Konon, pengantin baru nggak boleh lewat jalur Gunung Lio karena bisa berakhir petaka.
Setaun lalu, saya melaksanakan kegiatan KKN di salah satu desa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Desa tersebut adalah Desa Blandongan yang menjadi salah satu desa di sisi tenggara Kabupaten Brebes. Kini, saya dan teman-teman sudah menginjak semester tua yang harus dipusingkan dengan tugas akhir. Di tengah kesibukan masing-masing, terkadang kami menyempatkan waktu untuk saling bertemu dan mendukung satu sama lain.
Banyak hal yang saya dan teman-teman bicarakan saat bertemu. Mulai dari sambat skripsi yang nggak kelar-kelar, nostalgia masa-masa KKN, hingga sekadar tertawa bersama. Di sela-sela perbincangan, teman saya nyeletuk bahwa dia sangat kangen dengan masa-masa KKN, terutama dengan pemandangan yang indah dan jalur yang ekstrem.
Adapun jalan untuk menjangkau Desa Blandongan, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes ada dua. Jalur yang pertama dengan melewati Ketanggungan-Banjarharjo via Songgom. Inilah jalan yang saya lalui bersama teman-teman menggunakan mobil sewaan untuk silaturahmi setelah lebaran kemarin. Yang kurang saya sukai dari jalur ini adalah terlalu jauh dan memutar.
Jika ingin sampai lebih cepat, kami harus menempuh jalan kedua, yakni jalur Kecamatan Salem-Kecamatan Banjarharjo via Gunung Lio. Sayangnya jalan ini nggak direkomendasikan bagi kalian yang punya nyali setipis tisu. Kali ini saya akan membahas betapa ngerinya jalur ini.
Daftar Isi
Jangan lewat Gunung Lio kalau keberanianmu setipis tisu
Sebagai gambaran, jalanan di Gunung Lio penuh dengan kelokan, tanjakan, serta jalan curam yang dimulai dari Desa Sindangheula di Kecamatan Banjarharjo hingga Desa Pabuaran di Kecamatan Salem. Sepanjang jalan area ini didominasi oleh hutan yang ditanami pohon tinggi, ilalang yang lebat, dan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lainnya.
Saat pertama kali survei ke lokasi KKN, saya menggunakan jalur yang pertama, yaitu via Songgom. Sebelum pulang ke Purwokerto setelah survei, kami direkomendasikan melewati Gunung Lio oleh Pak Lurah supaya nggak kemalaman sampai di Purwokerto. Namun, sedari awal kami dinasehati agar berhati-hati jika melalui jalur tersebut. Pasalnya, di sana sering terjadi kecelakaan. Beberapa kendaraan yang nggak kuat menanjak bahkan masuk ke dalam jurang saat lewat sini.
Berdasarkan penuturan Pak Lurah, rata-rata pengendara yang masuk jurang adalah mereka yang mengendarai motor matic. Alasannya karena kaliper rem yang macet akibat suhu panas pada piston setelah melalui puluhan jalanan berkelok dan menukik tajam khas Gunung Lio.
Sialnya, kami berdelapan berboncengan menggunakan motor matic. Modyar! Setelah mengumpulkan keberanian dan memanjatkan doa, kami nekat melalui jalur Gunung Lio.
Longsor, jalan ambles, dan suasana horor
Lantaran dikelilingi oleh tebing, tak jarang ada beberapa ruas jalan yang terkena longsor. Ada juga jalan yang terhalang oleh ranting-ranting dari pohon yang tumbang. Saya dan teman-teman juga sempat menemui sisi jalan yang ambles cukup dalam sehingga kami harus waspada.
Sebenarnya saya sempat merasa ketakutan saat melintas Gunung Lio yang sepi karena tak kunjung menemukan permukiman warga. Dari awal masuk Gunung Lio di Desa Sindangheula hingga tiba di Desa Pabuaran, saya dan teman-teman memerlukan waktu sekitar 15 menitan untuk membela hutan. Pokoknya suasana di sana persis seperti area hutan-hutan di opening film horor, Lur! Nggak kebayang kalau motor yang kami naiki sampai mogok.
Mitos larangan pengantin baru melewati Gunung Lio
Ada satu mitos yang cukup menyita perhatian saya, yakni larangan pengantin baru melintasi Gunung Lio. Mitos ini sudah beredar di kalangan masyarakat sekitar. Jika mereka (baca: pengantin baru) nekat melalui jalur Gunung Lio, bakal terjadi malapetaka.
Akan tetapi menurut saya, mitos ini bisa menjadi pelajaran buat siapa pun yang melewati jalur maut ini, bukan sekadar pengantin baru. Sebab, konsentrasi pengendara adalah kunci keberhasilan melewati jalur ini.
Jasa joki buat pengendara awam
Berdasarkan penuturan salah seorang teman saya, ternyata beberapa warga sekitar ada yang menawarkan jasa joki untuk mengendarai motor atau mobil melewati Gunung Lio. Biasanya hal ini diperuntukkan bagi pengendara yang nggak yakin saat melewati jalur ini.
Para pengendara yang awam dengan jalur Gunung Lio bisa percaya sepenuhnya sama warga sekitar Gunung Lio, soalnya saya menyaksikan sendiri ada beberapa mobil bak warga sekitar yang dengan mudahnya melalui jalur ini. Saya sampai heran, kok bisa ada sopir sehebat itu yang melalui jalan berkelok sembari merokok. Ajaib! Mungkin karena terbiasa juga lewat jalur ini setiap hari, ya.
Kalian mau mencoba jalanan Gunung Lio? Saya sarankan agar banyak-banyak berdoa dan cek kondisi kendaraan agar dalam kondisi prima. Hati-hati di jalan, ya!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Brebes Layak Disebut Lampung Versi Jawa Tengah.