HMJ UIN Walisongo Semarang itu organisasi yang keberadaannya hampir nggak ada gunanya. Isinya mahasiswa yang caper dan kosong. Mau berharap apa coba?
Suatu sore, adik saya terlihat cemberut di hadapan saya, “Haissh, nggak lolos seleksi HMJ”, celetuknya tiba-tiba. Dia kecewa karena merasa layak untuk masuk ke organisasi kampus itu tapi malah justru tidak lolos. Tidak hanya dia, beberapa temannya pun bernasib sama dengannya. Sudah menyiapkan semuanya dengan baik, eh gagal lolos. Alasan gagalnya? Entahlah, hanya adik saya dan senior pengujinya yang tahu.
Sedikit informasi, HMJ adalah akronim dari Himpunan Mahasiswa Jurusan, kalau di kampus lain, ada yang menyebutnya Himpunan Mahasiswa (HIMA). Yah Ormawa ini memang popular bagi mahasiswa. Setidaknya mereka adalah representasi “pejabat” mahasiswa di tingkat terendah dalam struktur universitas, yaitu jurusan.
Adik saya dan teman-temannya mungkin hanya sedikit contoh dari mahasiswa baru yang sedih ketika gagal menjadi anggota HMJ UIN Walisongo. HMJ memang menawarkan kemegahan diri seperti popularitas di kalangan mahasiswa dan dosen. Tapi ya hanya itu, selebihnya, organisasi ini kalau di UIN Walisongo, tidak punya daya tawar dan impoten dalam banyak hal. Terutama terhadap penciptaan program kemahasiswaan yang konkret dan sesuai kebutuhan.
Sebagai orang yang dua kali “tersesat” dalam kepengurusan HMJ, saya tidak pernah bangga. Sebab, saya tidak merasakan manfaat dari ketika menjadi pengurus HMJ, baik secara langsung ketika di kampus maupun secara tidak langsung sebagai portofolio ketika melamar kerja.
Ekosistem yang sudah kepalang bau
“Loh berarti kamunya yang bermasalah, bukan HMJ-nya dong!”
HMJ UIN Walisongo Semarang itu seperti kubangan lumpur yang ketika siapapun masuk di dalamnya, ya akan tetap kotor. Mau pake baju sebersih apa pun, dengan minyak wangi yang nyegrak, kalau sudah masuk ke dalam kubangan lumpur ya jadinya tetap kotor dan bau. Ekosistemnya terlalu keruh untuk seseorang bisa berkembang. Ya mohon maaf, itulah kenyataannya.
Argumen saya ini beralasan. Mayoritas pengurus HMJ UIN Walisongo Semarang, hanya berisi 3-4 orang yang berkompeten dari total pengurusnya yang mencapai 20 hingga 30 orang yang direkrut. Hal itu karena proses perekrutannya tidak patuh pada spesifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan oleh HMJ.
Kebanyakan dari para penyeleksinya hanya meloloskan kandidat berdasarkan selera. Misalnya terlihat cantik dan tampan, atau jago ngomong dan percaya diri. Tapi tidak mengupas lebih dalam motivasi dari setiap kandidat yang mendaftar menjadi pengurus HMJ. Kadang hanya karena suaranya bagus, orang tersebut lolos menjadi pengurus HMJ UIN Walisongo Semarang. Lah aneh, emang ini mau mencari calon biduan?
Jadi yang benar-benar serius dan visioner itu sedikit. Dan biasanya mereka yang berjumlah 3-4 orang inilah yang mengurus semuanya. Mereka jadi palu gada. Pengurus lain biasanya hanya numpang nama. Muncul saat Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK)—semacam Ospek—dengan tampang sok cool dan keren sembari menggunakan jaket HMJ.
Beruntung kalau 3-4 orang visioner itu masih mau serius mengurus HMJ. Acap kali mereka juga muak dan akhirnya fokus ke Ormawa lain yang punya ekosistem lebih jernih.
