Minggu lalu, saya heran melihat guru-guru di tempat saya mengajar sibuk dengan laptopnya masing-masing. Wajahnya serius amat pula. Tidak seperti biasanya, mereka sangat fokus seakan nggak bisa diganggu. Padahal, KBM masih berlangsung. Artinya, mereka punya kewajiban mengajar di kelas. Setelah saya coba tanya, ternyata mereka sedang mengurus keruwetan birokrasi laporan hasil kinerja dan fokus membuka PMM, alias Platform Merdeka Mengajar.
Lantas, saya iseng saja bilang ke salah satu taman guru yang lagi sibuk itu. “Ayo, Bu, nggak ke kelas, ngajar?”Lalu, dia menjawab dengan sarkas, “Saya sudah ngasih tugas, Pak. Biar anak-anak belajar mandiri, soalnya gurunya sibuk sendiri.”
Pertengahan 2022 bisa dibilang secara resmi dan teknis Kurikulum Merdeka mulai diterapkan di sekolah-sekolah. Terutama di sekolah menengah atas. Kabarnya, hal ini merupakan respons positif atas keberhasilan kurikulum prototipe yang diterapkan di masa pandemi. Kurikulum prototipe ini akhirnya menjadi Kurikulum Merdeka yang sekarang dipakai sebagai pedoman menjalankan pendidikan di Indonesia.
Namun sayangnya, kurikulum Merdeka banyak menghasilkan ironi baru. Bukannya menyelesaikan persoalan pendidikan, kurikulum ini justru menambah keruwetan-keruwetan baru yang ada di sekolah. Mulai dari adaptasi dengan istilah-istilah baru yang sebenarnya maknanya sama ,sampai ke beban birokrasi baru yang salah kaprah.
Daftar Isi
Istilah-istilah baru yang sebenarnya nggak jauh beda dengan Kurikulum 2013
Menurut saya, Kurikulum Merdeka seperti hanya menjadi ajang pamer produk kementerian pendidikan saja. Semacam sebuah produk yang terkesan baru, padahal isi masih banyak yang sama dengan kurikulum sebelumnya. Misalnya dalam hal isi substansi, Kurikulum Merdeka berusaha menawarkan cara belajar yang berpusat pada murid, yaitu student center learning. Padahal, hal ini sudah terpampang nyata di dalam Kurikulum 2013.
Dari sisi istilah, Kurikulum Merdeka tak lain hanya mengubah istilah-istilah yang sebenarnya sudah ada di kurikulum sebelumnya. Misalnya, RPP dalam kurikulum 2013 berubah menjadi Modul Ajar di Kurikulum Merdeka. Lali KI (Kompetensi Inti) berubah menjadi CP (Capaian Pembelajaran), KD (Kompetensi Dasar) menjadi TP (Tujuan Pembelajaran), dan Silabus menjadi ATP (Acuan Tujuan Pembelajaran).
Semuanya hanya berubah istilah, secara isi dan penerapan, ya sama saja. Nggak ada bedanya. Lalu, kalau hanya mengubah nama istilah, urgensi perubahan kurikulum di mana?
Siswa belajar mandiri, guru sibuk sendiri
Kalau boleh diakui, Kurikulum Merdeka memang menghasilkan banyak program-program baru. Terutama berbagai program untuk guru. Salah satu program yang jadi andalan adalah CGP (Calon Guru Penggerak). Program ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas guru dengan pemahaman yang mendalam tentang kurikulum ini. Dengan harapan, para guru penggerak ini dapat menjadi penggerak utama terkait informasi dan penerapan Kurikulum Merdeka di sekolah.
Namun pada kenyataannya, program ini justru memberi beban administrasi yang berat untuk guru. Alhasil, siswa hanya menjadi sasaran konten untuk tugas guru yang bersangkutan dan sering ditelantarkan. Saya sering dicurhati beberapa guru yang mengikuti program CGP ini. Mereka sering kali mengeluh karena tugas-tugas yang bejibun. Belum selesai satu tugas, sudah ditambah tugas baru lagi. Akhirnya, mereka malah sibuk mengerjakan tugas CGP daripada mengajar di kelas.
Sekalipun datang ke kelas, para guru yang ikut program CGP ini lebih memilih memberi tugas untuk dikerjakan siswa. Sedangkan dirinya sebagai guru membuka laptop untuk mengerjakan tugas CGP yang terus bertambah. Ini kan ironis ya.
