Ironi Kantin Kejujuran yang Justru Jadi Ladang Ketidakjujuran

kantin ketidakjujuran ladang korupsi mojok

kantin ketidakjujuran ladang korupsi mojok

Sebelumnya izinkan saya untuk memberi intro terlebih dahulu mengenai kantin kejujuran yang ada di SMA saya dulu. Jadi, kantin kejujuran di SMA saya itu nggak jauh berbeda dengan kantin pada umumnya yang menjual jajan snack dan beberapa minuman gelas maupun botol.

Hanya saja yang membuat berbeda yakni tidak memiliki penjual atau penjaga yang menjaga barang dagangan. Bahkan nggak ada CCTV yang mengawasi pula. Jadi segala transaksi hanya Tuhan dan pembeli itu sendiri yang tau, atau mungkin malaikat Raqib Atid juga tau.

Kantin kejujuran sendiri merupakan program sekolah, yang tujuannya tidak lain untuk menumbuhkan perilaku jujur bagi para siswa. Melalui kesadaran pribadi untuk bersikap jujur. Jadi, kejujuran diharapkan hadir tanpa paksaan, sukarela.

Namun, nampaknya takdir berkata lain. Kantin kejujuran nggak menjadi kantin kejujuran sebagaimana yang diharapkan, bahkan mungkin menjadi kantin keikhlasan bahkan gratisan. Pasalnya menurut teman saya yang merupakan anak OSIS plus dekat dengan guru mengatakan bahwa kantin kejujuran terus mengalami kerugian, bahkan jumlah kerugiannya mencapai angka yang benar-benar tinggi.

Waw, jumlah yang cukup fantastis bagi saya pada kala itu. Kok bisa rugi sebanyak itu? Saya ada sedikit pengalaman yang mungkin menjadi salah satu sebab mengapa terjadi kerugian di kantin kejujuran.

Suatu ketika di waktu istirahat telah tiba, saya diajak oleh teman saya untuk pergi ke kantin kejujuran. Sebuah kantin yang menjadi sasaran utama para siswa yang memiliki wajah-wajah sedikit bajingan, tapi nggak bajingan beneran juga.

Sebenarnya pada waktu itu saya agak malas untuk jajan. Kalau boleh jujur, saya sendiri lebih suka langsung makan nasi yang dapat mengenyangkan perut, dari pada makan jajan yang hanya mengganjal rasa lapar. Namun, mau bagaimana lagi, namanya juga diajak teman, jadi mau nggak mau ya harus mau.

Selama di kantin kejujuran saya nggak membeli jajan apa pun, hanya membeli air mineral untuk melepas dahaga. Maklum, pada saat itu bertepatan musim kemarau yang panasnya cukup brutal nggak karuan.

Sedangkan, teman saya sendiri membeli jajan yang cukup banyak. Jika dikira-kira, mungkin ia habis sebanyak satu kresek tanggung. Jumlah yang cukup banyak bagi saya, tapi saya nggak begitu heran dengannya, pasalnya memang ia tipe orang yang doyan jajan dan sudah terlihat dari keganasannya dalam memangsa jajan.

Setelah dirasa cukup akhirnya kami membayar apa yang kami ambil di kantin kejujuran, dengan menaruh uang di sebuah kotak yang memang telah disediakan sebelumnya. Namanya saja kantin kejujuran, maka mulai dari mengambil jajan hingga proses membayarnya dilakukan oleh pembeli itu sendiri, tanpa ada yang menjaga sama sekali, bahkan nggak ada CCTV yang mengawasi. Hanya pembeli dan Tuhan yang tau.

Saya sendiri menaruh uang tiga ribu yang merupakan harga dari air mineral yang saya minum, tidak luput juga teman saya menaruh uang dua ribu sebagai bentuk pembayarannya atas apa yang diambilnya.

Sebentar-sebentar, loh kok dua ribu? Tentunya saya sempat heran, dong. Pasalnya perasaan tadi teman saya habis jajan sekitar satu keresek tanggung, kok cuma naruh uang dua ribu. Padahal jajan di kantin kejujuran itu rata-rata harganya lima ratusan, dan teman saya mengambil hampir sekresek tanggung penuh, yang jumlah jajannya lebih dari empat biji.

Tentunya saya menanyakan kepada teman saya, “Lah, kamu kok Cuma bayar dua ribu? bukannya tadi habis banyak?” Teman saya pun menjawab dengan sedikit bumbu akal bulus kelihaiannya memelintir lidah, “Saya kan sudah bayar, yang penting kan bayar, berarti saya sudah jujur untuk membayar.”

Dengan sedikit tertawa atas kepintaran teman saya dalam ngeles, akhirnya saya membalas omongannya, “Iya memang bayar sih, tapi nggak gitu juga konsepnya, Boy, itu kan kantin kejujuran, bukan kantin keikhlasan yang bayar seikhlasnya.” Tanpa banyak bacot, akhirnya teman saya langsung saja mengajak saya balik ke kelas. Mungkin saya dianggap sok suci, padahal aslinya sama-sama bajingan juga sih, hanya saja nggak lagi pengin saja.

Jadi, setelah dipikir-pikir nampaknya berbagai harapan guru atas kantin kejujuran hanya menjadi mimpi utopis belaka. Bukannya saya pesimis, hanya saja kantin kejujuran jika nggak diimbangi oleh SDM yang mumpuni ya sama saja, malah buang-buang uang jadinya.

Saya sedikit punya rumus begini, kebaikan dapat tumbuh jika memang lingkungannya memiliki kekuatan penuh untuk menumbuhkannya. Begitupun sebaliknya, kebaikan nggak akan pernah tumbuh jika lingkungannya nggak punya power untuk menumbuhkannya.

Ibarat saya yang sempat berdebat atas tindakan teman saya ketika di kantin kejujuran. Meskipun saya telah mencoba menegurnya, tapi akan tetap sia-sia saja. Pasalnya saya sama bajingannya dengan ia, hanya saja saya lagi nggak pengen saja waktu itu.

Namun, berbeda lagi ketika orang lain yang memiliki wibawa yang kemudian menegurnya. Tentunya akan memiliki dampak yang berbeda jika dibandingkan dengan saya yang menegur.

Bukan berarti ada tendensi pada sebuah pemaksaan, hanya saja ketika ada sosok yang memiliki wibawa, kebijaksanaan dan dihormati maka ucapannya akan dianut oleh orang lain. Meskipun sosok tersebut nggak mengungkapkan perintahnya dengan teriakan, justru hanya dengan nasehat lembut atau mungkin melalui bercanda maka mungkin saja merasuki pikiran orang lain.

Sosok yang saya maksud nggak hanya guru, bahkan sekadar teman sebaya juga bisa menjadi orang yang berpengaruh, selagi ia memiliki kewibawaan atau kebijaksanaan tersendiri yang mampu berpengaruh pada orang lain.

BACA JUGA Kantin Kejujuran dan Perilaku Darmaji (Dahar Lima Ngaku Siji) dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version