Jamu Semakin Modern, Apakah Penjual Jamu Keliling Akan Hilang?

Jamu Semakin Modern, Apakah Jamu Keliling Akan Punah?

Jamu Semakin Modern, Apakah Jamu Keliling Akan Punah? (Oki Sobara via Wikimedia Commons)

Saat kasus Covid-19 di Indonesia sedang tinggi-tingginya, konsumsi masyarakat akan jamu cukup meningkat. Entah itu ramuan kunyit asem, beras kencur, temulawak, maupun ramuan-ramuan lainnya laris manis di pasaran. Tak heran, jamu dipercaya bisa menjaga dan meningkatkan imunitas tubuh sehingga bisa menjadi obat dalam upaya antisipasi terkena virus.

Minuman tradisional khas Indonesia ini ternyata sudah ada sejak ratusan tahun silam. Hal ini tertulis dalam ukiran beberapa candi di Indonesia, salah satunya Candi Borobudur. Jamu bahkan juga sudah ada sejak zaman Majapahit sebagaimana tertulis dalam prasasti Madhawapura.

Awalnya, jamu hanya diperuntukkan bagi kalangan kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu, minuman tradisional ini mulai dinikmati masyarakat umum. Hingga kini, jamu cukup diminati berbagai macam kalangan, mulai dari anak sekolahan, ibu rumah tangga, para pekerja, hingga lansia.

Manfaat meminum jamu

Dalam bahasa Jawa kuno, jamu berasal dari kata jampi usodo yang berarti penyembuhan dengan menggunakan ramuan obat atau doa. Minuman tradisional yang terbuat dari tanaman herbal ini tentu memiliki banyak manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh.

Misalnya ramuan temulawak yang dipercaya bisa melancarkan peredaran darah, sebagai antibakteri, antiradang, dan antioksidan. Atau ramuan beras kencur yang konon dapat meredakan nyeri badan, rasa mual, serta meningkatkan nafsu makan. Dan masih banyak ramuan herbal lainnya seperti jahe, kunyit, dll. yang nggak kalah manfaatnya bagi tubuh.

Semua ramuan itu bisa kita konsumsi sesuai kebutuhan. Tapi, kalau mau coba semuanya juga nggak masalah, sih.

Jamu Keliling vs Jamu Modern

Pada umumnya, penjual jamu tradisional yang menjajakan jualannya secara berkeliling akan membawa botol-botol berisi ramuan jamu dengan cara digendong dalam bakul. Akhir-akhir ini saya juga sering melihat penjual yang berkeliling menggunakan sepeda.

Biasanya para penjual ini mulai berjualan dari pagi hari dan selesai pada siang hari. Kalau dagangan mereka nggak habis, biasanya mereka akan memanaskan dagangannya untuk dijual pada hari berikutnya. Namun, nggak semua ramuan bisa diperlakukan seperti itu. Khusus untuk ramuan beras kencur, mau nggak mau penjual harus menjualnya sampai habis. Sebab, kalau terlalu lama berada di dalam botol akan membuat berasnya menggumpal.

Di sisi lain, sistem penjualan minuman tradisional ini juga mulai mengikuti perkembangan zaman. Saat ini sudah banyak jamu tradisional yang dikemas secara modern dan dijual di marketplace. Sebut saja bubuk ramuan jahe, kunyit, temulawak, dll. Bahkan jauh sebelum itu, ramuan herbal ini sudah ada dalam bentuk kemasan saset seperti Tolak Angin misalnya.

Dulu, ketika asam lambung saya sering kambuh, saya pernah membeli ramuan kunyit bubuk di marketplace. Meskipun membeli jamu bubuk itu terasa lebih simpel, saya cukup menyesal karena rasanya nggak seasli yang biasa dijual penjual keliling. Saya memang nggak pernah melihat langsung proses pembuatan minuman tradisional ini, tapi biasanya para penjual keliling punya resep yang konsisten dan keaslian ramuan. Eits, bukan berarti jamu kemasan buruk, tapi kita perlu lebih cermat apakah ramuan tersebut sudah teregistrasi BPOM dan aman dikonsumsi atau belum.

Akankah penjual jamu keliling hilang?

Beberapa hari yang lalu, saya membeli jamu pada penjual yang biasa berkeliling di dekat rumah saya. Saat itu saya dan penjual keliling sempat mengobrol. Dia bercerita kalau penjual jamu keliling sepertinya bukan tak mungkin lama-lama akan punah.

Saya yang mendengar kata-kata blio kaget sekaligus bingung. Sebenarnya nggak heran kalau blio bisa berkata demikian lantaran sekarang sudah banyak kita jumpai jamu dalam kemasan yang beredar di pasaran. Mungkin blio merasa peminat minuman tradisional ini bakal banyak yang beralih pada kemasan yang lebih modern karena lebih mudah didapat dan simpel. Apalagi penjualan jamu keliling makin sepi.

Akan tetapi, saya justru punya pendapat lain. Menurut saya, sebanyak apa pun jamu yang menjejali pasaran, minuman tradisional yang diracik sendiri khusus oleh tangan-tangan para penjualnya yang berkeliling itu tetap nggak akan tergantikan. Apalagi kalau jamu kemasan di pasaran yang beredar belum mengantongi izin BPOM. Saya yakin banyak orang yang akan tetap setia membeli dari penjual keliling.

Sebenarnya terserah aja sih mau pilih yang dijual dalam bentuk kemasan atau dijual keliling. Namun, kalau hendak membeli yang kemasan, pastikan kalau jamu yang kalian beli sudah mengantongi izin BPOM. Jangan lupa cek komposisinya dengan teliti. Tapi bukan berarti kalian bisa sembarangan membeli jamu keliling, lho. Perhatikan juga kebersihan penjualnya.

Kalau masih bingung juga mau beli yang versi kemasan atau dari penjual keliling, gimana kalau godhog sendiri aja? Dijamin lebih ajiiibbb…

Penulis: Muhammad Riyadi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Bikin Jamu Tradisional Sendiri Itu Ribet.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version