Naik ojek online yang tidak kalah bingung ditambah macet dan polusi
Saya sebenarnya senang saja datang ke Jakarta. Dibilang benci sekali dengan suasana kota pun tidak, tapi juga tidak terlalu suka. Mungkin di Kediri selama puluhan tahun saya tidak terbiasa di hadapkan dengan situasi macet saling adu klakson, ditambah panas dan polusi yang menyerang begitu luar biasa. Juga suasana padat merayap saat rush hour rasanya juga sudah bikin lelah batin.
Jadi, hal-hal kayak gini jadi suka bikin overthinking. Nanti, dari sini ke sini naik apa ya. Jalanan macetnya jam berapa. Ongkos kalau naik ojol mahal nggak. Turunnya dari ojol harus ke mana. Ini juga membayang-bayangi saya sebelum berangkat ke Jakarta.
Karena sudah merasakan betapa riwehnya naik KRL, saat kedatangan ke dua saya ke Jakarta memilih naik ojol saja dari berangkat sampai pulang nanti. Di sini saya benar-benar sendirian, karena kawan saya sebelumnya ada di Tangerang sedangkan lokasi konser yang saya tuju akan ada di Gelora Bung Karno. Jadi, tidak masalah rasanya kalau harus bolak-balik naik ojek online.
Cuma ya itu, lagi-lagi titik jemput dan titik turun ada beragam pilihan. Saya jadi bingung sendiri harus pilih yang mana. Salah titik saja kita harus dibuat muter dulu untuk saling cari dengan abang ojolnya. Ternyata masih tidak semudah itu, karena saya kan belum tau benar perlintasan di Jakarta ini.
Potensi tersesat di Jakarta kalau tidak ada kawan
Membayangkan bagaimana nasib saya kalau tak ada seorang kawan pun di Jakarta atau mengerti tentang Jakarta rasanya sudah pasti membuat perjalanan saya sering tersesat dan linglung. Pertama kali ke Jakarta masih syukur ada teman yang mau mengarahkan di awal dan di sana pun masih ada teman juga yang bersedia menjemput dan mengarahkan lagi.
Keberangkatan ke Jakarta yang ke dua kali walaupun sendiri masih cukup aman. Saya enggan mengambil resiko untuk naik KRL atau MRT, jadi mending naik ojol saja. Walaupun agak ada drama harus banyak bertanya titik jemput dan turun ini arahnya harus ke mana.
Terakhir saya ke Jakarta waktu lalu, ini lebih ramai-ramai. Di sana juga bertemu kawan baru saya orang Jakarta asli. Jadi, mau jalan ke mana dia mengarahkan harus naik apa nanti turun di mana. Nah, saya tim ngang-ngong cuma bisa ikut saja. Sambil mempelajari lagi, jika lain hari mau datang ke Jakarta sendiri tidak perlu merepotkan banyak orang.
Jakarta katanya keras, dan itu benar. Meski saya tak merasakan keras dalam artian yang orang pahami, tapi tetap saja, jalanan Jakarta itu keras, terutama bagi orang kampung kayak saya.
Penulis: Arsyanisa Zelina
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jakarta Tak Segelap yang Ada di Pikiran Kalian, dan Jakarta Adalah Tempat Terbaik untuk Kuliah