Ironi Overtourism Jogja: Banyaknya Wisatawan ke Jogja Justru Jadi Hal yang Buruk untuk Pariwisata Jogja

Malioboro Jogja, Jalan Kerajaan yang Kini Jadi Jalan Milik Siapa Saja Mojok.co overtourism

Malioboro Jogja, Jalan Kerajaan yang Kini Jadi Jalan Milik Siapa Saja (unsplash.com)

Tidak bisa dimungkiri lagi, Jogja sudah mengalami overtourism. Langkah paling masuk akal, tentu saja, berbenah. Pertanyaannya, mau apa nggak?

Baru-baru ini di Jogja banyak sekali tempat wisata yang baru dibuka, baik yang baru maupun yang sudah lama. Di Jogja sendiri terdapat wisata budaya, wisata kuliner, wisata alam, wisata edukasi, dan wisata lainnya. Namun menurut Katadata, Jogja menurun pada lebaran tahun lalu, dibandingkan dengan Solo. Solo justru meningkat pada lebaran tahun lalu.

Apa yang terjadi dengan Jogja?

Fenomena ramai pengunjung (overtourism) ini sangat relevan dengan Jogja. Bagaimana tidak, siapa yang tidak tahu Kopi Klotok yang viral itu? Atau siapa yang tidak tahu Malioboro?

Saat pekan lalu saya berkunjung ke Kopi Klotok untuk mengantar saudara, saya menemui keramaian di luar nalar, padahal itu masih pagi. Saudara saya sangat ingin sekali ke Kopi Klotok. Kami tiba di sana pukul 06.30, saya pikir belum buka. Namun, Kopi Klotok sudah buka dengan antrean yang panjang. Apakah antrean yang panjang tersebut membuat turis senang? Antreannya saja nunggu 3 jam, tapi makan cuma butuh 5 menit.

Apakah semua turis merasa senang jika mengalami hal tersebut? Jawabannya—tentu saja—tidak semua.

Bahkan untuk melakukan perjalanan di Kopi Klotok saja, jalannya macet, itu belum tiba di Kopi Klotoknya. Tidak hanya di Kopi Klotok, hampir semua tempat wisata mengalami hal serupa.

Jogja sudah overtourism

Beberapa penelitian di Jogja menyatakan bahwa Jogja sudah mengalami “overtourism”. Jika turis ini membludak, turis bukannya merasa senang, bahkan dia tidak mau mengunjungi dan merekomendasikan destinasi tersebut.

Memang, Jogja kerap jadi jujugan karena banyak kampanye menyenangkan tentang Jogja. Seperti, lebih murah dari Bali, suasana yang tak kalah menyenangkan, serta hal-hal lain yang sekiranya bikin Kota Istimewa patut untuk disandingkan, bahkan melebihi kota wisata yang lain.

Nyatanya, tidak semua biaya di Jogja itu murah. Pernahkah kalian ditarik parkir Rp 20.000/mobil? Atau Rp 50.000/mobil? Perjalanannya sudah macet, bayar parkirnya mahal banget. Mana yang dibilang murah? Apakah karena biaya masuk ke destinasi tersebut yang terhitung murah?

Tahun yang lalu saya melakukan penelitian mengenai pengaruh pengalaman yang berkesan pada niat berkunjung kembali dan niat merekomendasikan pada destinasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan responden sebanyak 300 responden. Hasil penelitian ini sangat menarik. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa pengalaman wisata yang berkesan tidak berpengaruh pada niat untuk merekomendasikan pada orang lain.

Baca halaman selanjutnya

Nggak mau balik Jogja lagi

Selain itu juga, walaupun adanya emosi atau perasaan positif seperti kegembiraan, kesenangan setelah berkunjung ke destinasi ini, dan walaupun ada pengaruh dari pengalaman wisata berkesan tidak membuat wisatawan berkunjung kembali ke destinasi wisata tersebut. Hasil penelitian ini disebarluaskan secara online bagi wisatawan yang berkunjung ke destinasi di DIY.

Mengacu pada hasil penelitian yang telah saya dapatkan, fenomena “overtourism” ini yang tepat untuk membingkai dari adanya kesenjangan dalam penelitian ini. Artinya tidak semua destinasi yang penuh dengan wisatawan itu akan menghasilkan niat untuk merekomendasikan maupun berkunjung kembali. Justru jika destinasi tersebut penuh dengan wisatawan, dapat mengurangi keniatan wisatawan untuk pergi ke DIY.

“Mau ke Dieng, yang dingin-dingin saja.”

Dalam penelitian ini juga mengajak sebagian wisatawan untuk diwawancarai.

“Saya pergi ke Jogja itu tahun 2005, Mbak. Kemudian saya ke Jogja lagi bersama istri dan anak-anak saya ini di tahun 2023 ini, sangat jauh sekali Mbak perubahannya. Padahal sebelum berangkat saya sudah membayangkan akan pergi ke desa wisata Ledok Sambi yang viral itu. Tetapi setibanya di sana, dipenuhi dengan wisatawan. Rasanya jadi ingin balik saja tidur di Hotel, Mbak. Penuh banget, bikin males” jawab salah satu wisatawan.

Kemudian berkaitan dengan pertanyaan akan berkunjung kembali dan merekomendasikan, semua wisatawan yang saya wawancarai menjawab tidak.

“Tidak, Mbak. Saya mau ke Malang saja, atau ke Bandungan, Dieng, yang dingin-dingin saja, Mbak. Jogja penuh wisatawan, dan panas. Lantas untuk apa saya ke Jogja? Di tempat saya ada sayur lodeh juga Mbak, ha saya tiap hari makan itu e di kampung” mayoritas wisatawan menjawab.

Jogja mesti harus berbenah masalah overtourism ini. Menerima kenyataan atau tidak peduli jelas bukan pilihan. Data telah menunjukkan hasil bahwa lebaran tahun lalu lebih ramai Solo daripada Jogja.

Melihat itu semua, ada satu pertanyaan yang muncul: mengapa Jogja masih berada di zona nyaman dan tidak belajar dari destinasi lainnya? Mengapa masih bangga dengan kemacetan dan kepenuhan destinasi wisata tersebut?

Penulis: Helena Yovita Junijanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Turis Membunuh Jogja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version