Ironi Liburan di Teluk Hijau Banyuwangi, Disuguhi Pemandangan bak Raja Ampat dan Kehancuran Lingkungan Akibat Tambang

Ironi Liburan di Teluk Hijau Banyuwangi, Disuguhi Pemandangan bak Raja Ampat dan Kehancuran Lingkungan Akibat Tambang

Ironi Liburan di Teluk Hijau Banyuwangi, Disuguhi Pemandangan bak Raja Ampat dan Kehancuran Lingkungan Akibat Tambang

Teluk Hijau Banyuwangi memang Raja Ampat Jawa Timur. Tapi, mereka berbagi takdir yang sama: sama-sama diremuk oleh tambang

Saya pernah punya keinginan berwisata ke Raja Ampat, Papua, tapi sudah saya kubur karena banyak yang harus diprioritaskan, sekolah anak salah satunya. Tapi, kalau sampai pemerintah benar-benar bisa menghentikan penambangan nikel di sana, saya rela kerja lebih keras dan menabung lebih serius demi mengunjungi Raja Ampat. 

Karena berwisata ke Raja Ampat di Papua sangat tidak realistis di kantong, setidaknya kami sekeluarga masih bisa berwisata ke Banyuwangi, sebab di sana ada perairan yang mirip dengan Raja Ampat. Keindahan perairannya mirip banget dan nasibnya juga mirip dengan Raja Ampat di Papua, sama-sama dieksploitasi.

Ya, betul, saya sedang bicara tentang Teluk Hijau Banyuwangi.

Menyesal tak ke Pantai Merah sejak dulu

Meskipun tinggal di Jawa Timur, saya baru dua kali ke Banyuwangi. Pertama kali ke Banyuwangi di tahun 2019, saat itu keluarga kecil saya cuma menginap semalam. Mengingat jarak tempuh dan waktu berlibur kami terbatas, maka saat itu kami memutuskan cukup satu tujuan wisata yaitu snorkeling ke Pulau Menjangan. Kami hanya sebentar menikmati Kota Banyuwangi, tapi sudah berencana ingin kembali lagi suatu saat karena belum sempat ke Pantai Merah. 

Bulan Mei tahun 2025, akhirnya saya sekeluarga berhasil meluangkan waktu berwisata ke Banyuwangi, kali ini tujuan utamanya tentu Pantai Merah dan satu lagi ke Teluk Hijau yang disebut-sebut Raja Ampat Banyuwangi. 

Tapi, ibu saya menyarankan lebih baik tidak usah ke Pantai Merah, sebab gunung di sana sudah gundul gara-gara tambang emas. Padahal, dari beliau saya pernah mendapat cerita keindahan Pantai Merah. Sebagai warga salah satu kota di wilayah Tapal Kuda yang berdekatan dengan Banyuwangi, orang tua saya sudah tahu lama soal isu tambang emas di Pulau Merah. 

Kami juga sempat tanya-tanya soal Pantai Merah ke pemilik resto tempat kami makan malam. Ternyata benar, Pantai Merah sekarang sudah tidak menarik, ledakan dari tambang cukup sering. Saran pemilik resto lebih baik langsung saja ke Teluk Hijau, masih bagus dan bisa foto seperti di Raja Ampat. 

Kok iso yo? Kok tegel yo bikin tambang di tempat wisata indah kayak Teluk Hijau?

Sebagai wisatawan, saya heran, bagaimana bisa tambang emas berdiri di sebuah tempat wisata alam yang sudah dulu ada, tempat orang ingin menikmati pemandangan dan tempat warga lokal mencari nafkah. Bukannya wisata daerah juga jadi sumber pendapatan pemerintah daerah? Sepertinya tak ada gunanya saya heran, toh pemerintah tidak peduli juga dengan kebutuhan wisatawan seperti saya. 

Terbukti dari sebuah berita lama dari laman Tempo, ledakan atau aktivitas blasting di lokasi tambang emas Tumpang Pitu sampai membuat wisatawan Pulau Merah panik karena dikira gempa. Peristiwa tersebut terjadi pada Mei 2024.

Sebagai pelancong, wajar kalau saya nggak mau rugi waktu dan biaya. Daripada jauh-jauh dari Surabaya ke Pantai Merah dapat pemandangan yang tidak sesuai harapan, lebih baik langsung saja menuju Teluk Hijau meskipun agak jauh sedikit. Hanya saja saya menyesal, mengapa tidak dari dulu saya ke Pantai Merah, saat keindahan pasir merahnya masih bisa dinikmati dengan nyaman tanpa khawatir mendengar suara ledakan dari tambang emas.

Gunung Tumpang Pitu seharusnya berwarna hijau, seperti nama Teluk Hijau

Teluk Hijau Banyuwangi terletak tak jauh dari Pulau Merah. Jika dilihat dari peta masih satu garis pantai dengan pantai Pulau Merah. Di Teluk Hijau terdapat gugusan pulau-pulau kecil yang disebut Green Islands. Nah, lokasi inilah yang disebut-sebut mirip dengan Raja Ampat di Papua. 