Manajemen waktu, katanya
Pernah di suatu webinar, saya coba menanyakan terkait prioritas antara mengerjakan tugas CGP atau mengajar di kelas. Jawaban pemateri webinarnya sungguh mengejutkan bin mengherankan. Beliau mengatakan bahwa nggak ada yang harus diprioritaskan. Semuanya bisa dijadikan prioritas dengan manajemen waktu yang pas.
Ngomong emang gampang banget sih. Bah.
Katanya, menjadi wajar dan baik kalau CGP bisa membuat siswa mengerjakan tugas secara mandiri dan guru fokus mengerjakan tugas-tugas CGP di kelas. Ini sungguh jawaban yang aneh, problematis dan nggak solutif blas.
Misalnya saya sering mendengar pula keluhan siswa. Banyak siswa yang ngeluh tentang cara mengajar guru yang terlibat dalam program CGP. Pasalnya, guru-guru ini hanya memberi tugas tanpa membimbing. Guru-guru ini hanya menjadikan tugas sebagai alasan agar siswa sibuk sendiri. Padahal, siswa dalam mengerjakan tugas tetap butuh bimbingan dan arahan. Tapi sayangnya, mereka sulit mendapatkan itu, karena guru yang bersangkutan sibuk sendiri dengan tugas-tugas CGP-nya.
Program ini seakan menunjukkan kenyataan bahwa siswa diminta belajar mandiri bukan karena memang seharusnya begitu, tapi karena gurunya sibuk sendiri. Hasilnya, belajar mandiri siswa berujung pada kebingungan, karena nggak ada bimbingan dan arahan yang intensif dari gurunya. Ya gimana, wong gurunya sibuk sendiri kok.
Baca halaman selanjutnya
Siswa hanya jadi konten, konten, dan konten
Siswa hanya menjadi objek konten gurunya
Di program CGP ini, guru sering kali mendapat tugas membuat video pembelajaran dengan konsep bermacam-macam. Praktik baik lah, budaya positif lah, pembelajaran berdiferensiasi lah, tai kucing lah, macam-macam lah pokoknya. Artinya, para guru CGP diminta untuk mempraktikkan itu ke siswa-siswanya di kelas.
Ketika mendapat tugas tersebut, tentu saja si guru masuk kelas membawa sekian perangkat kamera dan mulai membriefing siswanya. Siswanya diminta untuk mengikuti skenario gurunya dalam hal mendengarkan dan bertanya agar tugas gurunya sesuai dengan kriteria yang diminta fasilitator CGP-nya. Ini kan aneh. Programnya justru hanya menjadikan guru sebagai orang yang memanfaatkan siswanya sebagai objek tugas. Bukan benar-benar ingin mengajar dengan tulus sepenuh hati.
Tidak sedikit siswa yang mengeluh dengan gurunya yang ikut program CGP. Kalau sedang banyak tugas administratif, gurunya hanya masuk memberi tugas, lalu ditinggal laptopan. Kalau pun menjelaskan, gurunya pasti membawa kamera dan kelas di-setting sedemikian rupa agar terkesan dapat mempraktikkan hasil materi di program CGPnya. Sungguh ironi Kurikulum Merdeka yang nyata.
Belum lagi, di era Kurikulum Merdeka, guru harus mengisi PMM (Platform Merdeka Mengajar) dan mengikuti berbagai rangkaian kegiatannya. Hal ini menjadi paradoks, berbagai platform Kurikulum Merdeka berusaha mengajari guru untuk menjadi pendidik yang baik, tapi sekaligus memangkas waktu guru dalam mengajar di kelas.
Lalu pertanyaannya, gimana bisa menjadi pendidik yang baik kalau gurunya nggak pernah masuk kelas karena ruwet dengan urusan birokrasi dan platform-platform baru?
Kurikulum Merdeka seakan jadi beban, atau memang beban?
Plisss lah, jangan terus bebani guru dengan ini dan itu. Mending fokus ke peningkatan kesejahteraannya saja. Kalaupun ada hal yang bisa diupayakan untuk peningkatan sumber daya guru, maka sediakan saja platform referensi buku konsep-konsep pendidikan terbaru dan gratis untuk guru. Buku ya, buku. Buku bacaan. Bukan yang lain. Biarkan guru membacanya secara mandiri. Jangan ditekan dengan beban dan ancaman birokrasi ini dan itu.
Terakhir, terbesit selintas di pikiran saya, begitu banyaknya pelatihan-pelatihan untuk guru ini apakah pertanda bahwa kementerian pendidikan mulai nggak percaya sama universitas penghasil guru?
Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kurikulum Merdeka: Kurikulum yang Membuat Guru Merasa Merdeka, tapi Malah Menjajah para Siswa