Baca halaman selanjutnya
Organisasi tanpa struktur yang bagus
HMJ UIN Walisongo Semarang tak punya struktur yang bagus
Saya tidak menyebut semua, tapi mayoritas dari pengurus HMJ UIN Walisongo Semarang adalah mahasiswa dengan otak kosong yang nggak paham cara berorganisasi. Selain hanya ingin caper saja ke mahasiswa baru. Kebanyakan dari mereka ketika ditanya soal kurikulum dan sistem kampus, paling juga plonga-plongo.
Mau tahu program rutinan dan andalan yang sering diadakan oleh HMJ? Makrab (Malam Keakraban). Njir ini program benar-benar nggak jelas. Dalihnya biar bisa mengenal satu sama lain, padahal ini hanya kedok untuk mencari bibit-bibit mahasiswi baru untuk dighosting. Apakah saya termasuk pelakunya? Tentu saja tidak !
Secara keorganisasian, HMJ UIN Walisongo Semarang punya struktur yang prematur. Dia tak memiliki pengontrol atau penasihat secara formal dari struktur yang dapat dijadikan rujukan oleh pengurus. Di Ormawa lain, biasanya memiliki majelis penasihat atau pertimbangan berisi senior-senior bengis yang memantau setiap rumusan program kerja. Jadi ada sistem controlling yang diterima pengurus. Saat demisioner, ada sistem musyawarah yang berisi laporan pertanggunjawaban kinerja selama satu periode.
Sementara HMJ tidak memiliki itu, sehingga setelah dilantik, mayoritas pengurusnya bubar dan lupa ingatan. Kumpul ketika ada Mahasiswa baru saja. Laporan pertanggungjawabannya pun hanya ketika ada kegiatan dan dilakukan secara prosedural di hadapan fakultas. Aneh betul organisasi ini. Padahal dapat dana langsung dari kampus. Harusnya bisa mengembangkan sayapnya. Masak kalah sama organisasi yang gak dapat dana dari kampus.
Ruang gerak sempit, mending bubar
Organisasi ini juga punya ruang gerak yang sempit. Di atasnya ada Badan Eksekutif yang daya jelajahnya lebih luas ke mahasiswa. Menjurus ke program peminatan dan keterampilan, ada banyak Ormawa lain yang lebih punya kapasitas seperti lembaga pers mahasiswa, kelompok studi ekonomi Islam, Komunitas Bisnis, Komunitas Seni, dan lain sebagainya. Ormawa-ormawa itu lebih patut untuk mengakomodir para mahasiswa.
HMJ UIN Walisongo Semarang ini seperti sosok yang tanpa hobi di antara teman-temannya yang punya hobi dan keterampilan mumpuni. Sehingga seperti nggak berguna ketika berada di tongkrongan.
Sebenarnya bisa saja HMJ ini lebih bertaji. Kuncinya mau berkolaborasi dengan Ormawa Fakultas untuk proyek atau program konkret di bidang tertentu. Tapi ya itu, kebanyakan pengurus HMJ diisi oleh mahasiswa otak kosong yang nggak mau membuka diri. Inginnya eksklusif bikin program sendiri. Yaelah dikira gampang ngajuin proposal ke lembaga-lembaga bergengsi? Nggak usah jauh-jauh deh, bikin surat sama proposal saja saya yakin nggak pada paham. Ujung-ujungnya, proposalnya seperti makalah. Mau ngajuin program atau tugas kuliah sih?
Jadi, bagi kalian mahasiswa baru yang nggak lolos HMJ, sudah nggak usah kecewa. Organisasi ini gak penting-penting amat. Sebaiknya bergabung ke organisasi lain yang lebih jelas, bukan hanya mejeng sana-sini, sok-sokan galak dan cool di hadapan mahasiswa baru saat PBAK. Padahal tidak tahu apa-apa. Apakah saya juga seperti itu? Entahlah, saya lupa!
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA UIN Walisongo Semarang: Universitas Terbaik di Jawa Tengah Dilihat dari Letak dan Cabang Kampusnya