Intermi, Mie Instan yang Tidak Terkenal, tapi Penyelamat Manusia yang Dihajar Krisis Ekonomi

Intermi, Mie Instan yang Tidak Terkenal, tapi Penyelamat Manusia yang Dihajar Krisis Ekonomi

Intermi, Mie Instan yang Tidak Terkenal, tapi Penyelamat Manusia yang Dihajar Krisis Ekonomi

Kita hidup di negeri di mana tanggal muda bikin semua terasa mungkin, dan tanggal tua bikin mie instan terasa seperti oase di tengah padang gersang. Tapi dari sekian banyak mie instan yang meramaikan rak minimarket, ada satu nama yang jarang kelihatan tapi selalu punya tempat istimewa di hati anak kos. Intermi, murah, enak, dan nggak banyak tingkah.

Anehnya, mie yang sering jadi penolong di hari-hari kritis ini justru nggak dijual luas. Nggak nongol di Indomaret, nggak pula nongkrong di Alfamart. Dia eksis tapi seperti cinta diam-diam, nggak semua orang tahu. Sekalinya tahu, nggak bisa lepas. Lalu kenapa Intermi seperti disembunyikan dari rak-rak ritel modern yang mudah dijangkau? Padahal jika dijual secara luas akan menjadi komoditas yang banyak dicari, terutama oleh anak kos.

Apa sih Intermi itu?

Intermi adalah produk mie instan dari PT Indofood CBP Sukses Makmur, perusahaan yang juga melahirkan Indomie, Supermi, dan Sarimi. Secara garis keturunan, dia adik jauh dari Indomie. Kalau Indomie anak kesayangan yang semua keinginannya dikabulkan, sedangkan Intermi, ibarat anak yang hanya dipenuhi kebutuhan pokoknya saja. Meski demikian keduanya tetap anak Indofood.

Jika ngomongin fisiknya, berat bersih Intermi sekitar 65 gram per bungkus, lebih kecil dibanding Indomie yang berkisar 80-85 gram. Bumbu yang disediakan pun minimalis, bubuk rasa, minyak, dan cabai kering. Tidak ada bawang goreng, tidak ada saus, pun tidak ada iklan besar-besaran seperti Indomie. Tapi justru di situ letak efisiensinya. Semua yang kamu butuhkan untuk bertahan hidup di ujung bulan, cukup tersedia dalam satu bungkus Intermi yang sederhana.

Soal rasa, jangan buru-buru meremehkan. Meskipun sederhana, mie ini masih layak dinikmati tanpa perlu ditambah ini itu. Buat anak kos yang sudah lihai berkreasi, Intermi ini seperti kanvas kosong, bisa ditambah sawi atau irisan cabai sisa beli gorengan kemarin.

Harga dan rasa yang nggak main-main

Salah satu alasan utama Intermi digandrungi adalah harganya. Rata-rata dijual di kisaran 1.300 sampai 1.500 per bungkus. Kalau beli satu dus isi 40, bisa dapat harga 57 ribuan saja. Bandingkan dengan Indomie yang bisa dua kali lipatnya. Dari sisi ini saja, Intermi sudah jelas unggul buat yang perlu makan dua kali sehari sambil nunggu awal bulan.

Rasa? Lumayan. Nggak bisa dibilang luar biasa, tapi untuk harga segitu, performanya sangat bisa diandalkan. Banyak pengulas di blog dan YouTube bilang, rasa nggak kalah sama Indomie, cuma ya beda bumbu saja. Memang, rasa bumbunya lebih tipis, kecapnya lebih cair, dan tidak ada saus apalagi bawang goreng. Tapi mienya tetap kenyal, nggak benyek, dan punya aroma khas. Bahkan ada yang tidak sedikit kawan yang bilang kalau lagi hemat, Intermi ini tetap masuk akal buat disantap dengan nikmat.

Penolong tanggal tua

Buat banyak orang, Intermi bukan sekadar mie instan murah. Dia adalah representasi dari daya tahan. Ketika dompet menipis, kuota sudah diingatkan provider untuk isi ulang, dan saldo rekening yang sudah tidak bisa digunakan untuk transaksi, Intermi hadir sebagai teman setia. Dengan harga sebiji gorengan, kamu bisa dapat sebungkus mie lengkap yang bisa menunda lapar sampai malam.

Bahkan ada orang yang jauh hari sudah memiliki stok Intermie. Tidak lain supaya dapat bertahan di tanggal-tanggal genting. Tapi justru dari keterdesakan itulah rasa syukur muncul. Intermi jadi simbol bahwa hidup masih bisa dijalani, meski tanpa kemewahan.

Baca halaman selanjutnya

Susah dicari!

Tapi kenapa Intermi susah dicari?

Pertanyaannya, kalau memang seberharga itu, kenapa Intermi tidak dijual luas di minimarket atau swalayan besar? Jawabannya bisa bermacam-macam, tapi yang paling logis, karena Intermi tidak diposisikan sebagai produk retail modern. Distribusinya lebih banyak di toko kelontong, warung grosir, dan pasar tradisional.

Indofood mungkin sengaja tidak memoles Intermi seperti Indomie karena segmennya memang bukan buat konsumsi middle-class urban yang suka estetik dan selfie bareng mie. Intermi lebih cocok buat kelas pekerja, pedagang, anak kos yang butuh mie murah tidak untuk gaya hidup tapi untuk bertahan hidup. Itulah kenapa mie ini lebih sering ditemukan di toko grosir ketimbang rak minimarket yang ber-AC.

Minimarket juga punya pertimbangan sendiri. Produk dengan margin tipis dan tidak terlalu tinggi permintaannya tentu tak jadi prioritas. Apalagi Intermi jarang tampil di iklan atau promo televisi. Ibaratnya, kalau Indomie itu bintang sinetron prime time, Intermi lebih mirip figuran yang saban hari mangkal di warung tapi nggak pernah muncul di layar kaca.

Bukan sebagai gaya hidup, tetapi untuk bertahan hidup

Intermi adalah mie yang tahu rasanya hidup pas-pasan. Dia tak menjanjikan kemewahan rasa atau bumbu yang rumit. Tapi dia konsisten hadir buat kamu yang sedang berada di titik terbawah dompet. Murah, mengenyangkan, dan cukup layak disantap tanpa rasa bersalah. Sayangnya, karena strategi distribusi dan branding yang terbatas, keberadaannya tak sepopuler saudara-saudaranya yang glamor.

Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Intermi tak perlu lampu sorot. Ia hanya perlu ditemukan oleh mereka yang tahu nilai dari mie instan seribu lima ratusan di tengah kekacauan ekonomi. Dan saat kamu sudah kehabisan pilihan di rak swalayan, percayalah, di ujung gang warung kelontong sana, ada sebungkus Intermi yang sabar menunggumu untuk dibawa pulang.

Penulis: Mochamad Firman Kaisa
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 5 Mie Instan yang Bikin Saya Menyesal Telah Mencicipinya, Cukup Sekali Coba

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version