Topik mengenai Daendels yang mengemuka di kalangan netizen belakangan ini mengarahkan saya pada hal lain. Soal kiprah Daendels dengan pemberian upah bagi pekerja pembangun jalan Bogor-Cirebon sebelumnya pernah saya bahas di Mojok. Soal mengapa netizen masih ingat dengan sosok penjajah yang pernah didengar di pelajaran sejarah juga mudah disimpulkan. Nama Daendels sudah diajarkan di jenjang SMP dalam lingkup kecil, sebelum dibahas lagi di jenjang SMA dengan cakupan agak luas. Publik tentunya lebih gampang mengingat tokoh kolonial dengan kebijakan keji atau kontroversial. Oleh karena itu, nama seperti Daendels atau Raffles relatif masih membekas di kepala meskipun cuma sekilas. Pokoknya yang serba gampang dikenang itu yang mudah diidentifikasi. Seperti halnya mantanmu, Mylov.
Di luar materi kerja rodi yang rutin diajarkan di pelajaran Sejarah kelas dua SMA, sadarkah kalau kita sering keliru menyebut nama Daendels dalam lingkup keseharian? Selain mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan dan ilmu sejarah, barangkali masyarakat Purworejo adalah orang yang kerap menyebut nama Daendels. Mengapa saya sebut demikian karena banyak teman saya yang asli Purworejo selalu menyebut nama Jalan Daendels sebagai rute andalan setiap bepergian. Jadi maafkan jika dalam judul di atas saya tidak menulisnya sebagai Daendels versi orang Kulon Progo, Kebumen, atau daerah lainnya yaaa. Kawan-kawan saya beranggapan kalau jalan raya yang disebut sebagai Jalan Daendels itu ya jalan besar melintasi Purworejo dari timur ke barat. Tidak sedikit orang yang menyimpulkan kalau Daendels yang sedang viral itu juga mengembangkan cabang jalan pos melewati Purworejo. Istilahnya semacam proyek Anyer-Panarukan jilid dua. Anggapan ini menjadi wawasan lisan turun temurun yang sebenarnya perlu diluruskan.
Patut digarisbawahi kalau Daendels-nya orang Purworejo dengan Daendels-nya Anyer-Panarukan adalah dua orang yang berbeda. Jangan coba-coba menyamakan daripada berujung pada salah kaprah. Tiga hal berikut barangkali dapat sedikit menjelaskannya.
Riwayat dua Daendels
Daendels yang namanya akrab di kuping kita adalah Herman Willem Daendels. Dia dikenal sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memimpin dalam kurun waktu 1808-1811. Daendels yang kita kenal ini mewakili kepentingan Perancis meski ada embel-embel Belanda dalam dirinya. Gambarannya adalah di era tersebut Perancis menguasai Belanda dan Hindia Belanda alias Indonesia selaku jajahannya pula. Napoleon Bonaparte duduk sebagai penguasa Perancis, saudaranya yang bernama Louis Napoleon berdinas di Belanda, serta Daendels yang dipercayai untuk mengurus Hindia Belanda. Sebagai sosok yang jadi bos di negeri kita tercinta ini, blio berhak melakukan aneka rupa kebijakan guna melanggengkan hegemoni Perancis, mempertahankan wilayah dari ancaman Inggris, dan melakukan pembangunan yang diperlukan. Dari sini muncul proyek pembangunan jalan Anyer-Panarukan.
Berbeda dengan Daendels versi orang Purworejo, nama ini tidak disebutkan di buku sejarah anak sekolah. Sejauh yang saya amati sih nggak ada yang menuliskan namanya sedikit pun. Yang dimaksud adalah Augustus Derk Daendels. Ia adalah asisten residen di Ambal yang menjabat per 1838. Ambal merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah naungan Karesidenan Bagelen. Jalan yang disebut sebagai Jalan Daendels sejatinya tidak hanya melintasi Purworejo saja karena jika dicermati lebih lanjut jalan yang ia bangun membentang dari Karang Bolong (Kebumen) hingga Brosot (Kulon Progo). Pembangunan jalan ini memiliki dua makna. Pertama untuk sarana transportasi, ekonomi, dan memperlancar mobilitas pertahanan-keamanan. Kedua, alasan politis karena di era sebelumnya ruas jalan tersebut dikenal warga sebagai jalan Diponegoro. Daendels yang satu ini ingin menghapus nama Diponegoro dari ingatan kolektif masyarakat. Ia juga ingin namanya sendiri yang dikenang abadi melalui nama jalan utama. Dalam menggerakkan Perang Jawa, Diponegoro memang melintasi jalan ini sebagai salah satu rute gerilyanya. Data detailnya dapat disimak di buku Kuasa Ramalan (tiga jilid) karya Peter Carey atau Strategi Menjinakkan Diponegoro karya Saleh As’ad Djamhari.
