adalah muncul bisul alias wudun? Kok tidak yang lain? Kan tidak masuk akal, wong bantal itu isinya kapuk kok bisa menyebabkan bisul. Andaikan saja wewaler itu bunyinya, “Aja lungguh dhuwur bantal mengko tilise klebon klentheng” (jangan duduk di atas bantal, nanti anusnya bisa kemasukan isi kapuk), pasti saya langsung bisa menerima.
Tapi sayangnya, tidak ada alasan yang orang tua saya sampaikan atas akibat-akibat yang ditimbulkan ketika saya melakukan sesuatu hal yang dilarang itu. Kan ndak masok~ Tetapi menurut penjelasan praktis saya yang sok tahu ini, ketika kita duduk di atas bantal, bagian tubuh kita yang bersentuhan langsung dengan bantal adalah pantat. Itu sebabnya dalam wewaler tersebut, muncul bisul pada pantat ketika ada anak yang duduk di atas bantal akan terasa lebih ngena dan efektif untuk dipatuhi.
Nah melalui wewaler tersebut, orang tua hanya ingin memperingatkan bahwa yang dilakukan oleh si anak adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma kesopanan, yang kemudian ia sampaikan secara arif. Ungkapan itu juga tidak semata-mata mengancam anak dengan akibat-akibat menakutkan yang ditimbulkan ketika berbuat sesuatu yang tidak pas pada tempat dan situasinya. Orang tua jaman dulu juga tidak mungkin bermaksud nyumpahi dan berharap anaknya mendapat akibat-akibat buruk itu.
Atau jangan-jangan, akibat-akibat menakutkan itu memang dibuat karena saking dablegnya kita yang sering tidak nggugu dan patuh terhadap nasihat orang tua. Maka, dalam ungkapan wewaler tersebut cenderung menyertakan akibat dan efek yang tidak mengenakkan agar anak-anak merasa takut dan menghindari perbuatan yang kurang pas dan tak pantas itu. Itu cuma pemikiran saya saja sih. Tapi saya yakin, banyak orang-orang seperti saya ini yang dulu semasa kecilnya memang dableg dan tidak nggugu dengan perkataan orang tua. Kalau belum diancam akan mendapat akibat-akibat buruk yang bisa saja terjadi atau diambilkan pecut, ya belum kunjung manut.
Dari pemaknaan saya terhadap adagium ora ilok bertujuan bahwa orang Jawa khususnya orang tua, telah memupuk pengertian kepada generasinya agar selalu bertindak sopan dan sesuai etika yang berlaku dalam masyarakatnya. Mereka hendak menciptakan suasana yang seimbang dan harmonis kepada generasinya. Tapi yakinlah, orang tua dan mbah-mbah kita tidak maksud mengancam dan menakut-nakuti kita. Namun tak lain untuk kebaikan dan keseimbangan hidup anak cucunya.
Memang orang Jawa selalu menyampaikan ajaran dengan penuh misteri dan teka-teki. Sifat dan perilaku masyarakat Jawa dapat dilihat dari bahasa dan budaya mereka. Pendidikan budi pekerti melalui ungkapan-ungkapan khususnya wewaler tersebut telah turut membentuk pribadi anak agar selalu berlaku trap susila, sopan, beretika, empan papan, dan seimbang. Sudah selayaknya cara menasihati dengan arif layaknya mbah-mbah kita harus tetap kita lakukan dalam menebarkan benih kebaikan dan keserasian. Tidak hanya bagi orang Jawa, melainkan seluruh makhluk di bawana ini.
Ini menjadi tantangan kita di masa depan. Bagaimana memberi pendidikan dan nasihat kepada generasi selanjutnya yang nalar kritisnya semakin maju. Tentunya nasihat yang bisa mereka terima haruslah nasihat yang rasional. Sebagai penerus kaum orang tua, kita harus selalu menyesuaikan diri sesuai situasi dan kondisi dengan jaman. Harus nut ing jaman kalakone. Menembus ruang dan waktu.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Melihat Keistimewaan Anak ‘Kalung Usus’
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.