IQ Tinggi Bukan Berarti Kamu Jenius

jenius

IQ Tinggi Bukan Berarti Kamu Jenius

Apa yang membuat seseorang disebut jenius? Mungkin bakal ada yang jawab kalau orang jenius itu adalah orang yang menguasai semua bidang ilmu. Ada juga yang jawab kalau orang jenius itu adalah orang yang bisa ngerjain hal yang orang lain nggak bisa kerjakan kayak menguasai bahasa dalam satu malam, atau jawab problem matematika yang selama ini nggak terpecahkan. Orang jenius itu pokoknya orang yang extra ordinary, bahkan bisa dibilang super human.

Gimana cara mengukur tingkat kejeniusan seseorang? Well, biasanya orang akan mengasosiasikan IQ yang tinggi dengan kejeniusan. Kalau kamu punya IQ tinggi, pasti otomatis disebut orang jenus. Tes IQ ini lumrah jadi standar buat ngukur tingkat kecerdasan orang. Bahkan sejak SD tes IQ sudah digunakan untuk mengkategorikan mana anak yang pintar (atau jenius) dan mana yang tidak.

Tes IQ dianggap bisa merepresentasikan kecerdasan seseorang karena menurut Psikologi, IQ yang tinggi memiliki hubungan dengan status sosio ekonomi, pencapaian akademik, sampai kesuksesan seseorang. Makanya orang yang punya IQ tinggi dianggap bisa menerima beban ilmu yang lebih tinggi juga karena mereka—entah gimana caranya—pasti sanggup menerima itu semua.

Ini juga yang jadi alasan kenapa tes IQ online menjadi populer walaupun banyak yang tahu bahwa tes online ini tidak akurat. Kita ingin seseorang memberitahu kita bahwa kita spesial. Memiliki IQ yang normal atau rendah hanya membuat Anda jadi seorang medioker yang tingkatannya setara dengan rakyat jelata. Artinya, jika Anda bukan bagian dari masyarakat super ber-IQ tinggi, Anda bakal susah buat sukses.

Ta ta ta tapi apakah Anda tahu kalau—meskipun kita semua yakin bahwa IQ dapat mengukur kecerdasan, bahkan kesuksesan—IQ sendiri masih merupakan perdebatan hangat antar kaum akademis? Khususnya soal kebenaran apakah IQ benar-benar bisa mengukur kecerdasan manusia.

Mari kita lihat sejarahnya terlebih dahulu

IQ (Intelligent Quotient) dibuat pada abad 19 di Eropa oleh psikologis Alfred Binet dan Theodore Simon. Binet dan Simon membuat IQ dengan tujuan mengidentifikasi murid-murid yang mengalami kesulitan belajar di Prancis. Jadi tes ini bukan untuk mengukur seberapa cerdas seseorang namun lebih ke seberapa kesulitan orang tersebut. Terdapat perbedaan penting pada dua hal ini.

Berbeda dengan tujuan awal dari Simon dan Binet, pada periode Perang Dunia pertama, IQ malah digunakan untuk mengukur seberapa pintar seseorang. Ide ini cepat menyebar apalagi saat itu banyak orang mendukung eugenics, yaitu pandangan bahwa ras manusia harus diperbaiki dengan cara membuang orang-orang yang berpenyakit atau cacat.

Waktu itu juga dipercayai bahwa kepintaran merupakan sesuatu yang tetap dan diwariskan. Artinya, orang yang dianggap ‘bodoh’ akan menghasilkan generasi yang ‘bodoh’ juga. Di bawah pengaruh eugenics, terdapat studi yang membuat kesimpulan absurd bahwa ras tertentu lebih cerdas dari ras lain.

Studi ini mencapai kesimpulan d iatas tanpa memperhitungkan bias bahasa. Tes IQ pada studi tersebut dibuat dalam bahasa inggris sementara peserta tes dari ras lain adalah imigran yang tidak terlalu menguasai bahasa inggris. Penggunaan tes IQ secara sembarangan ini menyebabkan banyak rakyat Amerika dan Jerman yang disterilisasi karena dianggap idiot dan tolol sehingga tidak pantas bereproduksi.

Terlepas dari sejarah kelam tersebut, para akademisi sendiri masih belum setuju bahwa IQ dapat mengukur kecerdasan. Pertama, definisi kecerdasan berbeda dari kultur ke kultur. Contohnya individu dengan pengetahuan luas akan tanaman herbal akan dianggap pintar di Afrika namun belum tentu memiliki IQ yang tinggi.

Akibat kecerdasan yang kultur spesifik, beberapa peneliti berpendapat bahwa tes IQ bias ke orang-orang barat karena tes IQ ini dibuat di negara barat. Ini membuat tes ini bermasalah saat digunakan ke kultur yang berbeda. Bahkan ada yang berargumen lebih jauh bahwa tes IQ tidak mengukur kecerdasan sama sekali tetapi hanya mengukur kemampuan menjawab tes IQ. Jadi. orang yang hasil tes IQ nya tinggi bukan berarti dia pintar, melainkan hanya jago jawab soal-soal tes IQ saja.

Beberapa yang mendukung IQ sebagai penentu kecerdasan mencoba membuat argumen seperti ini, “Siapa yang akan kamu pilih untuk melakukan operasi tumor pada dirimu/siapa yang akan kamu pekerjakan di perusahaanmu, orang dengan IQ 90 atau orang dengan IQ 130?”

Pertanyaan ini aneh. Kenapa saya bilang aneh? Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak memakai IQ untuk memutuskan hal tersebut melainkan melihat pengalaman individu. Saya tidak peduli dokter bedah saya memiliki IQ 90 atau 130 asal pasien-pasien yang dia operasi banyak yang sembuh. Sama halnya dengan pekerjaan, saya pikir para HRD merekrut karyawan berdasarkan CV masing-masing invididu dan bukan melalui tes IQ.

Kalau begitu apakah IQ benar-benar tidak berguna? Ya tidak juga. Usaha sudah dibuat untuk mengembalikan IQ ke tujuan awalnya yaitu mengidentifikasi anak-anak yang mengalami masalah belajar, contohnya yang mengalai autism spectrum disorder atau anak dengan gangguan tiroid. Tujuan mengidentifikasi ini supaya usaha lebih dibuat untuk membantu mereka mendapatkan pendidikan yang cukup agar mampu berfungsi di masyarakat.

Kesimpulannya, menentukan kepintaran manusia itu sulit dan tes IQ terbukti tidaklah akurat. Jadi, Anda jangan sombong dulu jika IQ Anda tinggi. The result might as well be meaningless.

BACA JUGA SNMPTN Lolos Terus Ngerasa Jenius? Sombhong Amat, Kalian Cuma Beruntung dan tulisan Reynold Siburian lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version