Dua rute jalan yang berbeda
Jalan Anyer-Panarukan yang legendaris adalah rute yang sebagian besarnya kini dikenal dengan nama jalur pantura. Jelas bahwa jalan yang dulunya menjadi jalur utama mudik Lebaran sebelum banyak tol dibangun ini merupakan warisannya Herman Willem Daendels. Jalur pantura membantu sendi-sendi transportasi masyarakat dalam aspek sosial, politik, hingga niaga. Jalur yang ramai ini menjadi andalan masyarakat selama bertahun-tahun. Ulasan apik soal ini dapat dibaca di buku Dua Abad Jalan Raya Pantura karya Endah Sri Hartatik. Jadi, kalau kamu lewat jalur pantura nggak ada salahnya kalau sesekali teringat Daendels. Itu lebih bernuansa akademis ketimbang teringat utangmu pada temanmu yang kalau belum ditagih ya belum akan dikembalikan.
Berbeda dengan Jalan Daendels-nya orang Purworejo, jalan ini melintasi jalur selatan. Istilah jalur selatan ini lazim terdengar di kuping kaum pemudik, penglaju, dan anak muda penghobi touring. Meski dari segi panjangnya jauh berbeda dengan jalur pantura, pembangunan jalur ini juga disertai pertimbangan aspek ekonomi. Jalur pantura dan jalur selatan sama-sama terletak tidak jauh dari wilayah pantai. Tanpa ditulis di sini pasti sudah tahu kan jalur mana yang banyak memiliki pantai yang indah untuk wisata?
Ruang pembahasan yang tidak sama
Menemukan ulasan soal Herman Willem Daendels terbilang mudah. Di buku sejarah anak sekolahan, nama dan kiprahnya pasti tertera. Mencarinya di Google pun gampang banget. Aneka informasi soal Raden Mas Galak ini dapat kita baca sepuasnya. Lain halnya jika berbicara tentang Augustus Derk Daendels. Sepengetahuan saya sih namanya tidak tercantum sama sekali di buku sejarah dari SMP hingga SMA. Mencari di dunia maya pun tidak banyak situs yang menjelaskan sosoknya dengan detail. Untuk urusan pengabadian dalam wujud tiga dimensi juga berbeda. Rupa Herman Willem Daendels diabadikan dalam bentuk patung di Cadas Pangeran (Sumedang) yang sedang bersalaman dengan Pangeran Kornel alias Pangeran Kusumadinata IX, yang tangan satunya memegang gagang keris dengan mode siaga. Di sisi lain, perihal label yang melekat pada jalan, jalur selatan lebih unggul ketimbang jalur pantura. Hal ini karena penyebutan Jalan Daendels lebih familiar bagi orang yang tinggal di jalur selatan atau warga yang melintasi rute tersebut. Aplikasi Google Maps juga senada dengan hal ini. Ketik saja “Jalan Daendels” maka yang muncul adalah jalur selatan.
Ada alasan mengapa Augustus Derk Daendels dikenal memiliki sikap yang sama arogan dan kejamnya dengan Herman Willem Daendels. Ada penjelasan mengapa keduanya sama-sama giat dalam “politik jalan” di rezimnya. Ya wajar saja lha wong relasi mereka adalah bapak dan anak. Augustus Derk Daendels adalah putra Herman Willem Daendels dengan Alida Elisabeth Reiniera van Vlierden. Meski demikian jangan berpikir kalau ini semacam politik dinasti lho. Yo jelas beda. Daendels senior telah meninggalkan Hindia Belanda per 1811, sedangkan Daendels junior menjabat sebagai asisten residen di Ambal per 1838, jauh setelah Daendels senior wafat. Bapaknya berdinas di sini di bawah komando Napoleon Bonaparte, sementara anaknya bertugas di sini di bawah naungan Belanda yang kala itu dipimpin Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens. Dunia yang telah berubah drastis sebab jauh sebelum tahun tersebut Napoleon telah tewas dalam pengasingan di Pulau Saint Helena pasca kekalahannya di Waterloo.
Gimana, masih menganggap Daendels-nya jalur selatan dan Pantura sebagai satu orang yang sama, Bro?
Sumber gambar: Akun Twitter @bajrul.
BACA JUGA Betapa Gobloknya Orang-orang yang Memuji dan Minta Maaf ke Daendels dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.