Dulu, ketika saya mendengar bahwa ada band-band Indonesia yang mematok rate harga mahal sampai ratusan juta untuk bisa diundang di sebuah acara, saya beneran kaget. Saya, yang saat itu belum ngerti-ngerti banget soal industri musik, merasa bahwa rate harga yang sampai tiga digit untuk ukuran band Indonesia itu kemahalan. Bisa sampai angka ratusan juta itu matematikanya gimana, coba?
Tapi itu dulu. Dulu saya masih nggak tahu apa-apa, masih awam soal industri musik. Sekarang, setelah saya berteman dengan banyak orang yang berkecimpung di industri musik, setelah saya belajar gimana cara sebuah band menentukan rate harga, dan setelah saya punya band (meskipun udah nggak jalan lagi), pemahaman saya jadi berubah. Saya jadi nggak heran lagi kalau ada band Indonesia yang mematok rate harga sampai ratusan juta.
Perkara rate harga band ini memang agak tricky. Bagi sebuah band, butuh perhitungan yang matang untuk menentukan rate harga. Nggak bisa ngasal, nggak bisa asal lempar. Dan bagi masyarakat, apalagi para promotor, butuh pemahaman tentang gimana industri musik ini berjalan sehingga nggak kaget kalau dengar ada band yang punya rate harga mahal. Mereka perlu tahu bahwa di balik rate harga yang mahal, ada indikator-indikator kuat yang jadi penentu.
Nama besar dan sejarah panjang menentukan rate harga
Kita mungkin sudah tahu bahwa band-band semacam Dewa 19, Sheila on 7, atau Noah punya rate harga yang nggak main-main. Rate harga ketiga band di atas sudah sampai ratusan juta untuk sekali manggung. Bahkan untuk Dewa 19, harga mereka bisa berbeda tergantung mau pakai vokalis yang mana: Ello, Virzha, atau Ari Lasso. Mendengar angka ratusan juta, mungkin kita sedikit terkejut, tapi wajar. Kita terkejut karena mahal, tapi mewajarkan karena nama besar.
Dewa 19, Sheila on 7, dan Noah ini bukan band kemarin sore. Ketiga band itu isinya orang-orang jenius (dan satu orang menyebalkan, you know, lah, siapa), orang-orang yang disegani di dunia musik. Karier mereka nggak main-main. Diskografi mereka berjejer rapi, penghargaan juga sudah banyak. Kalau mereka manggung, nggak pernah nggak rame. Pasti rame, pasti penuh, bahkan sejak penjualan tiket.
Faktor inilah yang membuat Dewa 19, Sheila on 7, dan Noah bisa punya rate harga hingga ratusan juta. Mereka punya nama besar, yang mana nama besar itu bisa menghimpun massa yang banyak. Karier mereka juga sudah panjang. Dan, kualitas mereka di atas panggung juga nggak main-main. Wajar kalau mereka punya rate harga yang mahal dan banyak promotor yang mau membayar mahal.
Pengalaman manggung di panggung-panggung besar
“Lalu kalau band-band lokal, band-band yang indie gimana?”
Ya salah satu indikator band, apalagi band indie bisa punya rate harga yang mahal karena pengalaman manggungnya. Kalau sebuah band indie sudah pernah manggung di panggung-panggung besar, festival-festival musik ternama, bahkan sampai ke luar negeri, biasanya mereka berani menaikkan rate harga mereka.
Saya ngobrol dengan Alfan Rahadi dan I Made Nara Virjana (Vino) dari Haum Records tentang hal ini. Dan betul, bahwa band-band indie biasanya baru berani pasang rate harga mahal (menaikkan rate harga) setelah pernah manggung di panggung-panggung besar. Sebagai contoh, band Enamore harganya naik setelah manggung di Pestapora 2024. Lalu band semacam Dazzle, Limbo, dan Keep It Real juga harganya naik setelah manggung di luar negeri.
Namun, pengalaman manggung di panggung-panggung besar ini nggak jadi acuan pasti. Sebab masih ada band-band yang walau sudah pernah manggung di panggung besar (bahkan luar negeri) masih saja dinego parah. “Beeswax (band emo Malang) dulu habis manggung di We The Fest, masih saja dinego parah sama klien-klien.” ujar Alfan Rahadi.
Jumlah pendengar di platform digital, viralitas lagu, dan eksposur di media sosial
Masih dari obrolan saya dengan Alfan dan Vino, ada indikator-indikator yang lebih enak, dan mungkin lebih fair, dipakai untuk menentukan rate harga band. Indikator tersebut adalah sebanyak apa jumlah pendengar di platform digital (monthly listener di Spotify, misalnya), sebesar apa viralitas lagu dari band tersebut, dan bagaimana eksposur mereka di media sosial.
Tiga hal ini seakan sudah jadi patokan yang paling pas bagi band untuk menentukan rate harga mereka, juga bagi promotor untuk mengundang sebuah band. Dan bagi band, memang paling enak menentukan rate harga lewat indikator ini. Dari jumlah pendengar di platform digital, dari lagu-lagu yang meledak, juga dari gimana eksposur di media sosial, nantinya akan enak menentukan rate harga yang akan dipasang.
Sebab datanya selalu pasti, angkanya real. Jumlah pendengar bisa dilihat, viralitas lagu juga bisa dilihat dan dirasakan, juga tentang eksposur media sosial juga bisa dipantau bersama-sama. Fair, blak-blakan semua. Dan inilah yang setidaknya dilakukan oleh Vino dari Haum Records selama menjadi manajer dari band semacam Write The Future hingga band Enamore.
Dari aspek-aspek di atas, setidaknya kita bisa tahu alasan-alasan di balik sebuah band yang punya harga mahal. Kita juga bisa tahu bahwa rate harga band itu munculnya nggak ngasal, nggak asal lempar. Ada indikator-indikator yang jadi pertimbangan. Makanya, kalau kita dengar ada band yang punya rate harga mahal, sebaiknya jangan kaget dulu, lah.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