Untuk menyeberang ke Green Island harus melalui Pantai Mustika, salah satu pantai di Teluk Hijau. Sesampainya di Pantai Mustika, suasana hati kami sekeluarga terasa tidak enak, kecewa karena pemandangannya tidak sesuai ekspektasi. Lokasi penambangan emas tetap terlihat dari Teluk Hijau, Gunung Tumpang Pitu yang letaknya di ujung teluk sudah mulai botak. Yah, akhirnya kami berusaha menikmati gulungan ombak yang datang dari arah Samudra Hindia, mengobati kekecewaan yang ada.

Anak saya yang sudah cukup kritis menunjukkan peta satelit lewat layar HP-nya, “Ternyata itu tambangnya, itu gunung lho!”, sambil menunjuk bukit yang sudah hampir gundul tepat di hadapan kami. Raut wajahnya marah, kemudian dengan naifnya anak remaja itu mengatakan, “Pemerintah ini bodoh banget, kenapa diizinkan?”

Ya tentu saja tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Siapa juga yang mau dan—mungkin—berani menjawab?

Di benak saya, Gunung Tumpang Pitu seharusnya lebih tinggi dan penuh pepohonan, sesekali terlihat burung terbang dari pepohonan menuju perairan. Hari itu, yang tersisa hanya bukit botak berwarna kuning suram. Ini pertama kalinya saya melihat langsung hasil kerukan tambang emas merusak keindahan alam. Ibu saya salah, tak hanya pemandangan di Pulau Merah yang jelek, pemandangan dari pantai di Teluk Hijau Banyuwangi juga sudah jelek.

Suasana hati kami sekeluarga memang muram, tapi kami tak mau didikte perasaan, rugi sudah jauh-jauh sampai sini. Akhirnya kami memutuskan menyeberang ke Green Island, sambil melupakan kegundahan hati.

Menunggu suara tembakan di Pulau Bedil

Di atas perahu yang melaju, saya bertanya-tanya sendiri dalam hati, apakah air tanah di desa penduduk tidak tercemar? Tambang sedekat itu dengan laut apa tak merusak ekosistem laut? Saya tak bisa menemukan jawaban karena bukan ahlinya. Saya hanya wisatawan lokal yang cuma bisa mengeksplorasi keindahan alam.

Tambang emas yang sedang saya ceritakan terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pendirian tambang ini pernah menuai protes warga setempat pada tahun 2015. Beritanya saya temukan di laman Antaranews Jatim

Selaras dengan berita tersebut, pemilik perahu yang saya tumpangi, sebut saja namanya Pak Bayu, menceritakan secuil kisah tentang tambang emas yang mengeruk gunung yang sekarang sudah jadi bukit di hadapan saya. Beliau bilang, sudah capek berjuang, dulu sampai ada perwakilan warga naik sepeda pancal ke pusat, tapi tidak ada hasilnya. Cerita Pak Bayu tadi bukan bualan, saya menemukan berita lama di laman Kompas yang bertajuk 13 Hari Gowes Sepeda ke Istana Bogor hingga Diamankan Polisi. 

Sambil mengisap rokok kreteknya, Pak Bayu bersemangat membawa kami sekeluarga menuju Pulau Bedil, salah satu pulau kecil yang menjadi bagian dari Green Islands Teluk Hijau Banyuwangi. Pulau Bedil menyerupai karang tajam yang besar, maka tidak bisa disinggahi, jadi kami tetap berada di perahu sambil bersabar menunggu ombak besar datang. “Dor”, bunyi suara ombak besar menghantam salah satu dinding pulau dan diikuti semburan air yang segar dilihat. Suara hantamannya yang mirip bedil rupanya dijadikan nama pulau. 

Keharmonisan keluarga yang hancur karena prahara Teluk Hijau

Saya senang akhirnya bisa merasakan sensasi naik perahu di laut Banyuwangi. Meskipun senang, saya agak jengkel karena setiap mau foto bersama keluarga di atas perahu, kami harus cari sudut yang pas supaya latar belakang tambang emas tumpang pitu tidak kelihatan. Pak Bayu menghentikan perahunya, mengarahkan pose kami supaya hasil kerukan tambang tak masuk ke dalam frame. Sepertinya Pak Bayu sudah lihai menyembunyikan kekhawatiran masa depannya.

Pak Bayu, pemilik sekaligus pengemudi perahu mengatakan tujuan selanjutnya ke sebuah pulau yang masih satu kesatuan dengan Pulau Bedil. Sesampainya di sana, perahu kami sudah disambut petugas lain yang sudah bersiap membantu perahu bersandar, sekaligus membantu kami turun dari perahu, cukup sulit karena perahu bersandar di karang yang terjal. Kami bisa berlama-lama di pulau tersebut, anak saya melompat dari karang tinggi dan berenang di air laut yang bersih. 

