Apple resmi merilis iPhone 17 pada Rabu (10/09/2025) waktu Indonesia. Banyak pengguna setia produk Apple menanti produk yang satu ini. Namun, tidak sedikit pula yang meledek iPhone rilisan terbaru yang aslinya begitu-begitu saja. Beberapa bahkan menyindir desainnya yang kehilangan kesan mewah
Saya tidak anti terhadap produk satu ini. Hanya saja, saya sedikit tergelitik ketika mendengar kata inovasi dari juru bicara iPhone. Sebab, inovasi yang dimaksud biasanya tidak lebih dari ganti warna, nama, atau sekadar menyingkirkan fitur yang dianggap tidak efisien.
Itu mengapa, setiap ada keluaran baru iPhone muncul, saya kurang tertarik pada kamera, prosesor, atau fitur-fiturnya. Saya lebih melihatnya sebagai narasi budaya ketimbang perangkat komunikasi. iPhone adalah simbol bagaimana manusia modern berusaha menemukan legitimasi.
Desain iPhone 17 yang kehilangan kesan mewah
Salah satu yang jadi perbincangan terkait iPhone 17 adalah bentuknya. Banyak orang menganggap desainnya mirip ponsel Android kelas menengah. Padahal salah satu keunggulan Apple selama ini adalah bentuk dan warnanya yang minimalis dan punya kesan mewah.
Kamera belakang iPhone 17 yang berukuran besar menjadi sorotan. Orang-orang menilai terlalu berlebihan sehingga menghilangkan kesan minimalis. Belum lagi pilihan warna cosmic orange yang terlalu berani dan nyeleneh. Pilihan warna tersebut yang membuatnya semakin mirip dengan Android-Android kelas menengah yang harganya jauh di bawah iPhone 17 yang dipatok sampai belasan juta.
Perdebatan soal desain iPhone 17 ini memang menarik. Namun, dibanding mengomentari body dan warnanya, saya lebih senang melihat respon masyarakat. Bagi saya, Apple sedang bermain-main dengan batas estetika. Mereka tahu apa pun yang mereka keluarkan, ujung-ujungnya juga akan diterima sebagai trend. Orang boleh mengolok-olok di awal, tapi sebulan kemudian, kita lihat saja, kemungkinan akan banyak orang membelinya dan menyebutnya keren.
Proses semacam ini mengingatkan saya pada teori dari Roland Barthes tentang mitologi modern. Suatu simbol, betapapun absurd, bisa dilegitimasi ulang menjadi tanda kemewahan, asal dibungkus narasi yang kuat.
Jadi, cosmic orange iPhone17 bukan sekadar warna. Ia adalah percobaan sosial. Apple ingin tahu sampai sejauh mana kita bersedia menerima sesuatu yang tidak kita suka. Dalam arti tertentu, desain kontroversial ini adalah eksperimen psikologis yang jauh lebih menohok daripada fitur kamera 48 megapiksel atau layar ProMotion 120 hertz.
Mahal, tapi saya yakin bakal laku di pasaran
Membicarakan soal produk Apple tidak akan jauh-jauh dari harganya yang terkenal mahal. Setidaknya berkali-kali lipat dibanding rata-rata UMR berbagai daerah di Indonesia. Namun, entah mengapa produk teknologi satu ini selalu laris manis di pasaran.
Saya yakin hal ini juga akan terjadi pada iPhone 17 walau desainnya banyak dinyinyirin. Bahkan, tidak lama lagi mungkin akan beredar verita pinjaman online meningkat karena orang-orang ingin memiliki gawai teranyar ini. Atau mungkin, beredar kabar soal anak-anak yang merengek minta iPhone terbaru ke orang tuanya. Bahkan, rela menjual barang-barang demi produk satu ini.
Sekali lagi, iPhone 17 bukan sekadar alat komunikasi. Itu mengapa sejelek dan semahal apapun, tetap akan yang membeli merek ini. Produk-produk Apple sudah menjelma jadi teks budaya yang mengajarkan betapa manusia bisa begitu taat pada simbol.
Itu mengapa saya perlu menuliskan kegelisahan ini. Kapan kita tersadar kalau yang kita rayakan selama ini bukanlah kemajuan teknologi, melainkan kemajuan cara perusahaan memanipulasi rasa ingin diakui.
Penulis: Budi
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
