IKEA Itu Nggak Cocok buat Penganut Pembeli Adalah Raja

IKEA

Bandung baru beberapa bulan ini punya IKEA. Sebenarnya, sih di Kota Baru Parahyangan (KBP), Kabupaten Bandung Barat. Namun, boleh lah ya kita sebut di Bandung karena masih ada Bandung-Bandungnya.

IKEA KBP ini sudah buka sejak Maret 2021. Namun, karena PPKM berjilid-jilid akhirnya saya baru memutuskan untuk mampir ke sini kemarin. Tujuannya tentu agar seperti orang-orang yang bisa berfoto di lorong market hall di antara rak-rak tinggi dan berisi dus-dus besar itu. Meski tidak pulang membawa satu set sofa, setidaknya kemarin saya membeli satu set sendok plastik lengkap dengan piringnya.

Saya bukan home decor enthusiast. Jadi, saya tidak pernah terpikir untuk jauh-jauh mengunjungi IKEA Alam Sutra seperti teman-teman saya sebelum ada IKEA di KBP. Selama ini kalau ada produk yang ingin kami beli dari IKEA, kami cukup membelinya secara online. Dan seharusnya tetap seperti itu.

Mampir ke showroom di IKEA sendiri menurut saya sangat menghibur. Ya gimana nggak, sehari-hari sumuk liat rumah sendiri berantakan, penuh dengan perabotan warna-warni nggak matching dan nggak simetris. Lalu di IKEA semua perabotan dengan tema yang sama dan warna senada ditata sedemikian rupa seperti ruangan asli, rasanya menentramkan hati sekali. Jangan lupa untuk halu-halu sedikit.

Awalnya yang membuat saya sekeluarga cukup nyaman melihat-lihat di sini adalah karena di IKEA sistemnya self service jadi tidak banyak staff berseliweran. Kita bisa mencoba sofa dan tempat tidur sepuasnya, mengecek setiap detail tanpa perlu ada rasa nggak enak hati saat ada mas-mas yang menghampiri, sambil bertanya, “Ada yang bisa dibantu, Bu?” atau menjelaskan spesifikasi barang tanpa diminta.

Tapi, justru saat di market hall saya merasa ada yang hilang. “kok nggak ada yang nanyain ya? kan saya mau beli” Pikir saya dalam hati. Saya bahkan sampai bilang sama suami kalau saya kayaknya lebih happy belanja di ACE Hardware, karena saat naik eskalator belum sampai aja udah disenyumin.

Penataan barang di IKEA itu sangat teratur. Saya acungi jempol juga untuk rute yang dibuat, karena semua section bisa kita lewati, seolah semua kebutuhan kita muncul di depan mata. Akibatnya tentu lapar mata melanda, tapi sisi baiknya, barang-barang yang dibutuhkan bisa langsung didapatkan.

Selain itu, peta dan segala macam informasi sudah sangat jelas. Ada yang ditempel, digantung, juga yang berbentuk brosur. Pokoknya kita dipaksa untuk mandiri di sini.

Saya nggak bercanda saat saya membandingkan dengan belanja di ACE Hardware atau Informa. Kita bukan hanya tidak mendapatkan senyum, sapa, dan salam ala Pertamina saat di Market Hall IKEA, tapi situasi yang sama pun terjadi di tempat makannya. Tapi bisa dimaklumi, tempat makannya kan bukan restoran, dan lebih mirip seperti kantin karyawan. Apalagi kebetulan saya datang saat jam makan siang yang cukup sibuk.

Nah hal yang paling bodoh yang kami lakukan adalah naik Honda Beat ke IKEA dan membeli beberapa storage box dan printilan lainnya. Saat berada di kasir kami bingung bagaimana cara membawa barang-barang yang sudah kami beli ini.

Saya sudah mempersiapkan diri kalau IKEA tidak menyediakan kantong atau dus. Tapi, yang paling bikin hati saya mencelos adalah saat membayar di kasir, setelah mas kasirnya selesai memindai semua barang yang kami beli, lalu yas udah. Dia membiarkan kami mengurusi belanjaan kami sendiri. Kami merasa seperti anak yang diusir dari rumah lalu bersusah payah merapikan barang bawaan.

