Beberapa waktu ini film Thailand berjudul “How To Make Millions Before Grandma Dies” sedang hangat sekali diperbincangkan. Bagaimana tidak, testimoni unik yang dikemas para penonton melalui trend before and after menjadi salah satu magnet yang menarik perhatian (termasuk saya). Oleh karena itu, saya semakin penasaran untuk menonton filmnya.
Film yang disutradarai oleh Pat Boonnitipat ini mengangkat isu yang terbilang mudah sekali dianggap relate oleh penonton. Dalam film berdurasi 2 jam 6 menit ini, saya menemukan banyak pelajaran dan tangisan berharga. Minimal beberapa lembar tisu jadi pelengkap dalam film ini.
Namun di kesempatan sekarang, saya tidak akan membahas tentang latar belakang atau isi dari film “How To Make Millions Before Grandma Dies”. Semuanya lebih jauh dari itu. Saya ingin membahas film yang dianggap sebagai sebuah objek kesedihan. Pertanyaannya, memangnya bisa film ini menjadi objek dari sebuah kesedihan?
Pengalaman menonton “How To Make Millions Before Grandma Dies”
Saya coba tarik mundur. Sebelum saya merangkai kata-kata di sini, saya sudah menonton “How To Make Millions Before Grandma Dies” bersama kawan-kawan saya.
Sebelum memasuki bioskop, kami sedikit menyelingi langkah dengan beberapa candaan. Misal, “Kalau kamu nggak nangis, berarti film ini nggak sesedih itu!” Kenapa kami bilang begitu? Kebetulan sekali di antara rekan saya ada yang lebih nyaman dikenal sebagai seorang dengan less-empathy, sehingga acuan film ini sedih atau tidak, ya, ada pada dia.
Selama film berlangsung, kami sibuk dengan emosi masing-masing. Lalu, setelah film berakhir dan lampu bioskop kembali terang, kami juga tetap sibuk. Tapi kali ini kami sibuk dengan air mata masing-masing.
Di antara batin yang masih bercampur, entah itu tentang kenangan, kesedihan, atau bahkan pemikiran lain, saya menyempatkan untuk memastikan satu teman saya yang tadi menjadi bahan acuan. Betapa kagetnya ketika saya melihat dia tidak meninggalkan tangisan sedikit pun.
Apakah film ini gagal sebagai film sedih?
Dari sana timbul pertanyaan. Apakah film “How To Make Millions Before Grandma Dies” gagal? Apakah emosi yang ingin disampaikan tidak bisa diterima penontonya? Tapi bagi saya, jawabannya tidak!
Film ini tidak gagal, sutradaranya tetap berhasil. Di antara sekian banyak orang, mungkin hanya rekan saya dan beberapa orang lain yang tidak bisa menangis ketika menyaksikan film itu. Saya menyadari betul bahwa film ini bukanlah menjadi ajang tentang siapa yang nangisnya paling kejer. Film ini mengajarkan saya tentang empati dan toleransi yang lebih.
Saat kawan saya fokus menonton walaupun tanpa ribet mengusap air matanya, di sana saya memposisikan diri bahwa tidak selalu seseorang menyampaikan emosi sedihnya pada sebuah tangisan. Hal ini berakhir menjadi sebuah sikap toleransi saya pada emosi orang lain.
Bagi saya, bisa saja dia menyampaikan emosi sedihnya dengan menceritakan bagaimana kebaikan neneknya di sela-sela film. Atau, sesederhana dia berkata, “Wah, jadi kangen nenek.” Dengan begitu, “How To Make Millions Before Grandma Dies” ini telah berhasil membawa emosi penonton untuk menarik waktu dan membawa mereka pada sebuah kenangan.
Setelah menonton film ini, saya benar-benar menyadari bahwa siapa saja bisa menonton film sedih, tapi tidak semua orang bisa menunjukkan kesedihannya. Dengan itu, saya memahami betul bahwa sebuah film, seperti “How To Make Millions Before Grandma Dies” bukanlah objek yang tepat untuk menjadi ajang siapa yang nangisnya paling kejer. Semuanya lebih dari itu. Film ini tentang toleransi, empati, dan bagaimana sebuah kenangan bisa hadir di sela-sela film.
Penulis: Wanda Widian Febriantina
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bikin Penonton Berderai Air Mata, Rekomendasi 6 Film Korea Sedih Terbaik
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.