Hidup Itu Memang Harus Optimis, Tapi Jangan Lupa Realistis Bosque

realistis

realistis

Kehidupan dan manusia adalah dua eksistensi yang tidak bisa terpisahkan. Kehidupan memberikan apa yang diperlukan manusia dan manusia berusaha hidup untuk terus menjalani yang namanya kehidupan.

Bicara hidup tentu bicara peluang-peluang yang terjadi selama prosesnya. Peluang-peluang yang terjadi dalam hidup itulah yang berakhir pada sebuah ambisi yang muncul. Rasa optimis. Sifat optimis adalah apa yang selalu diajarkan kepada kita sejak kecil. Optimis seolah ditanamkan di otak kita agar selalu kita praktikkan dalam kegiatan sehari-hari. “Ketika ingin memulai sesuatu, usahakanlah optimis”, itulah seklumit pesan yang seringkali saya dengar sejak kecil hingga saat ini. Sepanjang hidup kita, optimis seolah menjadi falsafah yang harus dilakukan ketika ingin memulai sesuatu dari nol.

Dalam KBBI sendiri optimis berarti orang yang selalu berpengharapan baik dalam menghadapi segala hal. Semua isi kalimat  dari KBBI tersebut seolah menunjukkan bahwa optimis itu adalah sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang akan membuatmu termotivasi. Sesuatu yang akan sangat salah jika tidak dilakukan. Bahwa optimis itu adalah kebaikan.

Optimis itu baik, tidak ada yang salah dari seseorang yang optimis. Namun kita harus sadar, yakin dan jangan sampai terlena dengan yang namanya optimis. Selalu berharap dan selalu menginginkan hal-hal positif terjadi dalam hidup setiap hari adalah kemustahilan yang nyata.

Manusia boleh optimis namun harus menyadari bahwa optimis tidak selalu bisa diterapkan dalam berbagai bentuk-bentuk kehidupan. Optimis tidak bisa membuatmu kaya dalam satu hari. Bahkan optimis tidak bisa membuatnya mencintaimu dalam sekejap.

Hidup tidak seramah itu kawan. Jika pun optimis ternyata punya efek ke arah psikologis. Efek tersebut hanya sementara. Terbentur kegagalan, tidak mencapai target yang diinginkan hingga apa yang kamu inginkan tidak bisa diraih. Apakah optimis sudah memberikanmu banyak hal?

Sejak kecil hingga saat ini, sangat banyak variabel yang hadir dalam hidup kita. Dan tentu karakter optimis tidak bisa menguasai dirimu 100%. Kalian harus sadar bahwa pesimis dan realistis pada akhirnya adalah hal-hal yang paling sering kalian terima hingga saat ini. Sadarkah kalian?

Kalian selalu mengeluh macet, nilai kalian jelek saat UAS, gagal menembus Universitas favorit hingga patah hati ditolak cinta. Pesimisme nyatanya hadir lebih sering dari yang kita pikirkan dibanding optimisme yang absolut.

Bahkan pesimisme seperti jawaban dari rasa optimisme yang sudah terlalu gila. Ya optimis juga bisa membuat orang tidak sadar bahwa dirinya angkuh dan keras kepala. Pesimis seolah menjadi sisi yang membuat seseorang sadar bahwa dibalik keangkuhan dan keras kepala ada sebuah kekurangan yang besar. Optimis yang berlebih juga tidak baik dan pesimis yang berlebih tentu juga tidaklah lebih baik. Lantas apa yang harus dilakukan dalam hidup ini jika keduanya tidaklah terlalu baik?

Realistis hadir menjawab itu semua. Dari apa yang saya alami, realistis seolah menjadi sumbu tengah antara optimis dan pesimis. Realistis adalah sebuah keseimbangan dan kebijaksanaan. Selama satu setengah tahun saya berkecimpung di Ormawa kampus telah memberikan saya banyak kesimpulan yang bisa ditarik. Bahwa rasa optimis yang terlalu tinggi ternyata juga bisa membunuh kita. Optimisme yang tidak sesuai kenyataan hanya akan membuat kita berimajinasi  dan membuat kita tidak sadar bahwa kita hidup di dunia yang menuntut realitas.

Hari ini kita ingin membuat suatu acara yang besar dengan mengundang artis top. Dengan rasa optimis kita yakin bahwa semua itu bisa terealisasi dengan sempurna. Namun kita lupa bahwa jika ingin melakukan itu harus diimbangi dengan sumber daya yang sesuai. Seiring waktu berjalan kita semakin disentil dengan kenyataan bahwa kita tidak akan bisa mengadakan acara sebesar itu. Tapi kita masih tetap optimis bahwa tetap akan bisa melakukannya. Hingga pada akhirnya, rencana yang digadang-gadang di awal harus pupus karena sumber daya tidak mencukupi. Itulah optimisme, sebuah pemikiran yang berasaskan selalu baik dan pasti bisa. Dengan menutup mata akan kenyataan bahwa sumber daya tidak mencukupi, kita dengan keras kepala tetap ingin sebuah acara yang besar. Optimis yang kelewat batas bisa membuat semua orang keras kepala dan menutup mata terhadap kenyataan.

Semua orang menganggap bagaimana pun masalahnya, jika tetap optimis maka semua masalah akan terselesaikan. Padahal nyatanya itu hanya omong kosong. Optimis itu perlu tapi kita juga harus realistis. Ini dunia nyata. Banyak hal-hal yang kita optimiskan nyatanya tidak bisa kita capai kapan pun juga. Kita selalu berpikir pasti bisa sambil berucap, “aku selalu optimis!” dan yang terjadi berikutnya kita tetap selalu gagal.

Kita terlalu terpaku dengan optimis sehingga kita malu menjadi seseorang yang realistis. Seseorang yang memandang bahwa tidak perlu optimis dan pesimis tapi tetap berjalan di jalan kenyataan. Realistis adalah bentuk kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang paham bahwa menjadi optimis dan pesimis bukanlah sesuatu yang terbaik. Menjadi realistis adalah mundur selangkah untuk mengatur strategi dan menyiapkan siasat terbaik untuk sesuatu yang lebih baik ke depannya. Realistis adalah sesuatu yang visioner dengan memandang bahwa bermimpi seperlunya adalah jawaban terbaik untuk menghadapi kenyataan yang sebenarnya.

Manusia sering terlalu terlena dengan keindahan filosofi dari sebuah optimisme. Manusia terlalu senang memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa ia raih jika terus optimis. Manusia lupa bahwa realistis adalah sebuah solusi kemandekan yang solutif untuk melawan berbagai masalah yang akan terjadi di hidup ini.

Seperti yang William Arthur Ward bilang, “Kaum pesimis mengeluhkan embusan angin; kaum optimis mengharapkan angin itu berubah; kaum realis menyesuaikannya dengan layar.”

Realistis itu kebijaksaanan. Kita boleh optimis namun dengan kadar yang realistis.

Exit mobile version