Saya tiba-tiba rindu kasir-kasir Superindo yang dengan sigap menyusun barang-barang belanjaan kita layaknya orang main Tetris. Disusun dengan posisi yang pas biar semua bisa masuk ke dalam kantong. Dan itu butuh skill plus pengalaman .

Setelah selesai dengan belanjaan kami, saya membeli es krim. Memang dasar anak daerah, saya nggak tahu gimana sistem pembelian es krim IKEA ini. Jadi saya mendatangi counter, lalu memesan dan membayar. Setelah itu kasirnya memberikan saya cup dan sebuah koin. Lalu saya mematung.

“Terus ini gimana, Mas?” tanya saya.

“Diisi aja ke cupnya, di dekat pintu keluar nanti ada dispensernya. ”

Baiklah, sungguh kunjungan yang penuh dengan awkward moment. Di satu sisi saya ingin mencoba segalanya, tapi di sisi lain ada perasaan malu juga karena banyak nggak tahunya.

“Standar pelayanannya memang kayak gitu kali, standar Eropa.” Suami saya menanggapi dengan asal.

Mungkin memang iya, beramah tamah tidak masuk ke dalam SOP. Mereka semua sopan dan helpful tapi tidak terasa kehangatan. Hal ini sebetulnya wajar, karena IKEA kan bukan bisnis hospitality, jadi sebenarnya tanpa ada 3S pun tidak jadi soal. Apalagi kenyataannya staff-staff IKEA ini juga kalau ditanyai apa pun selalu menjawab dengan jelas.

Saya jadi ingat akan film-film atau serial Hollywood yang sering saya tonton. Saat setting-nya berada di kasir sebuah supermarket, lalu ada kejadian yang mengesalkan yang membuat antrian terhambat, kasir langsung menunjukan wajah kesal dan bahkan bisa menegur. Hal itu terlihat wajar. Coba kalau di sini, bisa-bisa manager dipanggil, atau sial-sialnya bisa viral di media sosial, hanya karena kasirnya judes.

Saat kejadian beli es krim pun saya sempat menggerutu. Apakah kasirnya pikir semua pernah ke IKEA? Normalnya kan mereka punya template untuk menginformasikan pelanggan bagaimana cara mendapatkan es krim ini. Bukan hanya sekadar ngasih cup dan koin, terus membuat customer bingung.

Mungkin selama ini kita selalu dimanjakan dengan segala pelayanan. Misalnya saat kita belanja, staf di tempat kita belanja selalu membantu kita tanpa diminta. Ini akhirnya jadi seperti candu dan terbawa ke kehidupan sehari-hari. Banyak di antara kita yang jadi tidak biasa membaca petunjuk dan tidak terbiasa membaca instruksi karena berpikir kita selalu bisa bertanya.

Mental seperti ini juga bagian dari tradisi “pembeli adalah raja”. Jadi apa pun harus selalu dilayani. Di Indonesia pembeli selalu benar, malah kadang suka seenaknya. Saya dulu pernah berpikir kalau saya ini open-minded dan modern, juga pembeli yang baik. Tapi, semuanya terbantahkan saat saya datang ke IKEA. Ternyata saya masih orang Indonesia biasa.

IKEA memang terlalu mandiri untuk kita yang selama ini selalu dilayani, dan terlalu menyilaukan untuk anak daerah seperti saya. Saran saya, kalau kalian baperan, lebih baik datang untuk coba showroomnya, lalu catat barang yang dimau dan pesanlah secara online.

Apalagi kalau kamu naik Honda Beat lalu kalap belanja. Jangan coba-coba deh. Nanti kesusahan pun nggak ada yang bisa bantu. Bahkan kasir Superindo yang skill nyusun barangnya sudah kayak pemain Tetris pro pun bakal minta resign.

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version