Gunung Kidul Saat Disambut Ulat Jati

ulat jati gunung kidul

ulat jati gunung kidul

Gunung Kidul kaya akan kearifan lokal—termasuk diantaranya berburu ulat jati. Karena daerah kapur adalah lahan subur untuk tumbuhnya hutan jati. Termasuk adanya ulat yang hidup berdampingan dengan pohon ini. Hal ini menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri bagi daerah ini.

Daun jati itu  menjadi hidangan lezat ulat-ulat jati. Layaknya  pesta gratisan saat pembukaan kuliner di kotaku kemarin. Daun  itu  dengan cepatnya disantap  ulat—yang  jumlahnya hingga mencapai jutaan—hingga tak bersisa sama sekali dan habis tinggal  tangkai dan ranting pohon.

Tampak kotorannya berserakan di tanah. Korban kerakusannya  saat menggantas dedaunan jati. Bahkan hingga area yang luas  di sepanjang ladang dan tepian desa. Daun itu jadi bolong -bolong tinggal kerangka daunnya. Pertanda telah dihabiskan ulat ini. Bahkan sepohon itu yang tak ada sisa sama sekali.

***

Habisnya dedaunan sebagai stok makanan ulat-ulat itu yang segera meninggalkan pohon jati dan mencari persinggahan  di tanah—turun menggunakan sulur yang mirip  laba-laba. Inilah pemandangan yang membuat jijik bagi warga desa,

Ribuan ulat  jati itu  turun ke bumi untuk mencari tempat bertapa. Ulat itu akan mengubah rupa  yang nantinya  jadi kupu-kupu cantik. Menurut Mbah Lami proses ini adalah bagian metamorfosis yang dalam perjalanannya banyak rintangan.

Dalam perjalanan ini ada yang  menghentikan lajunya. Termasuk ulah tangan manusia  saat mendekati diri. Karena  jijik dan risih menempel di badan, maka banyak warga yang segera memencet ulat-ulat itu hingga mati.

Alasannya jijik. Sebagaimana  yang dialami keponakan Mbah Lami dari kota Klaten. Baginya hal ini adalah pemandangan yang membuat gilo alias ngeri karena jijik. Dalam pikirannya terselip rasa takut dan geli hingga campur jadi satu.

“Hiiiiii…” jerit beberapa warga yang merasa geli.

Rasa jijik itu menyeruak saat  melintasi jalan kampung Sambeng—yang saat dikunjungi di sini sedang banyak tumbuh jatinya dan bergelantungan ulat warna hitam di sepanjang jalan.  Rasanya kian tak nyaman saat sampai di rumah saudaranya yang dikerubuti ulat ini—tahu-tahu malah nempel di kepalanya.

“Pada pating glantung!”

Warga luar daerah mengatakan kengerian melihat peristiwa ini.

Ora popo.

Warga setempat menenangkan karena melihat  anak perempuannya takut. Termasuk melihat ulat itu pada menempel di dinding.

“Ma, itu! Ma, itu!”

Rupanya kian tak nyaman saja.

Ada lagi ketika warga bermotor dan menerjang gelantungan ulat yang di jalan.

“Awas! Awas itu!”

Ia  menjerit menghindari gelantungan ulat.

Mbah Lami memberikan pemahaman kepada cucu-cucunya itu.

“Mereka itu akan cari tempat bertapa.”

“Kok begitu to Mbah?”

“Lha iya untuk merubah dirinya agar berubah wujud jadi cantik. Seekor kupu-kupu yang menawan hati nantinya.”

***

Ulat-ulat itu seringkali berjalan mendekati kerumunan orang duduk. Termasuk siang itu ketika ada yang sedang mengadakan arisan trah. Bagi keluarga di Sambeng pemandangan ini sudah bukan hal yang aneh.

“Bagi warga di sini merupakan  berkah besar.”

Setiap musim ulat merupakan panen keuntungan. Soalnya bila hewan itu sudah berbentuk kepompong atau enthung akan bernilai puluhan ribu.

Di samping itu juga yang melihat santapan  lezat. Warga memburu ulat itu—mereka diburu hingga habis. Hal ini dilakukan warga setempat yang berada di sekitar tempat tumbuhnya jati.

“Harganya 75 ribu rupiah perkilonya. Malah kadang pada awalnya nimbus 100-an ribu lebih.”

Seorang ibu yang gemar cari enthung bahkan rela tinggalkan pekerjaan ke ladang atau ke pasar. Jalaran saat musim ini adalah sebagai masa menambang uang.

Bahkan pagi ini saat ke Kantor Pos bertemu warga Jambu yang kirim paket.

“Ini isinya apa, Mbak?” pak Pos bertanya kepada nasabah.

Enthung, Pak.”

“Dikirim ke mana?”

“Bogor, Pak.”

“Harga?”

“Dua ratus ribu.”

Terlihat bahwa ini adalah sebuah harga yang menjanjikan—bahkan mampu menarik perhatian warga. Dari kerja di ladang beralih ke perburuan enthung. Tak jarang mengangkat tempat ulat itu membentuk kepompong. Dibawa pulang dan disisir per daun untuk dicari kepompongnya.

Ulat itu senantiasa mencari tempat yang nyaman. Bagi para pencari yang sudah paham mereka mudah saja mencari tempat tujuan yang banyak ulatnya, yaitu di bawah pohon jati yang bertumpuk daun-daun kering yang rontok sebelum musim ulat.

“Dibawa pulang saja sampah itu,” seorang warga memberikan ide.

Daun di ladang itu diambil dimasukkan karung. Sampai rumah tinggal dibongkar. Mbah Jo bisa menjumputi entung sambil duduk di rumah dan sambil wedangan.

Rumah jadi tempat nyaman bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Tapi seringkali para lansia ini juga tak mau ketinggalan pada ikutan mencari ulat. Beliau-beliau ini biasanya mencari di tempat yang nyaman dan bila hujan pun tetap bisa mendapatkan banyak hasil.

Kepompong itu telah menempel di sela daun kering. Mereka mencari-cari di tiap daunnya ditemukan sampai puluhan enthung—layaknya berburu emas. Dicari dengan mengorek di sela daun itu. Baginya ini adalah  sumber penghasilan dan bahan makanan istimewa.

Exit mobile version