Begitu selesai wisuda, saya diterima sebagai guru honorer di salah satu SMPIT paling favorit di Riau. Sekolah ini terkenal elit, langganannya anak pejabat dan pebisnis. Tidak heran jika keluarga besar turut berbahagia karena hal itu. Apalagi, tingkat kesulitan menjadi salah satu bagian dari sekolah tersebut sudah tersebar di mana-mana. Harus siap interview, micro teaching, hingga tes keagamaan.
Sebagai lulusan sarjana agama, saya bisa melewati serangkaian tes yang diberikan. Walau hanya berbekal pengalaman mengajar TPA waktu kuliah. Begitu diterima, saya menaruh banyak harapan. Bisa mengajar agama sesuai keilmuan, mendapatkan lingkungan kerja yang Islami, dan hidup secara layak. Sayangnya, satu pun dari harapan itu tidak terwujud.
Gaji paling sedikit, tapi jadi guru paling sibuk satu sekolah
Sebagai guru honorer satu-satunya, saya bergaji satu juta sebulan. Saat interview, kepala sekolah sudah menjelaskan job desc-nya secara gamblang. Saya hanya perlu ke sekolah sesuai jam operasional layaknya guru dan pegawai lain. Kemudian, duduk di bangku piket saat pagi hari, mencatat anak-anak yang terlambat, kembali duduk di bangku piket, mengajar ekstrakurikuler sesuai jadwal, mengikuti kegiatan yang dilakukan sekolah dan menggantikan guru yang tidak bisa hadir.
Awalnya saya pikir jadi guru pengganti itu ringan. Cukup masuk kelas, kasih tugas, atau mengajar seadanya. Tapi, justru inilah beban paling berat. Banyak guru senior yang kerap “titip absen” dengan alasan tidak jelas, termasuk dua guru agama yang sudah lama mengajar.
Sejak minggu kedua, saya sudah kebanjiran kelas pengganti. Dari kelas 7 sampai 9, dari putra sampai putri, dari PAI sampai matematika dan biologi. Jadwal saya nyaris penuh setiap hari, melebihi guru senior yang gajinya enam hingga tujuh kali lipat. Meski hanya memberi tugas atau mengajar tipis-tipis, energi terkuras habis. Apalagi harus menghadapi siswa-siswa yang sering bikin kelas gaduh.
Kesibukan itu tak berhenti di hari kerja. Sabtu dan Minggu pun kerap tersita untuk kegiatan sekolah. Rasanya benar-benar seperti pegawai serabutan.
Gaji paling kecil, tapi dibayar paling akhir dan harus ditagih
Selain memiliki kesibukan yang luar biasa meski hanya guru honorer, di balik gaji saya yang kecil, saya juga harus menerima kenyataan pahit lain. Yakni, gaji tersebut dibayarkan paling akhir, dan harus ditagih.
Berdasarkan informasi dari salah satu teman saya, gajian di sekolah akan dibayarkan secara cash. Gaji tersebut dibagikan tiap tanggal 1. Jika tanggal 1 jatuh pada Sabtu atau Ahad, maka akan dibayarkan di Senin berikutnya. Tiap kali gajian, guru-guru akan dipanggil oleh pihak keuangan ke ruangan khusus. Ruangan tersebut adalah ruangan kepala sekolah, TU, sekaligus bendahara sekolah.
Biasanya, TU akan mengirim pesan ke guru satu per satu. Isinya semacam panggilan untuk segera ke TU. Sayangnya, saya tidak pernah merasakan hal tersebut. Tentu, ini menyakitkan. Apabila sudah tanggal 3 dan tidak ada kabar, salah satu teman menyarankan untuk ke TU dan menanyakannya. Dengan enggan dan merasa tidak enak hati, saya ikuti saran tersebut.
Sebab keuangan belum stabil, dan kehidupan bergantung pada gaji satu-satunya. Selama tujuh bulan, saya bertahan. Meminta hak saya yang seharusnya tidak perlu ditagih. Idealnya, sekolah harus memberikan hak pegawai sesuai aturan. Apalagi sekolah dengan embel-embel agama.
Bayar sebelum keringatnya kering
Dalam hal ini, gaji (harusnya) tidak dibayar terlambat dan tanpa harus ditagih. Di dalam Islam, jelas bahwa membayar karyawan harus disegerakan begitu pekerjaan sudah selesai. Dan menunda pembayaran upah atau pemberian gaji termasuk hal yang dzhalim.
Pengalaman pahit ini akhirnya menjadi pelajaran berharga bagi saya. Bahwa tidak semua sekolah dengan label Islami mampu benar-benar menjalankan nilai-nilai yang mereka bawa. Saya belajar, betapa pentingnya menjaga hak dan kewajiban secara adil, karena sejatinya kesejahteraan guru bukan hanya soal gaji, tetapi juga penghargaan terhadap dedikasi mereka.
Penulis: Anita Aprilia
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Saatnya Pemilik Lembaga Pendidikan Swasta Meminta Maaf pada Guru karena Menggaji Mereka Tidak Layak!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
