Bagi Anda yang tinggal di Kediri ataupun pernah singgah di Kediri, pasti pernah mendengar ataupun melintasi Jalan Dhoho, jalan paling terkenal di Kediri. Nama jalan ini berasal dari kata “Daha” atau “Dahanapura” yang memiliki arti Kota Api. Dulunya, Jalan Dhoho merupakan ibukota dan pusat pemerintahan dari Kerajaan Kediri.
Terlepas dari sejarah panjangnya, Jalan Dhoho kini hanya sekadar menjadi pusat perekonomian saja. Padahal jika diromantisasi dan dikelola dengan baik sebagai ikon wisata, Jalan Dhoho akan menjadi tempat yang romantis, estetik, dan bahkan bisa menjadi pusat peradaban kebudayaan yang akan menarik banyak orang datang berkunjung. Saya yakin, Jalan Malioboro pun pasti akan ketar-ketir tersaingi jika jalan ini bertransformasi.
Klaim saya bahwa Jalan Dhoho layak menjadi ikon wisata dan kebudayaan bukan tanpa sebab. Dan inilah alasannya.
Daftar Isi
Arsitektur bangunan kuno yang menampilkan kesan vintage
Pintu masuk Jalan Dhoho sebelah utara diawali dengan bangunan Perpustakaan kota, Balai Kota Kediri, dan Bank Indonesia. Gaya arsitektur tiga bangunan tersebut berciri khas bangunan kantor Belanda yang menampilkan kesan vintage. Selepas tiga bangunan tersebut akan disambung dengan deretan toko-toko yang mayoritas dimiliki oleh keturunan China. Arsitektur bangunan tokonya menunjukkan ciri khas toko zaman dahulu. Hal ini menambah kesan kuno Jalan Dhoho dan sangat cocok untuk foto-foto gaya vintage dan industrial.
Jalan Dhoho jadi pusat kuliner dan oleh-oleh
Jalan Dhoho sangat bisa dibilang sebagai surga kuliner, dan bisa Anda temui selama 24 jam. Saat pagi hari, di depan deretan toko berjajar pula deretan penjual jajanan pasar seperti cenil dan gethuk serta penjual makanan untuk sarapan yang berjualan di atas mobil dan motor. Saat matahari mulai meninggi, penjual makanan di depan toko ini mulai berkurang dan akan ramai kembali saat matahari mulai menghilang.
Selepas matahari menghilang, para penjual nasi pecel dan nasi goreng akan mulai menggelar dagangannya. Salah satu penjual nasi pecel yang terkenal dan ramai pegunjung adalah Pecel Pudakit, lokasinya ada di pojok tikungan masuk Stasiun Kediri, para penjual ini akan menjajakan dagangannya hingga pagi tiba. Di jalan ini juga berdiri salah satu warung soto legendaris Kediri yang jadi primadona para pemburu kuliner, namanya Soto Pojok.
Jika kalian hanya ingin nongkrong sambil ngopi juga tersedia angkringan dan beberapa kedai kopi yang berjajar di sepanjang jalan ini.
Jalan Dhoho juga dekat dengan pusat oleh-oleh khas Kediri yang menyediakan makanan khas kediri yakni tahu kuning dan gethuk pisang. Untuk lokasi pusat oleh-oleh, ada di sepanjang jalan gang sebelah barat Jalan Dhoho.
Baca halaman selanjutnya: Jalan Dhoho merupakan pusat sejarah…
Jalan Dhoho merupakan pusat sejarah
Karena dulunya sebagai pusat peradaban dan pemerintahan kerajaan Kediri, Jalan Dhoho meninggalkan sisa sejarah besar kerajaan. Namun, bekas kerajaan itu tidak terawat dan kini hanya tersisa sedikit puing bekas bangunan kerajaan, letaknya ada di belakang kompleks pemakaman Syekh Wasil.
Jalan Dhoho juga lekat dengan sejarah literasi. Pada abad 18, di jalan ini berdiri penerbitan besar, namanya Boekhandel Tan Khoe Swie. Bahkan disinyalir sebagai cikal bakal penerbitan di Indonesia. Buku karya pujangga kenamaan Ronggowarsito dan Padmosusastro pernah di terbitkan oleh penerbitan ini.
Sekarang, tempat penerbitan Tan Khoe Swie beralih fungsi menjadi Toko Surabaya yang menjual aneka snack. Tapi, katanya masih ada sisa buku dan alat penerbitan di sana yang dapat kita akses.
Menyediakan wisata religi
Jalan Dhoho juga kental dengan nuansa religi. Sematan ini muncul karena di salah satu gang jalan ini terdapat makam ulama penyebar agama Islam di Jawa bernama Syekh Wasil Syamsudin. Ulama yang akrab dipanggil Mbah Wasil ini, berdakwah sekitar abad ke-10 dan disinyalir pernah menjadi guru spiritual Raja Jayabaya. Di dekat Makam berdiri Masjid Setono Gedhong yang dulu menjadi tempat berdakwah Mbah Wasil. Sekarang, Makam Mbah Wasil menjadi salah satu tujuan wisata religi yang ramai dikunjungi.
Jalan Dhoho menjadi episentrum kebudayaan
Adi Nugroho dalam tulisannya di Jawa Pos Radar Kediri yang mengulas soal Jalan Dhoho mengatakan bahwa sekitar tahun 2000-an, setiap malam Minggu selalu ramai dengan para seniman. Mulai dari anak-anak teater yang berteriak membacakan puisi, tetabuhan musik bambu dan nyanyian campur sari yang dapat dinikmati di jalanan sekitar stasiun, hingga para pejalan kaki yang berhenti untuk meminta wajahnya dilukis oleh para pelukis jalanan.
Namun, yang tersisa saat ini hanya pengamen yang membawa tabuan musik bambu saja. Padahal jika semua hal itu dihidupkan kembali, jalan ini pasti akan semakin menarik sebagai pusat kebudayaan, layaknya Malioboro.
Dekat dengan akses transportasi umum dan ramah pejalan kaki
Jika kalian dari luar kota dan ingin berkunjung, tidak usah bingung soal transportasi. Jalan Dhoho dekat dengan stasiun kereta dan pemberhentian bus antar kota. Tetapi, saran saya lebih enak jika kalian naik kereta api. Karena lokasi Stasiun Kediri berada pas di tengah-tengah Jalan Dhoho.
Selepas turun dari kereta kalian sudah tak perlu bingung cari ojek ataupun sewa motor. Jalan ini lebih syahdu dinikmati dengan jalan kaki. Apalagi saat waktu menjelang magrib dan malam hari, suasana jalan ini seakan-akan jadi berbeda. Jika kalian merasa capek berjalan kaki, di beberapa titik jalan ada beberapa pengemudi becak yang siap mengantarkan kalian untuk berjalan-jalan.
Alasan-alasan di atas sudah menunjukkan kalau Jalan Dhoho bisa dengan pede menyaingi Malioboro, bahkan mungkin melampaui. Tinggal poles, tunggu sukses. Be afraid Malioboro, be very afraid.
Sumber gambar: Raditya Wiratama via Pinterest
Penulis: Bima Prakosa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Tips Kuliah Lancar untuk Maba Jurusan Hubungan Internasional