Green Island rupanya menjadi andalan warga sekitar untuk mencari penghidupan, pemda setempat memberikan keleluasaan bagi Paguyuban Kelompok Sadar Wisata untuk mengelolanya. Dari info yang saya dapatkan, ada dua operator wisata resmi yang bisa dipilih wisatawan. Salah satunya kami pakai jasanya untuk mengantar kami mengeksplorasi keindahan Green Island. Kedua operator tersebut mempekerjakan anak muda lokal sebagai guide dan perahu-perahu milik nelayan. 

Guide muda yang ikut perahu kami sangat lihai memotret dengan kamera handphone. Saya tak perlu meminta, justru guide tadi selalu menawarkan setiap melewati spot yang bagus untuk berfoto. Menurut pengakuan Pak Bayu, sebenarnya kalau diterima kerja di tambang, anak-anak muda pasti memilih kerja di tambang, gajinya jelas.

Pengkhianatan 

Pak Bayu lalu menyambung dengan kisahnya sendiri, tentang perseteruan yang terjadi di dalam keluarga besarnya gara-gara pendirian tambang, ternyata Pak Bayu tidak bertegur sapa selama bertahun-tahun dengan saudara kandungnya. Konflik keluarga berawal dari perbedaan pendapat, adik Pak Bayu mendukung pembangunan tambang emas dengan harapan anak-anaknya nanti tak perlu pergi jauh untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. 

Sebagai anak tertua, Pak Bayu merasa dikhianati adik kandungnya. Padahal keluarga besarnya sudah menjadi nelayan turun-temurun, tangkapannya sangat banyak sampai bisa dijual ke pabrik pengalengan. Pak Bayu juga menuturkan kalau konflik serupa juga dialami beberapa keluarga lain di desanya. 

Selama ini, isu dampak buruk tambang yang menggesek konflik horizontal cuma saya baca sambil lalu di berita. Tapi hari itu di atas perahu yang sedang melaju di Perairan Pancer saya turut merasakan kesedihan seorang kakak tertua sekaligus amarah nelayan gara-gara sekarung biji emas. Mungkin saja biji emas dari tambang tersebut sudah jadi produk emas batangan yang pernah saya beli dengan cicilan bersahabat di Pegadaian.

Di atas bukit Pulau Kemuning, dimanjakan keindahan lautan sekaligus diganggu kepulan asap tipis dari kejauhan

Akhirnya, perahu kami sampai di tujuan terakhir dari rangkaian berwisata di Teluk Hijau Banyuwangi. Berwisata ke Green Island tak lengkap tanpa berfoto di atas bukit Pulau Kemuning, dari atas bukit terlihat jelas gugusan pulau-pulau kecil di atas Perairan Pancer, sangat mirip dengan pemandangan Raja Ampat.

Dari atas bukit juga tampak dari jauh tambang emas di Gunung Tumpang Pitu sedang bekerja, sesekali ada asap tipis yang muncul dari balik bukit. Mengutip dari Detik, tambang emas di wilayah Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Banyuwangi  dikelola oleh PT Bumi Suksesindo. Tambang tersebut sudah dibangun sejak 2014, penambangan bijih emas pertama dimulai pada 2016 dan mulai menghasilkan emas pertama pada 2017.

Kembali lagi ke Pulau Kemuning. Di sana kami juga bisa menikmati pasir berwarna putih bersih, pantainya sangat kecil. Sungguh nikmat banget membiarkan diri basah diterpa ombak tipis yang menggulung dari Samudera Hindia. Oiya, pantai ini bisa diakses hanya saat laut surut. 

Perairan Pancer, saksi bisu tsunami

Di perjalanan pulang dari Teluk Hijau Banyuwangi, saya baru sadar ada banyak papan rambu peringatan jalur evakuasi tsunami di sepanjang Jalan Raya Pelabuhan Pancer. Bahkan ada sebuah tugu prasasti peringatan tsunami yang dibangun di sana, tugu tersebut menjadi pengingat bahwa gelombang tsunami di tahun 1994 silam pernah merenggut 229 warga Desa Pancer, Sumberagung. 

Pemerintah sudah keterlaluan soal ini. Ironis, daerah rawan tsunami tapi gunung yang menjadi pelindung nyawa ratusan penduduk digerus. Ternyata biji emas dianggap lebih berharga daripada nyawa penduduk. 

Keindahan pemandangan bak Raja Ampat di Teluk Hijau Banyuwangi itu nyata, medsos tak bohong soal keindahannya. Mirisnya, internet juga tidak menyembunyikan keberadaan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Suara-suara penolakan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu masih ada meskipun lirih.  

Perairan Pancer di Banyuwangi masih memiliki surga yang seharusnya masih bisa diselamatkan, tapi rakyat bisa apa? Hak untuk melihat pemandangan indah saja tak diberikan oleh pemerintah. Segera sisihkan uang, gunakan hak menikmati pemandangan selagi masih bisa, kunjungi Raja Ampatnya Banyuwangi sebelum digerus habis oleh mesin tambang.

Penulis: Rina Widowati
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Anak Muda Raja Ampat Menantang Tambang Nikel: Ketika Tambang Nikel Merusak Amazon Laut Milik Rakyat Dunia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version